Lembantongoa, Persemaian Harapan
Lembantongoa yang pada akhir November lalu menyita perhatian karena pembunuhan empat warga oleh kelompol teroris tempat warga menyemai harapan. Di tanah pegunungan itu mereka ingin mengubah hidup jadi lebih baik.
Akhir November, Desa Lembantongoa di Kecamatan Palolo, Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah, menyita perhatian karena kasus pembunuhan empat warga oleh teroris, diduga dari kelompok Mujahidin Indonesia Timur atau MIT. Seperti apa dan bagaimana kehidupan harian warga di daerah itu?

Sepenggal pemandangan di jalan antardusun di Desa Lembantongoa, Kecamatan Palolo, Kabupaten Sigi, Sulteng, Selasa (1/12/2020).
Desa Lembantongoa menjadi titik temu orang-orang dari berbagai latar belakang untuk menyemai harapan membangun kehidupan yang lebih baik. Dari daerah itu meluncur komoditas perkebunan yang bisa jadi setiap hari Anda nikmati, terutama kopi dan cokelat. Masalah keamanan dan akses masih jadi ganjalan.
Dua karung berisi total 60 kilogram kopi biji robusta siap jual ditempatkan di dinding dekat pintu masuk warung. Biji kopi berwarna abu-abu. Tak ada yang berwarna hitam. “Tunggu sampai 100 kilogram baru dijual,” ujar Paulina Labaru (53), pemilik kopi, tersebut di Dusun V, Desa Lembantongoa, Selasa (1/12/2020).
Biji kopi tersebut hasil panen dalam dua bulan terakhir. Paulina memiliki kebun kopi seluas 1 hektar sejauh 2 kilometer arah selatan permukiman Lembantongoa. Kopi berada di lereng gunung.

Paulina Labaru (53), warga Dusun IV Desa Lembantongoa, Kecamatan Palolo, Kabupaten Sigi, Sulteng, memperlihatkan kopi biji siap jual, Selasa (1/12/2020).
Untuk sementara, Paulina belum lagi memanen buah kopi yang sudah masak. Pembunuhan empat warga di Dusun V Lewonu pada Jumat (27/11/2020) oleh kelompok teroris Mujahidin Indonesia Timur (MIT) pemicunya. Demi keamanan, dia bersama dengan sebagian besar petani di desa itu memilih istirahat berkebun jauh.
Baca juga : Empat Warga Sigi Diduga Tewas di Tangan MIT
Dengan harga Rp 21.000 kalau dijual di Palolo, ibu kota Kecamatan Palolo yang berjarak 10 kilometer, Paulina mengantongi Rp 2,1 juta dari 100 kilogram kopi. Setiap tahun ibu enam anak itu memanen hingga 500 kilogram biji kopi. “Tahun ini mungkin hanya 300 kilogram melihat buah yang tersisa di dahan,” ujarnya.
Dengan keuletannya, Paulina juga memutar uang untuk membuka usaha. Mula-mula hanya jualan kerupuk yang digandrungi anak-anak, lalu berkembang menjadi warung/kios 10 meter x 5 meter. Berbagai jenis kebutuhan dijual di warung di samping rumahnya itu, antara lain beras, tepung terigu, gula.
Tak hanya menjual barang kebutuhan harian, Paulina menjadi pengepul hasil pertanian warga Lembantongoa, terutama kakao dan kopi. Tahun lalu, Paulina berhasil menampung dan menjual masing-masing 2 ton komoditas tersebut.
Ia biasanya mengambil “komisi” Rp 3.000 dari harga di Palu. Dengan mengacu harga saat ini, misalnya, ia membeli kakao Rp 28.00 per kilogram untuk dijual di Palu Rp 31.000 setiap kilogramnya.

Paulina Labaru (53), warga Dusun IV Desa Lembantongoa, Kecamatan Palolo, Kabupaten Sigi, Sulteng, membuka usaha warung untuk menyediakan kebutuhan warga, seperti terlihat pada Selasa (1/12/2020). Paulina bersama keluarga besarnya pindah dari Kulawi, Sigi, ke Lembantongoa pada 1982.
Merefleksikan perjalanan hidup di Lembantongoa sejajk 1982, ia bersyukur bukan kepalang. “Pindah ke sini bersama orang tua dan saudara-saudara dulu untuk memperbaiki hidup. Syukurlah hal itu terwujud. Lembantongoa jadi tanah yang memberikan kami harapan untuk hidup lebih baik,” ujar ibu yang punya 9 saudara dan semuanya tinggal di Lembantongoa.
Kebun kopi, warung, dan rumah beton yang cukup luas sebagian dari aset Paulina yang belum tentu dipunyainya jika tak pindah ke Lembantongoa dulu. Anak sulungnya bisa menamatkan pendidikan menengah atas. Lima anaknya lagi masih duduk di bangku sekolah menengah pertama dan sekolah dasar. Mereka tak khawatir untuk melanjutkan pendidikan karena modal cukup.
Pindah ke sini bersama orang tua dan saudara-saudara dulu untuk memperbaiki hidup. Syukurlah hal itu terwujud. Lembantongoa jadi tanah yang memberikan kami harapan untuk hidup lebih baik. (Paulina Labaru)
Terpenuhinya harapan menggapai hidup lebih bagus di Lembantongoa juga dialami Syarman (64), warga Dusun II. Ia kini mengelola kebun kopi 2 hektar. Meskipun hasilnya fluktuatif dari 500 kilogram hingga 1 ton per tahun, ia patut bersyukur. Ia mampu menyekolahkan dua anaknya hingga menyelesikan pendidikan sekolah menengah atas. Mereka kini bisa mencari pekerjaan sendiri di Palu, ibu kota Sulteng.

