Banjir yang melanda Gresik, Jawa Timur, meluas karena hujan terus mengguyur dan jebolnya tanggul Kali Lamong.
Oleh
RUNIK SRI ASTUTI
·4 menit baca
GRESIK, KOMPAS — Banjir yang melanda Kabupaten Gresik, Jawa Timur, semakin meluas karena hujan yang terus mengguyur dan jebolnya tanggul Kali Lamong. Banjir kini merendam 32 desa di tiga kecamatan di kabupaten itu. Tim sukarelawan pun mulai mengevakuasi warga yang rumahnya terendam dengan ketinggian air di atas 50 sentimeter karena hujan masih terus mengguyur deras.
”Salah satunya evakuasi warga di sebuah perumahan di Desa Sukoanyar. Warga dievakuasi ke kantor desa setempat karena ketinggian air semakin meningkat,” ujar Kepala Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Gresik Tarso Sugito, Senin (14/12/2020).
Selain itu, tim sukarelawan juga berhasil menemukan seorang remaja bernama Nafsiah (13) yang terseret banjir. Korban ditemukan dalam keadaan meninggal oleh warga yang melakukan pencarian mandiri menggunakan perahu karet milik BPBD Gresik.
Korban ditemukan di area persawahan Desa Deliksumber, Kecamatan Benjeng. Lokasi desa ini bersebelahan dengan titik korban diketahui hanyut di Desa Kedungrukem. Saat itu, korban bersama teman sebayanya jalan-jalan untuk melihat banjir. Namun, mereka terseret arus dan hanya satu orang yang berhasil diselamatkan oleh warga.
Berdasarkan data BPBD Gresik, banjir yang sebelumnya menggenangi 23 desa di Kecamatan Benjeng dan Balongpanggang saat ini meluas ke Kecamatan Cerme. Setidaknya terdapat sembilan desa di kecamatan tersebut yang terendam banjir sehingga totalnya menjadi 32 desa di Gresik yang terdampak bencana.
Banjir yang terjadi sejak Sabtu malam itu disebabkan oleh hujan deras yang mengguyur sejak sore. Kondisi itu menyebabkan volume air di Kali Lamong meningkat dan meluap ke permukiman warga, jalan desa, serta lahan pertanian. Kondisi diperparah dengan jebolnya tanggul sungai di sejumlah titik.
Menurut Tarso, banjir di sembilan desa di Kecamatan Cerme merupakan yang paling parah. Desa yang terdampak adalah Dadapkuning, Lengkong, Sukoanyar, Ngembung, Dungus, Dampaan, Dooro, Guranganyar, dan Morowudi. Ketinggian air di permukiman warga 70 sentimeter hingga 1 meter.
Sementara itu, banjir di 23 desa di Kecamatan Benjeng dan Balongpanggang sebagian mulai surut meskipun di beberapa lokasi genangan masih tinggi. Di Jalan Desa Muggugianti, misalnya, ketinggian air 40-90 cm, turun dari sebelumnya 70 cm hingga 1 meter. Meski demikian, kendaraan belum berani melintas.
BPBD Gresik telah menurunkan 30 perahu karet untuk memperlancar mobilitas sukarelawan mengevakuasi korban banjir. Perahu-perahu itu disebar di lokasi rawan. Selain digunakan untuk evakuasi korban banjir, perahu juga mendistribusikan bantuan logistik seperti makanan siap saji yang dimasak di dapur umum.
Untuk memenuhi kebutuhan makanan warga korban banjir dan para relawan, BPBD Gresik telah mendirikan lima dapur umum, yakni di Desa Kujung, Muggugianti, Kedungrukem, Bulurejo, dan terkini di Desa Sukoanyar. Warga korban banjir mayoritas kesulitan memasak karena rumahnya sudah dua hari terendam.
Bencana itu sudah terjadi selama bertahun-tahun dan kondisinya tetap sama dari tahun ke tahun.
Pendataan warga korban banjir juga terus dilakukan oleh tim sukarelawan karena luasnya area yang terdampak bencana. Di Kecamatan Cerme, misalnya, jumlah yang terdata 887 keluarga atau sekitar 3.500 jiwa dengan asumsi per keluarga terdiri dari empat orang.
Banjir yang terjadi di Kabupaten Gresik sejatinya merupakan bencana rutin yang melanda setiap musim hujan. Banjir bahkan bisa terjadi dua kali, yakni pada awal dan akhir tahun. Selain itu, banjir biasanya bertahan selama dua hingga tiga hari, bahkan bisa lebih lama lagi apabila hujan deras terus mengguyur.
Pada banjir kali ini, selain Gresik, luapan Kali Lamong juga menggenangi sejumlah desa di Kecamatan Dawarblandong, Kabupaten Mojokerto. Banjir yang terjadi pada tahun sebelumnya juga mengalir hingga Kota Surabaya.
Pakar bencana dari Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya (ITS) Amien Widodo mengatakan, banjir yang disebabkan luapan Kali Lamong merupakan bencana yang bisa diprediksi karena sudah terjadi selama bertahun-tahun dan kondisinya tetap sama dari tahun ke tahun. ”Untuk menangani banjir akibat luapan Kali Lamong diperlukan kerja sama antarpemda dan lintas instansi, terutama dengan Balai Besar Wilayah Sungai (BBWS) Brantas,” kata Amien.
Secara teknis, menurut Amien, ada beberapa hal yang bisa dilakukan agar bencana banjir tidak terus berulang setiap musim hujan. Contohnya, memperlebar badan sungai agar daya tampungnya meningkat. Selain itu, membuat sudetan-sudetan di sepanjang aliran sungai agar air tidak meluber.
Agar tanggul sungai tidak mudah jebol, Amien menambahkan, perlu dilakukan penguatan di beberapa titik yang dinilai rawan. Untuk mengimplementasikan tiga hal tersebut, menurut dia, diperlukan kerja sama yang kuat antarpemda dengan BBWS Brantas, misalnya, terkait kebutuhan pembebasan lahan dan penertiban bangunan liar di kawasan sempadan sungai.
”Upaya itu juga harus dibarengi dengan pengembalian fungsi lahan di kawasan hulu sungai sebagai area konservasi, yakni daerah tangkapan air. Dengan berfungsinya daerah tangkapan air, hujan yang turun sebagian terserap sehingga hanya sebagian yang mengalir ke sungai,” ucap Amien.