Kejaksaan Tinggi NTT Memeriksa 71 Saksi Terkait Kepemilikan Tanah Negara di Labuan Bajo
Kejaksaan Tinggi Nusa Tenggara Timur memeriksa 71 saksi terkait kepemilikan tanah seluas 30 hektar di Labuan Bajo, Manggarai Barat, Nusa Tenggara Timur. Tujuh orang di antaranya memiliki kartu tanda penduduk Jakarta.
Oleh
KORNELIS KEWA AMA
·4 menit baca
KUPANG, KOMPAS — Penyidik Tindak Pidana Khusus Kejaksaan Tinggi Nusa Tenggara Timur memeriksa 71 saksi terkait kepemilikan tanah seluas 30 hektar di Labuan Bajo, Manggarai Barat, Nusa Tenggara Timur. Tujuh orang yang memiliki kartu tanda penduduk DKI Jakarta diperiksa di Jakarta. Jaksa juga memeriksa dua warga negara asing. Penyidik segera menetapkan tersangka, Januari 2021.
Kepala Seksi Penerangan Hukum dan Informasi Kejaksaan Tinggi Nusa Tenggara Timur Abdul Hakim, di Kupang, Senin (21/12/2020), mengatakan, korupsi aset negara berupa tanah seluas 30 hektar di Labuan Bajo melibatkan banyak pihak dengan berbagai profesi. Tidak hanya WNI, tetapi juga ada dua warga negara asing (WNA), yakni warga Italia.
Penyidik kejaksaan tinggi, kata Abdul Hakim, telah memeriksa 71 saksi, di antaranya Bupati Manggarai Barat ACD dan pejabat lain. Tanah milik negara seluas 30 hektar ini dibagi-bagi di antara mereka dengan luasan berbeda, dari 300 meter persegi sampai 4 hektar per orang.
”Harga tanah itu bervariasi, yakni Rp 10 juta-Rp 30 juta per meter persegi. Penyidik menghitung harga terendah saja, negara mengalami kerugian sekitar Rp 3 triliun,” katanya.
Tujuh orang diperiksa penyidik tindak pidana khusus Kejaksaan Tinggi Nusa Tenggara Timur (NTT) di Jakarta. Mereka memiliki kartu tanda penduduk dan berdomisili di Jakarta dengan profesi berbeda, seperti pejabat negara, politisi, insan pers, dan profesi lain. Lahan yang mereka kuasai masing-masing berkisar 500 meter persegi hingga 2.000 meter persegi.
Sebelumnya, tim penyidik telah mengundang mereka ke Kejaksaan Tinggi NTT guna menjalani pemeriksaan, tetapi mereka tidak hadir dengan alasan Kota Kupang masuk zona merah Covid-19. Mereka minta menjalani pemeriksaan di Jakarta sehingga penyidik dari Kejaksaan Tinggi NTT ke Jakarta dan memeriksa mereka di Kantor Kejaksaan Agung RI.
Harga tanah itu bervariasi, yakni Rp 10 juta-Rp 30 juta per meter persegi. Penyidik menghitung harga terendah saja, negara mengalami kerugian sekitar Rp 3 triliun. (Abdul Hakim)
Tim penyidik juga telah memeriksa dua warga negara Italia terkait kepemilikan aset negara tersebut. Kedua WNA ini diperiksa tim penyidik di Kantor Kejaksaan Negeri Manggarai Barat, Jumat (18/12/2020).
Menyita dua hotel
Selain dua WNA ini, juga empat saksi lain, pejabat daerah Manggarai Barat. Mereka diduga turut memiliki lahan di Labuan Bajo. Kejaksaan juga telah menyita dua hotel milik kedua WNA tersebut, yang berdiri di atas tanah milik Pemerintah Kabupaten Manggarai Barat.
Menurut Abdul Hakim, jika tidak ada hambatan, Januari 2021, penyidik sudah menetapkan tersangka sehingga kasus ini segera dilimpahkan ke penyidikan. ”Soal siapa-siapa yang jadi tersangka, itu sesuai hasil penyidikan penyidik, yang didukung bukti-bukti yang kuat,” ujarnya.
