Penapisan di Jateng Mengendur, Kontak Erat Tanpa Gejala Tidak Dites Usap
Pelaksanaan tes usap tidak segencar dan semasif sebelumnya. Itu antara lain terjadi di Kota Semarang dan Kota Tegal, Jawa Tengah. Hal itu dinilai berbahaya dan membuat potensi penularan semakin meningkat.
Oleh
ADITYA PUTRA PERDANA/KRISTI UTAMI
·5 menit baca
SEMARANG, KOMPAS — Pelacakan kontak erat yang diikuti penapisan tes usap di Jawa Tengah terindikasi mengendur. Sejumlah daerah kini tak mengetes usap PCR kontak erat tak bergejala. Kondisi ini dikhawatirkan menyebabkan penularan kian masif karena banyak ditemukan kasus Covid-19 pada orang tak bergejala.
Di Puskesmas Miroto, Kecamatan Semarang Tengah, Kota Semarang, Jawa Tengah, misalnya. Sekitar sebulan terakhir, jumlah pemeriksaan tes usap tak sebanyak sebelumnya. Penapisan tes usap, termasuk pada kelompok rentan, tidak lagi gencar. Penapisan diprioritaskan mengacu sejumlah indikasi.
”Sebulan terakhir, (jumlah) tes usapnya memang berkurang di puskesmas. Pelacakan kontak erat sesuai dengan pedoman Kementerian Kesehatan. Jadi, ada tahapan-tahapannya, tidak langsung di-swab,” kata Kepala Puskesmas Miroto Dien Hasanah, di Kota Semarang, Selasa (15/12/2020).
Berdasarkan Pedoman Pencegahan dan Pengendalian Covid-19 Revisi ke-5 Kemenkes, yang diterbitkan Juli 2020, disebutkan, kontak erat akan dikarantina mandiri 14 hari. Jika dalam rentang waktu itu tak muncul gejala, pemantauan dihentikan. Adapun tes usap PCR dilakukan jika muncul gejala.
Dalam pantauan Kompas beberapa bulan lalu, sejumlah daerah di Jateng mengupayakan pelacakan diikuti tes usap PCR guna memutus mata rantai penularan. Artinya, baik bergejala atau tidak, kontak erat, terlebih yang tinggal serumah dengan kasus terkonfirmasi, hampir pasti dites usap PCR.
Namun, saat ini ada kecenderungan upaya itu mengendur. Kepala Puskesmas Karanganyar, Kecamatan Tugu, Kota Semarang, Reni Ervina membenarkan saat ini, tes usap tak segencar dan semasif sebelumnya. ”Betul. (Kami) mengikuti Pedoman Pencegahan dan Pengendalian Covid-19 Revisi ke-5 dari Kemenkes,” kata dia saat dikonfirmasi.
Ia menambahkan, pelaksanaan tes usap pada kontak erat harus memenuhi sejumlah ketentuan. Salah satunya, ada kontak dengan orang terkonfirmasi positif Covid-19 dalam waktu empat hari. Setelah itu, kontak erat tersebut akan dites cepat (rapid test) lebih dulu. Jika reaktif, baru dites usap PCR.
Ketika dikonfirmasi terkait hal tersebut melalui pesan singkat, Kepala Dinas Kesehatan Kota Semarang Abdul Hakam tidak memberi respons.
Kepala Bidang Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Dinas Kesehatan Wonosobo Jaelan Sulat, dihubungi dari Semarang, menuturkan, pihaknya mengetes usap semua kontak erat kasus konfirmasi positif, baik bergejala maupun tidak. Namun, sejak Senin (7/12), layanan itu terpaksa dihentikan karena pengiriman sampel tes usap dibatasi menjadi paling banyak 200 sampel per hari.
Adapun Wonosobo mengandalkan laboratorium biomolekuler RSUD Prof Dr Margono Soekarjo, Purwokerto, Kabupaten Banyumas. ”Kami khawatir sampel rusak jika terlalu lama disimpan. Jadi, sementara tes usap diprioritaskan untuk follow-up pasien di RS, sambil mengurangi timbunan sampel di freezer. Per hari ini, 655 sampel mengantre di kami,” ujar Jaelan.
