Menangis di Hulu, Menjerit di Hilir
Industri rotan nasional membutuhkan perhatian. Tata niaga dari hulu ke hilir dinilai banyak pelakunya masih jauh dari ideal. Padahal, rotan potensial menjadi salah satu komoditas unggulan bangkit dari pandemi.
Industri rotan negeri ini seperti benang kusut. Di hulu, nasib petani rotan memilukan. Sementara industri di hilir, pelakunya terjerat sulitnya bahan baku. Komoditas ekspor menjanjikan ini pun merosot meski Indonesia kaya rotan.
Puluhan tahun hidup dari rotan, Aji Bahar (58) kini menjauh dari komoditas itu. Rendahnya harga rotan membuat petani asal Katingan, Kalimantan Tengah, ini gigit jari. Harga rotan hanya Rp 1.300 per kilogram. Padahal, lebih dari sedekade lalu, harganya Rp 7.500-Rp 10.000 per kg.
”Sudah enam tahun saya tak mencari rotan. Pembeli sekarang suka pilih-pilih. Dari Cirebon, Jawa Barat, mereka minta yang kecil. Padahal, kami kalau panen tidak bisa pilih-pilih karena akan memakan waktu menebang,” kata Aji, Jumat (11/12/2020).
Saat masih bergantung hidup pada Rotan, ia bisa menghabiskan delapan sampai sembilan jam di hutan dalam sehari. Bekal dari rumah menjadi pengisi perut yang keroncongan. Sarung tangan sampai mandau, parang khas Dayak, menjelma senjata memangkas kulit rotan yang berduri dan kerap menusuk kulitnya.
Saking seringnya tertusuk, Aji mengatakan tidak lagi merasakan sakitnya. Namun, sengatan harga yang terus anjlok tidak cukup membuatnya bertahan setia pada rotan.
Baca juga : Perajin Anyaman Rotan Terdampak Pandemi
Persoalan itu membuatnya melirik pekerjaan lain meski tumbuhan itu melimpah. Aji sempat menggarap lahannya yang kurang dari setengah hektar untuk ditanami karet. Namun, harga karet lebih sering melorot. Aji kini memilih menjadi buruh kebun yang dibayar Rp 90.000 per hari.
Akan tetapi, nasibnya juga buntung. Penghasilan tambahan dari mencabut rumput kebun tetangga tidak ia dapatkan lagi. Saat pandemi Covid-19 ini, banyak pelanggannya pilih mengencangkan ikat pinggang.
Fakta itu jelas menyedihkan. Katingan adalah salah satu wilayah penghasil rotan besar di Indonesia. Ada 104.572 hektar lahan rotan yang belum dipanen dengan target produksi 12.696 ton per bulan. Koordinator Bagian Produksi Rotan Perkumpulan Petani Rotan Katingan (P2RK) Gani Masayusi mengatakan, selain harga, banjir dan longsor juga membuat petani enggan memanen rotan.
Gani menjelaskan, P2RK memiliki anggota sekitar 270 orang. Kelompok ini punya sertifikasi rotan dari Forest Stewardship Council (FSC), yang menandakan produksinya ramah lingkungan dengan kualitas terjaga. Namun, semuanya seperti pupus saat dihadapkan pada harga yang tak bergairah.
Untuk memanen 1 ton rotan, membersihkan, dan mengeringkannya, Gani mengeluarkan modal Rp 7,5 juta. Harga jualnya seharusnya minimal Rp 8.000 per kg. ”Namun, pembeli, yang sebagian besar berasal dari Cirebon, membeli Rp 6.000-Rp 7.000 per kg,” katanya.
Menurut dia, rusaknya harga rotan juga dipengaruhi pembeli yang meminta rotan serabutan, tanpa dicuci atau dikeringkan. Akhirnya, para pengumpul rebutan mendapatkannya. ”Harga pun kacau balau. Rotan seperti itu dijual cuma dengan harga Rp 5.000 per kg, bahkan kadang tak sampai Rp 2.000 per kg,” kata Gani.
Katingan adalah salah satu wilayah penghasil rotan besar di Indonesia. Ada 104.572 hektar lahan rotan yang belum dipanen dengan target produksi 12.696 ton per bulan
Hilang momentum
Ketika petani rotan di hulu menangis, pengusaha mebel rotan di Cirebon ternyata menjerit karena mengatakan kesulitan bahan baku. Kondisinya lebih mengenaskan karena hantaman pandemi Covid-19. Penguncian wilayah di negara tujuan ekspor membuat pengusaha merugi.
Reynaldi dari PT House of Rattan mengatakan, orderan furnitur rotan anjlok hingga 20 persen. Namun, setelah Mei, permintaan dari pembeli di luar negeri meningkat drastis.