Anggota DPRD NTT dari daerah pemilihan Manggarai Barat, Yohanes Rumat, mengatakan mendukung langkah yang ditempuh Kejaksaan Tinggi NTT. Penyidik harus berani mengungkap siapa saja yang terlibat dalam kasus jual-beli tanah tersebut. Jangan ada sistem tebang pilih. Semua orang sama di mata hukum, termasuk pejabat negara dengan kedudukan tinggi sekalipun.
”Namanya korupsi tanah negara, itu tidak boleh diabaikan. Para pelaku yang terlibat harus diproses sampai ke pengadilan. Ini menjadi efek jera bagi pejabat-pejabat lain,” kata Rumat.
Jika Bupati Manggarai Barat terlibat, orang-orang sekitar bupati dipastikan ikut terlibat. Kasus ini harus diungkap secara transparan, tidak ditutup-tutupi. ”Siapa saja pelaku tetap diumumkan kepada publik,” ujarnya.
Ia mengatakan, tanah di Labuan Bajo atau Manggarai Barat memiliki harga yang fantastis, apalagi setelah Labuan Bajo menjadi destinasi wisata superpremium. Orang-orang dari luar, baik WNI maupun WNA, ingin memiliki tanah di sana dan selalu mencari informasi soal itu.
Dalam kesempatan tersebut, sejumlah orang memanfaatkan kesempatan itu untuk mencari keuntungan, termasuk pemilik lahan asli. Meski tanah itu sudah dijual kepada pihak kedua, karena tergiur dengan tawaran harga yang jauh lebih tinggi, ia akan menjual kembali bidang tanah serupa kepada pihak ketiga tanpa sepengetahuan pihak kedua.
”Hati-hati membeli tanah di Labuan Bajo atau Manggarai Barat. Harus melakukan pengecekan ulang terhadap asal-usul tanah itu ke RT/RW setempat dan badan pertanahan. Jangan terburu-buru dan jangan mudah terpengaruh dengan desakan orang untuk sesegera mungkin membeli,” ujarnya.
Mengenai tanah ulayat milik suku Sepang-Nggieng di Kecamatan Boleng, Kabupaten Manggarai Barat, yang dibagi-bagi sampai 563 lembar sertifikat oleh Badan Pertanahan Manggarai Barat, itu bisa dibenarkan. Tanah tersebut memang dimiliki suku Sepang-Nggieng, Boleng. Kemudian, pada masa Bupati Gaspar Ehok (1989-1999), masyarakat menyerahkan kepada pemda untuk kepentingan pemda.
Dalam perkembangan, tanah itu tidak dimanfaatkan untuk kepentingan negara, tetapi dibagi antara pejabat, ASN, dan pengusaha. Masyarakat pemilik hak ulayat yang mengetahui masalah tersebut kemudian mempersoalkan hal itu dan melapor kepada lembaga-lembaga yang menurut mereka bisa membantu menyelesaikan kasus itu.
”Memang saat pengukuran penerbitan sertifikat, masyarakat tidak persoalkan karena mereka menilai pengukuran itu untuk kepentingan negara. Ternyata, dalam perkembangan, pengukuran tanah itu untuk kepentingan orang per orangan sehingga masyarakat mulai menggugat, apalagi harga tanah di Manggarai Barat saat ini jutaan rupiah per meter,” kata Rumat.
Kepala Bagian Tata Usaha Badan Pertanahan NTT Azis Barawasi mengatakan, tidak mungkin tanah-tanah di Manggarai Barat memiliki sertifikat ganda. Pengukuran tanah oleh petugas Badan Pertanahan berlangsung siang hari. Itu pasti diketahui masyarakat sekitar, termasuk ketua RT/RW. ”Jika tanah itu bermasalah pasti ada gugatan atau larangan dari mereka itu,” kata Barawasi.