Bagai jatuh tertimpa tangga, petani di Kalteng sudah mengganti sawah dan kebun sawitnya untuk ditanami sengon atas petunjuk pemerintah, tetapi sengon tak terbeli hingga kini. Sudah tak terbeli dihantam pandemi pula.
Oleh
DIONISIUS REYNALDO TRIWIBOWO
·5 menit baca
Ratusan hektar sawah di Kabupaten Pulang Pisau, Kalimantan Tengah, tak lagi ditanami padi, pohon-pohon karet dan sawit ditebang demi menanam sengon. Namun, apa daya petani hanya menunggu pembeli yang tak kunjung datang. Lahan gambut pun terancam rusak, petani terancam bencana.
Gusar. Sudali (48) melangkah ke kebunnya yang berjarak tiga kilometer dari rumahnya dengan motor. Motornya melesat cepat, tak lagi menghiraukan batu-batu kerikil dan lubang-lubang jalanan aspal yang rusak di desanya, Desa Purwodadi, Kabupaten Pulang Pisau, Kalimantan Tengah.
Begitu sampai, ia mengeluarkan parangnya dan mulai menebas rumput-rumput liar di sekitar pohon sengon (Albizia chinensis) yang ia tanam empat tahun lalu. Di sela-sela pohon sengon miliknya terdapat beberapa pohon sawit yang ditanam sekenanya dan tidak beraturan. Umur sawitnya belum setahun.
Kebun Sudali tak sampai 1,5 hektar atau hampir dua kali ukuran lapangan sepak bola. Di kebun itu ia menanam 500 batang sengon lalu di sela-selanya 146 pohon sawit.
”Dulu itu bukan kebun sengon, tapi sawah padi. Saya ganti karena memang hasil sawah tidak bagus, lalu orang pada ramai nanam sengon, ya saya ikutan,” kata Sudali saat ditemui pada Senin (14/12/2020).
Tahun 2019 sengon milik Sudali sudah bisa dipanen. Sebanyak 500 pohon sengon tumbuh cukup baik. Batangnya lurus, lalu diameter paling besar mencapai 15 sentimeter. Ia menanamnya dengan rapi, tiga meter setiap batang.
Tepat setahun lalu ia memutuskan untuk menanam sawit. Ia mulai jengkel dengan sengon. Sawit ditanam seadanya di antara pohon sengon. ”Selama pandemi ini, karena tidak nyawah, saya tidak pernah dapat kerja harian bersihkan kebun orang lagi,” kata Sudali.
Tak hanya di Purwodadi. Di Desa Gohong, Kabupaten Pulang Pisau, pun punya masalah yang sama, tak ada sengon yang terbeli.
Kepala Desa Gohong Yanto L Adam mengungkapkan, desanya memiliki hutan desa seluas 3.155 hektar atau hampir seluas Kota Jakarta Pusat. Setengah dari total luas lahan itu sudah ditanami sengon. Ribuan pohon. Bahkan, Yanto tak mampu mengingat jumlahnya.
”Waktu itu, kan, ramai pemerintah meminta agar kami menanam sengon karena akan dibangun perusahaan, ada pabrik yang dibangun,” kata Yanto.
Kompas mencatat Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya Bakar sudah dua kali datang untuk sengon. Pemerintah bahkan menyiapkan 16.000 hektar untuk hutan tanaman rakyat guna ditanami sengon tahun 2016. Pabrik sengon pun dibangun, yakni PT Naga Bhuana Aneka Piranti Unit 6 di Desa Buntoi, Kabupaten Pulang Pisau. Namun, tetap saja sengon tak terbeli (Kompas, 16/12/2016).
Lalu tahun 2019 Siti Nurbaya juga datang mengunjungi pabrik tersebut yang saat itu baru uji operasional. Kompas ikut dalam rombongan dan belum melihat pohon sengon yang diproses. Di dalam pabrik hanya ada batang-batang meranti campuran dengan diameter jauh lebih besar daripada sengon.
