Nyaris setahun ini, tidak ada sendi kehidupan yang luput dihajar Covid-19. Namun, bagi sebagian kalangan yang setia, pandemi tidak cukup ampuh menghancurkan pilihannya berpihak pada kemanusiaan.
Oleh
abdullah fikri ashri/machradin wahyudi ritonga
·5 menit baca
Nyaris setahun ini, tidak ada sendi kehidupan yang luput dihajar Covid-19. Namun, bagi sebagian orang, pandemi tidak cukup ampuh menghancurkan pilihannya setia berpihak pada kemanusiaan.
Jumat (11/12/2020) pagi, antrean panjang terlihat di Himas Coffee and Eatery dan Cirebon Geprek di Cirebon, Jawa Barat. Buruh, tukang parkir, penarik becak, hingga pemulung, mendatangi kafe di Jalan Sisingamangaraja itu. Mereka hendak menikmati 100 paket ayam geprek gratis. Syaratnya, menukarkan kupon dan menerapkan protokol kesehatan.
Sebelum makan, pengunjung diminta mencuci tangan dengan sabun. Meja dan kursi makan diatur jaraknya dan disemprot cairan antiseptik. Pelayan juga memberikan masker secara cuma-cuma kepada mereka yang datang.
Ada yang makan dengan lahap. Ada juga yang malu-malu, menunduk, saat melahap ayam geprek, bihun, perkedel, dan ditemani es teh manis. Maklum, mereka nyaris tak pernah makan di kafe.
“Boro-boro ke kafe, sarapan saja kalau punya uang. Itu juga paling nasi dan tempe,” kata Mandra (41), tukang parkir. Saking mindernya, pria lajang ini membalikkan baju parkir berwarna oranye. “Malu,” ucap Mandra.
Meski begitu, Mandra mengatakan, sarapan gratis itu sangat membantu. Apalagi, saat pandemi sembilan bulan terakhir, pendapatannya menurun. “Dulu, sehari bisa Rp 50.000. Sekarang, paling banyak Rp 20.000. Mobil yang keluar tidak sebanyak sebelum korona,” kata tukang parkir di sekitar Pasar Pagi tersebut.
Pemilik Himas Coffee and Eatery Cirebon Teddy Dharmadi Chandra (29) mengatakan, makan gratis ini dilakukan setiap Jumat pada minggu kedua dan minggu keempat atau sebulan dua kali. “Kami sudah empat kali menggelar kegiatan ini dan pasti berlanjut sampai kondisi membaik,” ungkapnya. Kondisi yang dimaksud adalah berakhirnya pandemi dan membaiknya daya beli masyarakat.
Sebenarnya, usaha Teddy juga terdampak pandemi. Baru sebulan beroperasi, tempat makannya lesu pembeli. Kondisi kian sulit pada April saat pemerintah setempat memberlakukan pembatasan sosial berskala besar.
“Omzet jatuh sampai 90 persen,” ucapnya. Target menggaet konsumen dari sekitar kafe, seperti di rumah sakit, pelabuhan, dan sekolah pupus. Fasilitas umum itu sepi. Kafenya layu sebelum berkembang.
Akan tetapi, ketimbang menutup usaha, ia malah menggagas berbagi makanan gratis 100 porsi untuk warga yang terpinggirkan. Ia menyakinkan, semuanya bukan teknik pemasaran untuk mencari untung. Teddy hanya ingin berbagi di periode sulit ini. Dia yakin, masih banyak orang yang lebih sulit menjalani hidup di luar sana.
“Sekitar tiga bulan lalu, ayah saya melihat pemulung ambil tikus dan dimasukkan ke gerobak, bukan disingkirkan. Kami berpikir, tikus itu untuk apa? Apa hidup sesusah ini sekarang?” ujarnya.
Semuanya bukan teknik pemasaran dan mencari untung. Semuanya hanya untuk berbagi di periode sulit ini. Masih banyak orang yang lebih sulit menjalani hidup di luar sana
Sejumlah musisi di Kota Bandung juga menembus batas. Sepinya pertunjukan musik selama pandemi justru dibayar dengan kesibukan memasak untuk nasi bungkus gratis. Dinamakan Dapur Musafir, kegiatan ini berjalan sejak akhir Mei 2020 dan masih berlangsung hingga kini. Pekan ini, sudah 29 kali Dapur Musafir berbagi di tengah keterbatasan.
