Masih Terjadi Letusan, Masa Tanggap Darurat Erupsi Gunung Ile Lewotolok Diperpanjang
Masa tanggap darurat penanganan pengungsi Gunung Ile Lewotolok di Lembata, Nusa Tenggara Timur, diperpanjang hingga Sabtu (26/12/2020) karena hingga kini erupsi masih sering terjadi.
Oleh
KORNELIS KEWA AMA
·4 menit baca
KOMPAS/KORNELIS KEWA AMA
Gunung Ile Lewotolok di Lembata, Nusa Tenggara Timur, sampai pekan ketiga pasca-erupsi dahsyat, Minggu (29/11/2020), masih terjadi letusan dan dentuman. Masa tanggap darurat penanganan pengungsi pun diperpanjang hingga 26 Desember 2020. Status gunung level III (Siaga) yang ditetapkan Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi pun masih berlaku sampai saat ini.
LEWOLEBA, KOMPAS — Masa tanggap darurat penanganan pengungsi Gunung Ile Lewotolok di Lembata, Nusa Tenggara Timur, diperpanjang sampai dengan Sabtu (26/12/2020). Sampai saat ini masih terjadi guncangan dan erupsi di gunung itu. Status gunung tetap pada level Siaga.
Wakil Bupati Lembata Thomas Ola Langoday, dihubungi di Lewoleba, Lembata, Kamis (17/12/2020), mengatakan, Gunung Ile Lewotolok ini agak aneh. Informasi dari Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi, biasanya setelah terjadi letusan dahsyat, diikuti dengan letusan kecil selama 3-4 hari, kemudian aktivitas gunung akan reda. Namun, sejak letusan hebat pada 29 November 2020, hampir tiga pekan terakhir pasca-letusan, masih terjadi letusan, gemuruh, dan hujan abu vulkanik.
”Karena itu, Pemerintah Kabupaten Lembata memutuskan memperpanjang masa tanggap darurat penanganan pengungsi Gunung Ile Lewotolok sampai dengan Sabtu, 26 Desember 2020,” katanya.
Untuk itu, Kepala Badan Penanggulangan Bencana Daerah Lembata, menurut Thomas, bertanggung jawab menjalankan tugas menangani para pengungsi dan semua hal yang terjadi berkaitan dengan erupsi Gunung Ile Lewotolok, bersama instansi teknis terkait. Jumlah 7.000 pengungsi masih butuh perhatian semua pihak, apalagi ada petani yang masih nekat menanam di areal terlarang.
Masa perpanjangan diberlakukan sesuai dengan kesepakatan pemda, Rabu (16/12/2020). Sampai hari ini, Gunung Ile Lewotolok masih terjadi erupsi dalam skala kecil disertai gemuruh dan mengeluarkan abu dari kawah dengan ketinggian hingga 1.000 meter.
”Kondisi ini memperlihatkan bahwa aktivitas gunung masih membahayakan. Karena itu, masyarakat dilarang berada di bawah radius 4 kilometer, sesuai status gunung dalam level Siaga,” katanya.
Zona membahayakan
Jumlah pengungsi sampai saat ini sekitar 7.000 orang, sebelumnya ada 9.200 orang, tetapi 2.200 orang sudah dipulangkan ke kampung asal. Mereka berada di luar radius 4 km sehingga tidak masuk kategori zona membahayakan keselamatan jika terjadi erupsi Gunung Ile Lewotolok.
Saya berharap setelah Natal, 25 Desember 2020, kami segera pulang ke kampung asal. Sudah tiga pekan kami di pengungsian, hanya makan dan tidur. Ini sangat menyiksa, apalagi saya sebagai petani. (Masan)
Para pengungsi itu sebagian besar berada di rumah-rumah warga, sebagian di tempat penampungan yang disiapkan khusus pemda setempat. Pengungsi masih butuh bantuan, terutama bahan kebutuhan pokok, seperti beras, gula pasir, minyak goreng, kopi, dan teh.
Pemkab Lembata mendistribusikan bantuan dari donatur kepada pengungsi yang berada di rumah-rumah warga, Kamis (17/12/2020).
Natal di pengungsian
Agustinus Masan (49), pengungsi dari Desa Jontona, Kecamatan Ile Ape, mengatakan sangat sedih jika merayakan Natal di pengungsian. Namun, ini juga pengalaman hidup yang tidak akan pernah mereka lupakan, terutama anak-anak. Pilihan merayakan Natal di lokasi pengungsian merupakan yang terbaik, terkait erupsi gunung itu.
Masan dan keluarga berencana tetap merayakan malam Natal dan hari Natal di gedung gereja setempat untuk menikmati suasana yang lebih sakral. ”Saya berharap, setelah Natal, 25 Desember 2020, kami segera pulang ke kampung asal. Sudah tiga pekan kami di pengungsian, hanya makan dan tidur. Ini sangat menyiksa, apalagi saya sebagai petani,” katanya.
Masan mengaku belum seluruhnya menanam di lahan yang telah disiapkan. Ia memiliki dua bidang lahan, masing-masing 20 are dan 15 are, di lokasi yang berbeda. Lahan seluas 20 are sudah ditanami karena letaknya lebih dekat dari Lewoleba daripada bidang lain.
Ia bersama puluhan petani di lokasi pengungsian tanpa izin pemda menanam secara diam-diam di lahan di bawah radius 4 km. Keputusan sepihak petani ini diambil karena mereka takut gagal panen atau tidak lagi memiliki stok pangan pada 2021.
Sejumlah petani di lokasi pengungsian secara diam-diam menanam jagung dan jenis tanaman lain di lahan yang telah mereka siapkan sebelumnya, di areal terlarang, yakni di bawah radius 4 km, di bawah kaki Gunung Ile Lewotolok.
Kepala Dinas Pertanian dan Perkebunan Lembata Manto Beyeng mengatakan, pemerintah daerah dan TNI-Polri membantu petani menanam di areal di luar radius 4 km, tetapi wilayah di bawah radius 4 km tidak ditanami. Hanya ada sejumlah petani tanpa sepengetahuan pemda melakukan penanaman di lahan yang telah mereka siapkan.
Ia mengatakan, pemerintah kabupaten khawatir jika melarang petani masuk menanam di areal zona merah, petani bakal rawan pangan pada 2021. Namun, lebih menakutkan lagi jika membiarkan mereka, apalagi jika terjadi erupsi, yang juga mengancam keselamatan petani.
Kepala Dinas Peternakan Lembata Kanis Tuaq mengatakan, hingga 12 Desember 2020, jumlah ternak yang sakit akibat erupsi gunung dan kurang mendapatkan pakan sebanyak 1.132 ekor dan ternak mati mencapai 545 ekor. Kini, pemkab telah mengevakuasi ternak ke zona hijau. ”Ternak andalan petani selama ini. Jika mereka gagal panen, ternak bisa dijual untuk mendapatkan uang,” katanya.
Petugas kesehatan hewan dari Dinas Peternakan Lembata memberikan suntikan vitamin bagi ternak-ternak yang sakit. Sebanyak 1.132 ternak dari berbagai jenis sakit.