Banjir di Kabupaten Aceh Utara dan Aceh Timur, Desember ini, menelan enam korban jiwa dan kerugian harta benda. Nyaris tiap akhir tahun daerah itu dilanda banjir. Bila tak ditangani segera, bencana serupa bakal terulang.
Oleh
ZULKARNAINI
·4 menit baca
Banjir di Kabupaten Aceh Utara dan Aceh Timur, Provinsi Aceh, pada Desember 2020 menelan korban jiwa sebanyak 6 orang dan kerugian harta benda. Nyaris setiap akhir tahun daerah itu dilanda banjir. Bila tidak ditangani serius, bencana itu akan menjadi warisan bagi generasi selanjutnya.
Banjir yang melanda Aceh Utara dan Aceh Timur sejak Jumat (4/12/2020) hingga Kamis (10/12/2020) mengakibatkan 11.627 orang harus mengungsi. Jalan nasional Banda Aceh-Medan di kawasan Kota Lhoksukon terendam banjir hingga 1 meter, transportasi lumpuh.
Sawah warga seluas 15.677 hektar yang baru ditanam dan sebagian masuk usia panen terancam gagal panen. Hewan ternak, seperti sapi, kambing, dan ayam mati, diseret arus. Sebanyak 48 rumah warga rusak, 17 jembatan rusak, dan ratusan hektar tambak tergenang. Warga menjadi pihak paling rugi atas bencana alam.
Seorang petani di Kecamatan Seunuddon, Jafar, hanya bisa pasrah tananam padi yang baru ditanam seminggu tergenang banjir. ”Setelah banjir, saya harus menanam kembali. Tambah modal lagi. Kami selalu menjadi korban kalau bencana banjir,” kata Jafar.
Banjir tahun ini lebih parah daripada tahun-tahun sebelumnya. Dari 27 kecamatan di Aceh Utara, sebanyak 22 kecamatan tergenang. Sementara di Aceh Timur dari 24 kecamatan, 19 kecamatan terendam banjir. Banjir dipicu oleh hujan dalam intensitas tinggi selama beberapa hari.
Dosen Konservasi Lingkungan Universitas Serambi Mekkah Banda Aceh, Teuku Muhammad Zulfikar, mengatakan, ada beberapa penyebab banjir di Aceh Utara dan Aceh Timur, yakni kerusakan hutan, kerusakan sungai, tata kawasan yang keliru, dan infrastruktur yang buruk.
Ada beberapa penyebab banjir di Aceh Utara dan Aceh Timur, yakni kerusakan hutan, kerusakan sungai, tata kawasan yang keliru, dan infrastruktur yang buruk.
Aceh Utara dan Aceh Timur merupakan kabupaten dengan kerusakan hutan terluas di Aceh. Laporan Yayasan Hutan Alam dan Lingkungan Aceh melaporkan, pada 2018 dan 2019, Aceh Utara kehilangan tutupan hutan seluas 3.666 hektar. Sementara Aceh Timur pada 2018 dan 2019 kerusakan hutan mencapai 2.619 hektar.
Zulfikar menuturkan, kerusakan hutan yang masif berbanding lurus dengan tingkat bencana alam, banjir. Data dari Badan Penanggulangan Bencana Aceh (BPBA), selama 2018-2019 bencana banjir terjadi sebanyak 160 kali. Aceh Utara dan Aceh Timur merupakan daerah yang paling sering dilanda banjir. Selama dua tahun Aceh mengalami kerugian karena banjir Rp 530 miliar.
Zulfikar menambahkan, sungai-sungai di Aceh Utara dan Aceh Timur terjadi pendangkalan dan tanggul banyak yang rusak sehingga saat terjadi kenaikan debit air, dengan cepat meluap ke permukiman warga.
Beberapa sungai yang sering meluap adalah Sungai Keureutoe, Pasee, Jambo Aye, dan Arakundoe. Sungai-sungai itu terhubung ke hulu kawasan Kabupaten Bener Meriah dan Gayo Lues. Pada saat yang sama, kondisi hutan di kawasan hulu juga rusak.
”Sungai perlu dinormalisasi dan hutan harus dipulihkan. Jika tidak, banjir akan terus terulang,” kata Zulfikar.
Direktur Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Aceh Muhammad Nur mengatakan, secara letak geografis, Aceh Utara dan Aceh Timur berada di kawasan rendah atau di pesisir sehingga sangat rentan terjadi banjir. Ketika intensitas hujan tinggi dan hutan sebagai penyimpan air telah rusak, banjir tidak dapat ditolak.
”Kawasan hutan dikonversi jadi sawit, pohon ditebang, dan tambang ilegal di hulu sungai mempercepat terjadinya bencana alam,” ujar Nur.
Nur dan Zulfikar menilai, pemerintah tidak serius menangani bencana banjir. Meski banjir terus berulang, strategi mitigasi banjir jangka panjang tidak dilakukan.
Anggota Dewan Perwakilan Daerah dari Aceh, Sudirman, menuturkan, pemerintah jangan hanya menjadi pemadam, hanya merespons saat terjadi bencana, tetapi mengabaikan mitigasi. ”Banjir terjadi setiap tahun, mengapa tidak diselesaikan akar persoalan,” ujar Sudirman.
Hasil pantauan Sudirman, pemicu banjir di Aceh Utara adalah kerusakan hutan, kerusakan daerah aliran sungai, dan tanggul penahan banjir tidak memadai. Sudirman menyarankan kepada Pemprov Aceh dan Pemkab Aceh Utara untuk menahan laju kerusakan hutan, melakukan normalisasi sungai, dan membangun tanggul.
”Kalau itu tidak dibereskan, banjir ini akan menjadi bencana yang kita wariskan untuk anak cucu nantinya,” kata Sudirman.
Bupati Aceh Utara Muhammad Thaib mengatakan, banjir mengancam produksi padi sebab bendungan Sungai Pasee jebol sehingga berpengaruh pada sistem pengairan. Thaib berharap bendungan segera diperbaiki dan sungai dinormalisasi agar petani bisa bertani dengan baik.
”Saya berharap pemerintah pusat dan Pemprov Aceh memprioritaskan perbaikan bendungan Krueng (Sungai) Pasee,” kata Thaib.
Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Doni Monardo saat meninjau banjir di Aceh Utara menuturkan, penanganan jangka pendek, sungai-sungai perlu dinormalkan kembali dengan mengeruk sidementasi dan perbaikan tanggul. Bantaran sungai yang rusak perlu dipulihkan dengan konsep ekologi dan konservasi lingkungan menanam vetiver atau akar wangi.
Sementara mitigasi jangka panjang, kata Doni, pemerintah daerah harus menahan dan memulihkan hutan yang rusak. ”Tidak boleh ada alih fungsi lahan. Kita kembalikan fungsi konservasinya,” kata Doni.
Dalam banyak kesempatan, Doni kerap menyampaikan, jagalah alam dan alam akan menjaga manusia.