Dua Orangutan Korban Perdagangan Internasional Dipulangkan ke Jambi
Orangutan yang diselundupkan lewat sejumlah jalur tikus di Indonesia untuk jadi hewan rumahan di Thailand akhirnya dipulangkan oleh otoritas setempat. Hal ini mendatangkan sinyal positif konservasi satwa dilindungi.
Oleh
IRMA TAMBUNAN
·3 menit baca
JAMBI, KOMPAS — Sebelas orangutan sumatera (Pongo abelii) korban penyelundupan ke Thailand dan Malaysia dikembalikan menuju habitat aslinya. Dua di antaranya dipulangkan ke Jambi. Pemulangan orangutan disambut baik sebagai upaya penyelamatan spesies yang kini berstatus kritis itu.
Dari Thailand dan Malaysia, 11 orangutan itu mendarat di Jakarta. Selanjutnya, sembilan di antaranya diterbangkan ke Medan, dua lainnya ke Jambi, Jumat (18/12/2020). ”Orangutan masih akan menjalani masa pemulihan dan reintroduksi sebelum dilepasliarkan ke habitat aslinya,” ujar Rahmad Saleh, Kepala Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Jambi.
Setibanya di Bandara Sultan Thaha, Jambi, sekitar pukul 11.00, kedua orangutan betina bernama Ung Aing dan Natalee terlebih dahulu menjalani pemeriksaan kesehatan. Selanjutnya, mereka dibawa ke kandang transit untuk menjalani karantina di halaman belakang kantor Frankfurt Zoological Society (FZS) di Kota Jambi.
Rahmad mengatakan, kedua orangutan itu korban perdagangan ilegal lintas negara. Mereka merupakan hasil sitaan Polisi Penanggulangan Kejahatan Sumber Daya Alam dan Lingkungan Thailand (Natural Resources and Ennvironmental Crimes Division) pada 21 Desember 2016. Mereka lalu dirawat dalam pengawasan oleh Khao Prathubchang Wildlife Rescue Center (KPRC) di Provinsi Ratchaburi selama proses hukum berjalan.
Proses hukum di Thailand terkait kedua orangutan itu kini telah selesai sehingga dipulangkan kembali ke Indonesia. Repatriasi tersebut juga berkenaan dengan peringatan 70 Tahun Hubungan Diplomatik antara Indonesia dan Thailand.
”Kami menyambut kedatangan kedua satwa dengan tetap menjalankan protokol kesehatan. Keduanya akan terlebih dahulu menjalani karantina dan serangkaian tahapan untuk pelepasliaran,” katanya.
Orangutan sumatera merupakan satwa endemik Sumatera yang kini berstatus dilindungi. Badan konservasi dunia (The International Union for Conservation of Nature/IUCN) memasukannya ke dalam status kritis, yang berarti tinggal selangkah menuju kepunahan. Sedangkan CITES (Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora) juga memasukkan spesies ini ke dalam Apendix 1 yang berarti tidak boleh diperdagangkan.
Repatriasi itu juga berkenaan dengan peringatan 70 Tahun Hubungan Diplomatik antara Indonesia dan Thailand.
Menurut Rahmad, kedua orangutan diselundupkan lewat sejumlah jalur tikus di Indonesia. Keduanya dipesan untuk dijadikan hewan peliharaan. Namun, aparat di Thailand berhasil menyita satwa-satwa itu.
Sebelum dilepasliarkan ke kawasan hutan di Kabupaten Tebo, keduanya akan menjalani masa karantina di kandang transit FZS di Kota Jambi.
Pemimpin Program FZS untuk Sumatera Peter Pratje mengatakan, karantina memakan waktu setidaknya dua bulan. Karantina diperlukan demi memastikan orangutan yang baru kembali dari luar negeri tidak terinfeksi penyakit apa pun.
”Kami akan mengecek ke laboratorium untuk lebih lanjut memastikan keduanya tidak terinfeksi virus korona baru ataupun TBC,” katanya.
Dari kandang transit, orangutan dipindahkan ke stasiun reintroduksi di Dano Lamo, Kabupaten Tanjung Jabung Barat. Proses reintroduksi juga membutuhkan waktu sekitar enam bulan. Jika seluruh tahapan proses dilalui tanpa masalah, kedua orangutan dapat dibawa ke alam liar di ekosistem Bukit Tigapuluh, Kabupaten Tebo.
Kedatangan orangutan menambah angin segar upaya konservasi satwa terancam punah. Menurut Peter, dalam 20 tahun terakhir sudah 173 orangutan berhasil diselamatkan dari korban perburuan dan perdagangan lalu dilepasliarkan di Ekosistem Bukit Tigapuluh Jambi.
Selama rentang waktu tersebut, diketahui ada 29 kematian. Selain itu, ada 16 kelahiran di stasiun. Sedangkan kelahiran di alam belum diketahui jumlahnya.
Menurut Peter, Ekosistem Bukit Tigapuluh masih menjadi rumah yang layak bagi orangutan. Namun, tekanan laju kerusakan hutan memerlukan upaya pencegahan agar konservasi satwa dapat optimal.