Seorang warga membersihkan dahan kopi yang tak penting sembari menanen buah yang matang di Desa Lembantongoa, Kecamatan Palolo, Kabupaten Sigi, Sulteng, Senin (30/11/2020). Komoditas perkebunan, seperti kakao dan kopi, menjadi sumber penghasilan warga.
“Saya yang menyusul orangtua dulu ke sini untuk mengubah hidup. Alhamdulillah hidup saya bersama keluarga berkecukupan. Kalau tidak ke sini belum tentu hidup saya seperti ini,” ujar tokoh muslim Lembantongoayang meninggalkan Dolo, Sigi, kampung halamannya pada 1986 untuk menetap di Lembantongoa.
Dengan 1,5 hektar kebun kakao yang bisa berproduksi hingga 1,5 ton per tahun, Wili (48), warga Dusun III pun mengalami kebaikan alam Lembantongoa. Dua anaknya merantau setelah bekal pendidikan menengah atas. Satu anaknya lagi saat ini masih duduk di bangku kuliah di Palu.

Wili (48), Desa Lembantongoa, Kecamatan Palolo, Kabupaten Sigi, Sulteng, Selasa (1/12/2020) memanen kakao di kebunnya. Kebun kakao seluas 1,5 hektar menjadi andalan penghasilan Wili.
Meskipun belum mendulang hasil yang memuaskan, Sutikno (48), warga Dusun V yang menginjakkan kaki di Lembantongoa pada 2014, diliputi harapan besar untuk hidup lebih baik. Kebun kopi 1,5 hektar hartanya. Dalam tiga tahun terakhir hasilnya memang belum bisa mencapai 100 kilogram per tahun.
“Meskipun belum meningkat hasilnya, punya kebun kebanggaan. Memiliki aset itu luar biasa. Ini harapan besar untuk kehidupan saya dan dua anak saya ke depannya,” ujar pria asal Kabupaten Purworejo, Jawa Tengah, itu.
Lembantongoa terletak di timur Palolo, pusat Kecamatan Palolo, yang berada di Jalan Poros Kota Palu-Lembah Napu, Kabupaten Poso. Dari Palolo, tepatnya Desa Tongoa, daerah itu berjarak sekitar 10 kilometer. Dari Palu, ibu kota Sulteng dijangkau kendaraan dengan jarak tempuh 60 kilometer.Jumlah warga saat ini 3.030 jiwa.

Tampak lapangan yang dikelilingi rumah warga dengan latar belakang gunung hutan lebat di Desa Lembantongoa, Kecamatan Palolo, Kabupaten Sigi, Sulteng, Senin (30/11/2020). Komoditas perkebunan, seperti kakao dan kopi, menjadi sumber penghasilan warga Lembantongoa.
Jalan lima kilometer pertama dari Tongoa menuju Lembantongoa berupa tanjakan menuju titik yang oleh warga setempat disebut Gunung Pasir. Selepas titik itu sebagian jalannya rata, lalu turunan menuju permukiman warga. Separuh jalannya dirabat/coran beton, sebagian lagi masih jalan tanah berbatu. Ada ruas dengan panjang sekitar 200 meter cukup sulit dilalui karena masih berupa tanah berbatu dengan turunan (dari Tongoa) atau tanjakan (dari Lembantongoa) ekstrem.
Lembantongoa yang dikelilingi hutan lebat di segala penjuru itu dulunya tanah tak bertuan. Pada 1982, Pemerintah Provins Sulteng menjadikan daerah itu sasaran pemukiman sebagian warga Kecamatan Kulawi, Sigi. Mereka dipindahkan (transmigrasi lokal) karena makin terbatasnya lahan garapan di Kulawi. Tak hanya warga Kulawi, sebagian dari daerah lain di Sigi juga ikut dalam penempatan Lembantongoa.
Mereka yang masuk pada 1980-an itu membentuk Dusun I-V saat ini. Rumah-rumah warga lebih terkonsentrasi. Kebun mereka berjarak sekitar 1-2 kilometer dari permukiman. Kebun kebanyakan di lereng. Seiring waktu dengan air melimpah dari hutan pegunungan, mereka mengolah sawah di sisi utara.
Dalam derap waktu, Lembantongoa menampung lebih banyak warga dari penjuru Indonesia melalui transmigrasi. Secara bertahap sejak 2011, transmigran dari Pulau Jawa datang menjemput harapan hidup yang lebih baik di sana. Mereka menempati bagian utara Lembantongoa membentuk Dusun V dengan jarak sekitar 5 kilometer dari Lembantongoa lama (Dusun I-IV).