Sebelumnya, Senin (14/12), Direktur RSUD Prof Dr Margono Soekarjo, Tri Kuncoro, membenarkan adanya penumpukan sampel sehingga terpaksa membatasi sampel yang masuk. Pasalnya, laboratorium RS milik Pemprov Jateng itu mengampu pemeriksaan sampel dari sejumlah daerah, yakni Kabupaten Banyumas, Purbalingga, Wonosobo, dan Banjarnegara.
Sejumlah daerah di pantai utara (pantura) barat Jateng, seperti Kota Tegal, Kabupaten Tegal, Brebes, dan Pemalang, juga tak bisa optimal dalam menggencarkan penapisan tes usap.
Penumpukan
Sejumlah daerah di pantai utara (pantura) barat Jateng, seperti Kota Tegal, Kabupaten Tegal, Brebes, dan Pemalang, juga tak bisa optimal dalam menggencarkan penapisan tes usap. Pasalnya, pengiriman sampel ke Balai Laboratorium Kesehatan (Balabkes) Semarang dibatasi.
”Biasanya, kami mengirim hingga 300 spesimen dalam sehari. Sekarang, pengiriman dibatasi maksimal 100 spesimen per hari. Alasannya, spesimen di Balabkes menumpuk,” kata Kepala Dinas Kesehatan Kota Tegal Sri Primawati Indraswari di Kota Tegal.
Prima menuturkan, berdasarkan informasi yang diterima, kapasitas pengetesan sejumlah laboratorium di Jateng sekitar 10.000 sampel per hari. Adapun spesimen yang masuk sebanyak 15.000 per hari.
”Karena antreannya banyak, hasil tes baru bisa diketahui sekitar 8-10 hari. Padahal, sebelumnya, 5-7 hari sudah bisa diketahui,” ucapnya.
Namun, pihaknya masih terus gencar dalam melakukan pengetesan, terutama terhadap seluruh kontak erat pasien positif. ”Sekarang kami siasati dites pakai tes usap antigen dulu. Kalau reaktif, baru dites usap. Itu agar tidak kebanyakan kirim spesimen ke sana (Balabkes),” ujarnya.
Perbedaan waktu tunggu hasil tes juga dirasakan oleh Vitarini (45), warga Kelurahan Slerok, Kecamatan Tegal Timur, Kota Tegal. Setidaknya sekali dalam sebulan Vitarini menjalani tes usap sebagai deteksi dini. Sebab, ia menjalani pekerjaan yang banyak bersinggungan dengan orang lain.
”Tes usap yang saya jalani Agustus, September, dan Oktober keluar dalam waktu maksimal lima hari. Namun, tes yang bulan November kemarin baru diketahui delapan hari,” kata Vitarini.
Selama ini, ia memanfaatkan program tes usap gratis yang disediakan Pemkot Tegal. Tes itu dilakukan di sejumlah puskesmas di Kota Tegal. ”Informasi terakhir yang saya dapat, puskesmas sudah tidak melayani tes usap gratis lagi. Katanya, tesnya diprioritaskan untuk kontak erat dan pasien rumah sakit,” ungkapnya.
Berbahaya
Dekan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Diponegoro Semarang Budiyono menuturkan, kontak erat, baik yang bergejala atau tidak, seharusnya tetap dites usap PCR. Terlebih, saat ini banyak orang terkonfirmasi positif dengan kondisi tanpa gejala sehingga diagnosis kontak erat perlu didapatkan.
”Harus tes usap PCR. Permasalahan di laboratorium kelebihan sampel menjadi masalah lain yang harus dicarikan solusinya, seperti penyediaan kelengkapan sarana pemeriksaan. Kalau kontak erat tidak dites usap, ini berbahaya karena nantinya akan bolak-balik (ada penularan). Mereka berpotensi menulari kolega dan lainnya,” tutur Budiyono.
Potensi penularan juga meninggi karena saat ini banyak pasien Covid-19 yang diisolasi mandiri di rumah. Padahal, bisa jadi rumahnya tidak memenuhi kriteria ideal untuk dilakukan isolasi mandiri.
Budiyono pun berharap pemerintah memberi panduan kepada masyarakat yang hendak melakukan isolasi mandiri. ”Jadi, masyarakat tahu apa-apa saja yang dilakukan di rumah agar tak terjadi penularan. Tempat sentra isolasi terpusat juga bisa diperbanyak, untuk (karantina) mereka yang tanpa gejala. Namun, tentu akan ada kebutuhan lain, seperti SDM, logistik, dan lainnya,” katanya.