“Awalnya, digelar bersama momen Ramadan. Kami memasak sejak siang dan selesai sebelum berbuka puasa," kata Yaya Risbaya (30) yang bersama empat rekannya di grup musik Syarikat Idola Remaja menyisihkan penghasilan untuk memasak nasi bungkus. Ada juga donasi datang dari kawan-kawan dekat.
Tak punya cukup tempat, separuh ruang tengah kontrakan Baya berukuran sekitar 3x6 meter dijadikan dapur dengan satu kompor gas dan penanak nasi. Separuh ruangan lainnya sengaja dikosongkan sehingga memiliki ruang untuk aktivitas membungkus makanan.
“Rata-rata dalam sebulan empat kali. Untungnya teman-teman masih ada yang mau berdonasi, meski jumlahnya tidak tetap,” ujarnya.
Rata-rata dalam sebulan empat kali. Untungnya teman-teman masih ada yang mau berdonasi, meski jumlahnya tidak tetap
Jumlah paket nasi yang dibagikan saat ini juga bertambah. Pada awal Dapur Musafir, Baya bersama rekan-rekannya membagikan 25 bungkus nasi. Setelah itu, jumlah paket meningkat menjadi 40, hingga dalam beberapa sesi terakhir mereka membagikan sekitar 70 bungkus nasi. “Kami dapat pinjaman alat masak tetangga yang jualan nasi goreng. Sekarang, tetangga-tetangga lain juga suka ikut bantu masak,” ujarnya.
Tidak hanya untuk rekan sesama seniman, makanan dari Dapur Musafir pun dinikmati kaum papa yang hidup di jalanan Kota Bandung. Pengemis, pengamen, dan anak-anak jalanan mendapatkannya. Bahkan, 30 paket di antaranya diberikan kepada anak-anak jalanan di Pasar Ciroyom.
“Kami memetakan tempat, salah satunya mencari teman-teman pengamen. Contohnya di Cikapayang hingga Simpang Dago. Mereka anak baik, hanya kurang beruntung, apalagi saat pandemi seperti ini,” ujarnya.
Baya berujar, Dapur Musafir akan disampaikan lintas daerah. Salah satunya dibawa ke Jakarta akhir Desember 2020. Nasi bungkus akan diberikan pada anak-anak jalanan, pengamen dan tunawisma.
“Masaknya nanti, bersama salah satu musisi senior. Teman-teman seniman juga bisa gabung masak. Namun, semua harus rapid test dulu untuk memastikan kondisi kesehatannya,” tuturnya.
Baya berharap kegiatan saling berbagi lewat Dapur Musafir ini akan tetap bertahan. Dia yakin, jejak orang yang membutuhkan bantuan tak hanya ada saat pandemi saja.
Kami meminjam alat masak tetangga yang jualan nasi goreng. Sekarang, tetangga-tetangga juga ikut bantu masak
Dahulukan sesama
Waktu kian tua saat orang-orang masih berdatangan ke Himas Coffee and Eatery. Sumartono (77), pemulung, adalah salah satunya. Dia tidak sendiri, tapi datang bersama istri dan anaknya. “Dia kena stroke, enggak bisa bicara,” ucapnya, sambil memperkenalkan istrinya yang mengenakan baju hijau muda kumal dipenuhi peniti.
“Selama ini, kami tinggal di dekat tempat sampah, di jembatan Pamitran. Tidur dan makan di sana. Hasil memulung empat hari baru dapat Rp 50.000. Baru kali ini makan di kafe,” ungkapnya.
Sucipto Chandra (64), ayah Teddy, mengatakan, di tengah kondisi sulit, berbagi cara harus menjadi solusi bagi semua. Perbedaan latar belakang ekonomi, agama, dan etnis seharusnya tidak jadi penghalang untuk berbagi.
Bagi keturunan Tionghoa ini, kemanusiaan tidak terbatas SARA. Pandemi juga begitu. Hanya dengan berbagi, kesulitan dan perbedaan bisa dihadapi bersama.
"Ada pepatah Konghucu mengatakan, kalau ingin tegak, tegakkan orang lain terlebih dahulu. Kalau mau maju, majukan orang lain dulu,” kata mantan Wakil Ketua Majelis Agama Konghucu Indonesia Cirebon itu.
Memang sudah seharusnya pintu berbagi itu setia dibuka tanpa sekat. Tidak perlu lagi melihat perbedaan bila ingin tetap kuat bersama di era pandemi ini.