Tampak rumah warga di Dusun V Desa Lembantongoa, Kecamatan Palolo, Kabupaten Sigi, Sulteng, Senin (30/11/2020). Lembantongoa menjadi salah satu tujuan transmigrasi di Sulteng.
Kalau Lembantongoa lama lebih rata dan rumah-rumah lebih terkonsentrasi, Lembantongoa baru itu sporadis. Sebagian rumah di tempat rata, sebagian lagi di punggung bukit, bahkan ada di lereng. Jalan menanjak dan menurun, pada beberapa titik sangat ekstrem dengan jurang di sisi timur atau barat jalan.
Ganjalan
Deki menyampaikan komoditas perkebunan menjadi andalan Lembantongoa. Itu meliputi kopi, kakao, vanila, dan belakangan kemiri. Setiap tahun tak kurang 100 ton gabungan komoditas tersebut meluncur ke Palu. “Lembantongoa ini penghasil komoditas yang dibutuhkan dunia,” ujar Kepala Desa itu.
Di tengah membuncahnya harapan para warga Lembantongoa, ada sejumlah masalah yang jadi batu sandungan. Dalam satu dekade terakhir, daerah dengan hawa sejuk itu dilanda ketidakamanan dan ketidaknyamana karena kehadiran kelompok teroris MIT pimpinan Ali Kalora. Mereka kerap muncul di sekitar kebun warga.

Satu regu Satuan Tugas Operasi Tinombala menyisir jalan di Desa Lembantongoa, Kecamatan Palolo, Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengan, Selasa (1/12/2020) untuk mengejar anggota kelompok terorisme Mujahidin Indonesia Timur (MIT). Anggota MIT membunuh empat warga Dusun V Lewonu, Desa Lembantongoa, Jumat (27/11/2020).
Kebengisan mereka meletup pada Jumat (27/11/2020) dengan membunuh empat warga di Dusun V Lewonu. Selain membunuh empat orang,, mereka juga membakar enam rumah warga.
Gangguan keamanan tersebut cukup mengganjal aktivitas ekonomi warga. Mereka sering membiarkan panennya di lereng gunung tak diambil. “Kami minta masalah keamanan ini serius ditangani aparat. Ini cukup menggangu aktivitas kami,” ujar Samsil Bahri (49), warga Dusun IV Tokelemo yang sejak kejadian tragis tersebut tak lagi pergi memanen kakao di kebun.
Baca juga: Prioritaskan Perlindungan Warga Sipil
Aparat sedang memburu 11 anggota MIT. Kepala Polda Sulteng Inspektur Jenderal (Pol) Abdul Rakhman Baso menjamin aktivitas warga sembari Satuan Tugas Operasi Tinombala memburu anggota MIT.

Tampak papan informasi yang menampilkan daftar pencarian orang terkait terorisme yang merupakan anggota Mujahidin Indonesia Timur (MIT) Poso di Desa Tongoa, Kecamatan Palolo, Kabupaten Sigi, Sulteng, terlihat pada Senin (30/11/2020). Sebanyak 11 anggota MIT masih dikejar Polri-TNI dengan Operasi Tinombala.
Kendala lain di Lembantongoa akses. Separuh jalan 10 kilometer dari dan ke Desa Tongoa atau jalan poros masih berupa jalan tanah dan berbatu. Salah satu ruasnya cukup ekstrem dengan tanjakan atau turunan yang hampir 40 derajat.
Kondisi itu membuat harga komoditas warga tekor rata-rata Rp 3.000 per kilogram. Angka itu memang kecil, tetapi jika diakumulasi tentu bisa jadi angka ajaib. “Kami mati di tranpsortasi. Kami ingin seperti daerah lainnya dengan akses lancar,” tutur Deki.

Sepenggal jalan dari dan menuju Desa Lembantongoa, Kecamatan Palolo, Kabupaten Sigi, Sulteng, terlihat pada Selasa (1/12/2020). Akses masih jadi masalah di daerah dengan komoditas utama kopi dan kakao itu.
Terkait itu, Gubernur Sulteng Longki Djanggola dalam kunjugan pada Minggu (6/12/2020) menjanjikan dinas terkait untuk membangun jalan ke Lembantongoa. Itu mulai dilakukan pada 2021.
Lembantongoa pijakan yang mempertmukan banyak orang dengan harapan sama, menggapai kehidupan yang lebih baik. Sebagian telah meraihnya, sebagian lagi masih menyimpan harapan. Jangan sampai harapan mereka itu sirna oleh pelbagai masalah, seperti keamanan dan akses transportasi.
Baca juga: Napas Harmoni yang Terus Berembus di Lembantongoa