Meski Jenuh, Warga Lereng Merapi di Sleman Masih Bertahan di Pengungsian
Warga lereng Merapi di Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta, masih bertahan di pengungsian, agar merasa lebih aman dari ancaman erupsi. Kejenuhan mulai dirasakan, tetapi mereka memprioritaskan keselamatan.
Oleh
NINO CITRA ANUGRAHANTO
·4 menit baca
SLEMAN, KOMPAS—Warga pengungsi lereng Gunung Merapi, di Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta, masih bertahan di pengungsian. Meski kejenuhan mulai dirasakan, mereka tetap bertahan agar merasa lebih aman dari ancaman bahaya.
Berdasarkan pantauan, Selasa (15/12/2020), sejumlah pengungsi lansia duduk bersama di teras barak pengungsian, di kompleks Balai Desa Glagaharjo, Kecamatan Cangkringan, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Ada pula sekelompok ibu-ibu yang bermain bersama anak-anaknya yang masih balita di sisi lain barak tersebut. Semuanya tertib mengenakan masker.
Trisno Kariyo (80), warga Kalitengah Lor, merupakan salah seorang pengungsi di barak tersebut. Ia sudah mengungsi di sana sejak 7 November 2020. Artinya, ia telah tinggal lebih dari satu bulan di pengungsian.
“Kebosanan pasti ada. Memang lebih enak tinggal di rumah sendiri. Pasti lebih nyaman tinggal di rumah daripada di pengungsian. Tetapi, saya lebih baik di pengungsian lebih dahulu ikut anjuran dari pemerintah,” kata Trisno.
Kebijakan mengungsikan sebagian warga dikeluarkan pasca peningkatan status Merapi menjadi Siaga (Level III), pada 5 November 2020. Mereka yang diungsikan merupakan warga dari Dusun Kalitengah Lor, Desa Glagaharjo, Kecamatan Cangkringan, Kabupaten Sleman, DIY. Dusun tersebut berada dalam zona ancaman bahaya erupsi Merapi. Radiusnya berada di bawah 5 kilometer dari puncak Merapi.
Adapun warga yang diungsikan lebih dahulu berasal dari kelompok rentan seperti lansia, perempuan, ibu hamil, balita, hingga anak-anak. Mereka mulai menempati barak pengungsian, di kompleks Balai Desa Glagaharjo, sejak 7 November 2020.
Awalnya, jumlah warga yang akan mengungsi diperkirakan hanya berjumlah 133 orang. Namun, perkiraan itu meleset. Terdapat sebagian warga bukan kelompok rentan ikut mengungsi karena merasa khawatir dengan ancaman erupsi Merapi. Menurut data dari Pemerintah Desa Glagaharjo, hingga Senin (14/12/2020), jumlah pengungsi mencapai 227 orang.
Trisno mengatakan, pihaknya tak berkeberatan saat pertama kali diminta mengungsi. Menurut dia, anjuran mengungsi dikeluarkan demi keselamatan warga. Untuk itu, ia berusaha agar tetap merasa nyaman di pengungsian. Namun, tak dimungkirinya, sekali waktu ia sempat kembali ke rumahnya yang berada di zona ancaman bahaya erupsi.
“Sempat satu kali pulang. Buat panen jagung di kebun. Eman-eman kalau tidak dipanen. Setelah panen, saya juga langsung kembali di pengungsian,” kata Trisno.
Kepala Seksi Pemerintahan Desa Glagaharjo, Heri Prasetya menyampaikan, pengungsi yang bertahan di pengungsian pada siang maupun malam hari, hanya dari kelompok lansia. Warga berusia produktif meninggalkan pengungsian pada siang hari. Mereka akan kembali ke barak pengungsian mulai sore hari untuk bermalam di barak tersebut.
“Yang usia produktif biasanya mencari rumput kalau siang hari. Juga, memberi pakan ternaknya. Tetapi, sore sudah balik lagi ke barak buat menginap. Kalau malam mereka merasa khawatir karena aktivitas gunung tidak bisa dilihat,” kata Heri.
Lebih lanjut, Heri menyampaikan, pihaknya tak memungkiri sebagian pengungsi mulai jenuh tinggal di pengungsian. Khususnya pengungsi lansia yang rindu beraktivitas di rumah masing-masing. Di sisi lain, status Merapi juga masih Siaga (Level III). Dengan begitu, sangat berisiko jika harus memulangkan pengungsi ke rumahnya.
“Memang ada dilema jika harus memulangkan pengungsi. Maka, kami mendatangi dan mengajak ngobrol pengungsi agar tidak merasa jenuh dan kesepian. Kami harus berusaha sebisa mungkin membuat pengungsi merasa nyaman,” kata Heri.
Isu Covid-19
Selain itu, Heri menambahkan, sempat ada isu penularan Covid-19 yang menyebar di Desa Glagaharjo. Isu itu membuat sebagian pengungsi panik dan kembali ke tempat tinggalnya yang berada di zona bahaya. Setelah dikonfirmasi, berita terjadinya penularan di desa tersebut tak dapat dipertanggungjawabkan.
“Pengungsi kembali ke rumahnya, Minggu (13/12/2020). Waktu itu, saya lihat di salah satu ruang untuk pengungsi lampunya dimatikan. Ternyata di dalam, hanya ada dua orang. Pengungsi lainnya pulang karena takut dengan isu (Covid-19) tersebut. Yang pulang adalah ibu-ibu dan anak balitanya,” kata Heri.
Heri menambahkan, warga selanjutnya diberi penjelasan bahwa kabar terjadinya penularan Covid-19 di Desa Glagaharjo, tidak benar. Pihaknya berkoordinasi dengan tenaga kesehatan Puskesmas Cangkringan untuk memberikan penjelasan tersebut. Warga kembali lagi ke pengungsian mulai Senin (14/12/2020). Sementara warga lansia masih menetap di pengungsian.
Dihubungi terpisah, Kepala Dinas Kesehatan Sleman, Joko Hastaryo menyampaikan, penularan yang masih terjadi di Kecamatan Cangkringan, hanya terdapat di dua desa, yakni Desa Argomulyo dan Wukirsari. Ia memastikan belum terjadi penularan sama sekali di Desa Glagaharjo. “Desa Glagaharjo masih zona hijau,” katanya.