Kepala Dinas Kehutanan Kalimantan Tengah Sri Suwanto mengakui terdapat beberapa skema Presiden Joko Widodo saat berkunjung ke Pulang Pisau pada tahun 2016 tentang penanaman pohon sengon menjadi asa baru bagi petani. Setidaknya 6.000 hektar sudah ditanami sengon di Kalteng.
Sri menjelaskan, harapan atas sengon ternyata tidak sesuai dengan ekspektasi karena perusahaan hanya menampung pohon sengon dengan ukuran dan kualitas tertentu. Hal itu membuat masyarakat kurang berminat untuk menanam pohon sengon lagi saat ini.
”Ada pembatasan grade tertentu sehingga tidak semua grade sengon yang dimiliki masyarakat bisa masuk klasifikasi atau diterima oleh perusahaan,” ungkap Sri, Kamis (26/11/2020).
Sri berencana memanggil pihak perusahaan untuk menanyakan perihal kendala yang dihadapi soal tidak terserapnya pohon sengon milik masyarakat.
Gambut rusak
Peneliti Laboratorium Alam Hutan Gambut Universitas Palangka Raya, Kitso Kusin, mengungkapkan, sengon dapat mempercepat keluarnya emisi karbon dari dalam gambut. Pasalnya, sengon harus tumbuh di kawasan yang bebas dari air. Akar serabut sengon, menurut Kitso, memerlukan wilayah tumbuh yang kering.
”Parit-parit itu diyakini dapat mempercepat emisi karbon dari gambut karena subsidennya sangat cepat,” ujarnya.
Kebakaran memang masih menjadi masalah utama dalam pengelolaan gambut. Tahun 2019 menjadi bukti banyaknya lahan tidur, bahkan kebun masyarakat yang terbakar. Setidaknya KLHK mencatat terdapat 134.227 hektar lahan terbakar di Kalteng.
Direktur Program Tropical Forest Conservation Act (TFCA) Kalimantan Puspa Dewi Liman menjelaskan, program di tanah gambut sudah memiliki pengalaman kegagalan. Dahulu, program satu juta hektar menjadi sumber bencana. Seharusnya pemerintah belajar dari pengalaman tersebut.
”Banyak sekali yang bisa dibuat untuk membantu perekonomian masyarakat sehingga lingkungan juga terjaga, seperti mengembangkan hasil hutan bukan kayu,” kata Puspa.
Membeli beras
Selain mengancam lingkungan karena proses monokultur dan paritnya, hasil akhir program sengon membuat Sudali dan warga lain yang menanam sengon makin sulit membeli beras. Padahal, saat sawah-sawah mereka masih ditanami padi, mereka tak pernah tebersit untuk membeli beras. Bulir-bulir padi masih menumpuk di gudang.
Siapa saja yang mau beli ambil saja, saya tidak peduli. Sekarang saya ingin cari modal lagi untuk menanam karet. (Icang Neno Undan)
Kini gudang Sudali kosong. Tak diisi padi, juga batang-batang sengon. ”Semua sekarang serba beli. Makanya, kalau saya tidak kerja harian, mana bisa saya beli beras,” ucap Sudali.
Tak hanya Sudali, hal serupa dirasakan Icang Neno Undan (43) asal Kabupaten Gunung Mas. Lahan dua hektar miliknya yang dulu ditanami karet sudah ditebang diganti sengon. Kini sengonnya pun sudah ditebang, bukan untuk diganti tanaman lain, tetapi karena ia kesal.
”Siapa saja yang mau beli ambil saja, saya tidak peduli. Sekarang saya ingin cari modal lagi untuk menanam karet,” kata Icang.
Program sengon malah membuat mereka kesulitan membeli beras. Ironis karena wilayah Pulang Pisau dan sebagian besar Kalimantan Tengah disiapkan menjadi lumbung pangan nasional.