Tak Prosedural, Pengiriman Sembilan Perempuan NTB untuk Bekerja di Singapura Digagalkan
Sembilan perempuan yang hendak diitempatkan sebagai pekerja migran indonesia (PMI) di Singapura dipulangkan kembali ke NTB. Itu setelah proses penempatan mereka tidak sesuai prosedur. Satu orang jadi tersangka.
Oleh
ISMAIL ZAKARIA
·3 menit baca
MATARAM, KOMPAS — Direktorat Reserse Kriminal Umum Kepolisian Daerah Nusa Tenggara Barat menggagalkan pengiriman pekerja migran Indonesia yang tidak sesuai prosedur. Selain menangkap tersangka, polisi juga berhasil memulangkan sembilan perempuan asal NTB yang menurut rencana akan ditempatkan di Singapura.
Kepala Bidang Hubungan Masyarakat Polda NTB Komisaris Besar Artanto dalam jumpa pers di Mataram, Senin (21/12/2020), mengatakan, satu tersangka ditangkap dalam kasus ini, yakni IBK (43) asal Selong, Lombok Timur.
Menurut Artanto, pada Agustus 2020, IBK diduga menempatkan pekerja migran Indonesia (PMI) tak sesuai prosedur. ”Para korban dikirim ke Singapura melalui Pelabuhan Harbour Bay Batam, Kepulauan Riau, tanpa dilengkapi dokumen PMI,” kata Artanto.
Upaya IBK tersebut digagalkan petugas Badan Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI) Tanjung Pinang, Kepulauan Riau. Sembilan perempuan yang akan dipekerjakan di Singapura itu kemudian dipulangkan ke NTB pada akhir November 2020.
”Sembilan perempuan itu masing-masing 3 orang dari Lombok Tengah, 5 orang dari Lombok Timur, dan 1 orang dari Bima,” kata Artanto.
Artanto menambahkan, dalam menjalankan aksinya, IBK tidak bekerja atas nama perusahaan, tetapi perorangan. Saat mengirim PMI ke luar negeri, ia hanya menggunakan dokumen berupa permohonan visa kerja yang dilampiri job order (tawaran kerja) dari pengguna di negara setempat.
Meski tidak memiliki perusahaan, menurut Artanto, tersangka dengan bujuk rayu berhasil meyakinkan korban jika ia memiliki perusahaan perekrut pekerja migran Indonesia (P3MI).
Hilmiatun (30), salah korban asal Lombok Tengah, mengatakan, saat merekrut mereka, IBK memang mengaku memiliki perusahaan. ”Jadi, kami merasa tertipu. Juga kecewa karena ternyata tidak resmi. Setelah kejadian ini, kami rencana tetap akan berangkat, tetapi melalui jalur yang benar dan sesuai prosedur,” kata Hilmiatun.
Dalam pengungkapan itu, selain tersangka dan korban, polisi juga menyita sejumlah barang bukti berupa surat keterangan hasil pemeriksaan kesehatan, surat permohonan izin visa ke Singapura, tujuh gabung dokumen pengajuan asuransi, sembilan paspor atas nama para korban, dan tiket perjalanan.
Atas perbuatannya, IBK dijerat dengan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2017 tentang Perlindungan Pekerja Migran Indonesia. Ia terancam pidana penjara maksimal 10 tahun dan denda maksimal Rp 15 miliar.
Sejumlah proses
Kepala Unit Pelaksana Teknis (UPT) Badan Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI) Kota Mataram Abri Danar Prabawa mengatakan, berdasarkan UU No 18/2017, orang perorangan dilarang menempatkan PMI ke luar negeri.
Selain itu, setiap pekerja migran yang akan ditempatkan di luar negeri harus terdaftar di dinas tenaga kerja setempat. Namun, dalam kasus ini, juga tidak dilakukan oleh IBK. Sebelum berangkat, pemerintah melalui BP2MI juga melaksanakan orientasi pemberangkatan.
”Proses itu juga tidak dilakukan dalam kasus ini sehingga kuat proses penempatan (oleh IBK) tidak prosedural, ilegal, dan melanggar UU Nomor 81 Tahun 2017,” kata Abri.
Abri menambahkan, kasus ini harus menjadi perhatian berbagai pihak. Warga NTB yang ingin bekerja keluar negeri harus sesuai prosedur. Itu sekaligus sebagai upaya melindungi PMI yang bekerja di luar negeri.
”Selama ini, permasalahan PMI asal NTB karena berangkat unprocedural,” kata Abri yang menyebutkan saat ini sudah ada 23 negara, termasuk Singapura, yang memperbolehkan PMI masuk.
Kepala Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi NTB Wismaningsih Drajaniah menambahkan, pihaknya terus berupaya mengantisipasi munculnya kasus serupa di kemudian hari.
Saat ini, kata Wismaningsih, mereka bersama BP2MI Mataram dan Polda sudah membagi tugas. Termasuk hingga ke desa. ”Kami sudah membahasnya bersama pihak kabupaten dan selanjutnya akan ada nota kesepahaman bersama. Kesepahaman itu akan menjadi awal untuk kami mencanangkan NTB zero unprocedural migrant,” kata Wismaningsih.
Menurut Wismaningsih, program itu akan dimulai dari desa. Apalagi, mereka yang memiliki data sekaligus memberi izin awal untuk keberangkatan. Oleh karena itu, sosialisasi di desa akan dimaksimalkan untuk prosedur keberangkatan yang legal.
Dinas Pemberdayaan Perempuan Perlindungan Anak Pengendalian Penduduk dan Keluarga Berencana Provinsi NTB Husnanidiaty Nurdin menambahkan, saat ini mereka mendampingi para korban untuk pemulihan psikologis, termasuk melakukan pemberdayaan dengan menambah keterampilan mereka.