”Peningkatannya bisa 100 sampai 150 persen dibandingkan dengan tahun lalu. Namun, karena kesulitan bahan baku, kami tidak menerima order itu,” katanya. Dari target ekspor 14 kontainer furnitur rotan per pekan, pihaknya hanya mampu mengirim tiga kontainer.
Reynaldi tidak dapat menerima seluruh pesanan karena kekurangan bahan baku. Jika memaksa dan tidak bisa memenuhi pesanan tepat waktu, perusahaannya bisa kena denda 10 sampai 20 persen dari biaya order. Akibatnya, pembeli bisa kehilangan kepercayaan.
Baca juga : Indonesia Punya Peluang Mengisi Pasar Amerika Serikat
Presidium Himpunan Industri Mebel dan Kerajinan Indonesia (HIMKI) Satori mengatakan, kesulitan bahan baku rotan dirasakan hampir seluruh pelaku usaha mebel. Namun, pihaknya belum bisa memastikan berapa kekurangan bahan baku. Di Cirebon dan sekitarnya saja, butuh sekitar 9.000 ton rotan per bulan. Jelasnya, rotan tidak lagi menumpuk di gudang.
Satori menolak pernyataan jika pengusaha di Cirebon menekan harga rotan petani. ”Di sini, kami beli rotan yang sudah dipoles Rp 17.000-Rp 20.000 per kg. Sebelumnya hanya Rp 13.000-Rp 14.000 per kg,” katanya.
Dia justru menyoroti panjangnya rantai pasok rotan dari petani, pengepul kecil, pengepul besar, pedagang antarpulau, pedagang di Jawa, pengecer, hingga pabrik mebel. Rantai itu tidak sepanjang jika menggunakan ekspor rotan asalan.
”Pada 2010, saya cek, ternyata orang Singapura menunggu di pabrik pengumpul rotan di Kalimantan. Kalau diekspor, semua ukuran rotan petani juga diambil. Kalau kita, cuma ambil yang favorit, seperti ukuran 24-31 milimeter,” ungkapnya.
Eskpor rotan asalan dilarang sesuai Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 44 Tahun 2012 tentang Barang Dilarang Ekspor. Aturan itu diharapkan mendorong industri rotan nasional karena pengusaha dalam negeri tidak lagi berebut bahan baku dengan importir. Apalagi, sekitar 80 persen jenis rotan dunia ada di Indonesia.
Akan tetapi, persoalan kelangkaan bahan baku faktanya masih berlangsung hingga kini. Pihaknya menduga, kelangkaan bahan baku karena penyelundupan rotan ke luar negeri. Sejumlah negara yang minim rotan di alam, seperti Vietnam dan Singapura, sukses menjelma menjadi raksasa produsen produk rotan dunia.
Kesulitan bahan baku rotan dirasakan hampir seluruh pelaku usaha mebel. Di Cirebon dan sekitarnya saja, butuh sekitar 9.000 ton rotan per bulan. Jelasnya, rotan tidak lagi menumpuk di gudang
Ketua Presidium HIMKI Abdul Sobur mendesak pemerintah mencari solusi terkait hal ini. Selain memastikan tidak ada penyelundupan rotan, HIMKI mendorong pemerintah membuat badan urusan logistik rotan yang menghubungkan sektor hulu dan hilir serta menjamin ketersediaan bahan baku.
”Tahun depan diperkirakan ada permintaan ekspor yang drastis setelah tahun ini turun. Permintaan dari AS saja bisa naik 6,5 sampai 8 persen nanti,” katanya. Jangan sampai, Indonesia kembali gagal memanfaatkan peluang itu.
Berbagai problem itu pun menekan ekspor furnitur rotan. Kementerian Perindustrian mencatat, nilai ekspor furnitur rotan pada Januari-Mei 2020 sekitar 37,6 juta dollar AS. Pada 2019, nilai ekspornya tercatat 81,3 juta dollar AS. Pada 2011, nilai ekspornya bahkan pernah mencapai 112,9 dollar AS.
Kepala Subdirektorat Industri Kayu dan Rotan Industri Hasil Hutan dan Perkebunan Kemenperin Mediarman mengatakan tengah mengumpulkan data kebutuhan bahan baku dan produksi rotan serta menyiapkan harga acuan rotan untuk mengatasi masalah kelangkaan bahan baku. ”Larangan ekspor bahan baku akan tetap kami pertahankan,” ujarnya.
Kelangsungan hidup komoditas rotan nasional yang jadi tulang punggung jutaan orang Indonesia jelas butuh perhatian. Jika terus menangis di hulu dan menjerit di hilir, segala potensi besar itu pasti bakal sulit ikut menopang kesejahteraan bangsa ini pascapandemi.
Baca juga : Industri Mebel Nasional Terpuruk, Diperkirakan Baru Pulih 2021