Manado Memborong Hiasan Natal demi Menyambut Sang Juru Selamat
Dua milenium lalu, warga Betlehem dikisahkan menutup rapat pintu rumah mereka. Yesus Kristus pun harus lahir di bawah kesederhanaan kandang domba. Di Manado masa kini, warga memborong ornamen Natal untuk menyambut-Nya.
Oleh
KRISTIAN OKA PRASETYADI
·5 menit baca
Kilau pusparagam lampu merona di jalanan ibu kota Sulawesi Utara yang mulai kerap diguyur hujan, Senin (30/11/2020). Bentuknya unik beragam, dari kotak kado, rusa, sampai pohon pinus yang berpendar hijau dan merah. AllI Want for Christmas gubahan Mariah Carey mulai mengalun di toko-toko hingga mobil-mobil angkutan kota berpelantang mahakuat.
Itulah pertanda dimulainya masa berburu pernak-pernik Natal di Manado. Hujan dan angin kencang malam itu bahkan tak mampu menghalangi warga mendatangi tempat parkir sepeda motor Megamall yang mendadak menjelma menjadi toko musiman yang terang-benderang oleh lampu dan aksesori Natal jualannya.
Antusiasme tak surut keesokan harinya, Selasa (1/12/2020) malam, meski cuaca tak berubah. Para pembelanja tak segan merogoh jutaan rupiah, seperti Fitri (35). Sehari sebelumnya, ia sudah membeli pohon natal baru seharga Rp 2 juta. Kini, warga Maumbi, Minahasa Utara, itu sibuk mengamati bola-bola gantung pohon terang.
Fitri bukannya tidak punya hiasan pohon natal dari 2019 yang didominasi kilap emas dan merah. Namun, ia pikir tidak ada salahnya menambah koleksi. ”Hari ini mau cari gantungan warna pink (merah muda) dan silver (perak). Mungkin (harganya) bakal lebih dari Rp 1 juta,” katanya.
Meskipun enggak bisa ramai-ramai (karena pandemi), enggak ada ruginya beli hiasan baru. Pasti terpakai tahun depan, bisa ganti-ganti warna.
Pandemi Covid-19 berarti Fitri hanya akan merayakan Natal di rumah bersama keluarga intinya. Walakin, kemeriahan tetap esensial untuk menyambut Natal. ”Meskipun enggak bisa ramai-ramai, enggak ada ruginya beli hiasan baru. Pasti terpakai tahun depan, bisa ganti-ganti warna,” ujarnya.
Anggi (27), karyawati sebuah perusahaan asuransi, juga sibuk mencari gantungan pohon natal dan hiasan tempel untuk pintu rumahnya. Sama seperti Fitri, ia ingin menambah koleksi ornamen pohon natalnya, tetapi tidak langsung memborong banyak.
”Ini baru belanja saya yang pertama. Saya tunggu THR (tunjangan hari raya) turun, baru nanti belanja lebih banyak. Kalau ternyata di sini terlalu mahal, ya, cari tempat lain,” katanya.
Heidi (51), pengurus Gereja Bethany Indonesia di Bitung, bahkan tak segan menempuh jarak 45 kilometer ke Megamall Manado untuk membeli pernak-pernik serba ungu, sesuai dengan nuansa warna yang dimufakati para pengurus gereja. Total belanjaan mencapai Rp 2,06 juta.
Pandemi Covid-19 belum reda tak jadi aral melintang bagi rangkaian ibadah Natal di Gereja Heidi. Tentu, kataya, protokol kesehatan mutlak hukumnya. ”Anak di bawah 12 tahun dan umat lanjut usia tidak boleh masuk. Jumlah umat yang masuk juga akan dibatasi, tidak sampai kapasitas maksimal gereja 250 orang,” tutur Heidi.
Toko ornamen Natal di tempat parkir sepeda motor di Megamall adalah satu dari tiga toko musiman serupa di Manado. Dua lainnya terletak di God Bless Park Manado dan area bisnis Grand Kawanua City Walk. Ketiga toko itu dimiliki oleh seorang pengusaha asal Bitung, Melisa Nur, yang tujuh tahun terakhir rutin mendirikan tiga kios semipermanen di Manado.
Shinta Pangkeni, karyawati yang ditugaskan di cabang Megamall, mengatakan, ketiga toko dibuka sejak 11 November dan akan tutup pada 24 Desember mendatang. Setiap hari, aktivitas jual beli berlangsung pukul 08.00-22.00 Wita. Rekor omzet tertinggi dalam sehari di Megamall mencapai Rp 40 juta.
”Kebanyakan teman karyawan bilang tahun ini lebih ramai. Pandemi memang tidak pengaruh kalau sudah menjelang perayaan. Hampir tidak pernah sepi dari pagi sampai malam, malah banyak yang minta kami buka lebih pagi,” kata Shinta.
Tradisi
Minggu (29/11/2020) menandai dimulainya masa Adven, yaitu rangkaian selama empat pekan untuk menyambut kelahiran Yesus dengan menumbuhkan pengharapan, damai, sukacita, dan kasih. Jemaat Gereja Masehi Injili di Minahasa (GMIM) di Manado dan daerah lain pun mengadakan ”ibadah Natal” setiap pekan. Belanja aksesori Natal sebenarnya tak jadi bagian esensial dari persiapan itu.
Akan tetapi, menurut pengajar Ilmu Teologi Universitas Kristen Indonesia Tomohon (UKIT), Denni Pinontoan, belanja adalah wujud ekspresi kultural masyarakat Kristen di tanah Minahasa dalam bersukacita menyambut kabar baik injil. Kekristenan telah diadposi menjadi bagian dari budaya Minahasa sejak diperkenalkan misionaris dari Belanda pada 1831.
Natal pun menjadi ajang untuk menyambut tamu serta keluarga jauh yang pulang dari perantauan. Karena itu, orang Kristen di wilayah Minahasa yang mencakup Manado akan menyiapkan rumahnya sebaik mungkin dengan membersihkan dan menghias rumah, membeli perabotan baru, membuat kue, serta menyediakan hidangan makan besar.
”Ini memberikan gambaran, bagi orang Minahasa, sukacita Natal tidak bisa dihitung nilainya dengan uang. Ada sesuatu yang mereka anggap punya nilai lebih sampai-sampai orang rela mengeluarkan banyak uang menjelang hari Natal. Konsekuensinya, ada efek pengganda ekonomi,” kata Denni.
Sayangnya, tradisi itu mungkin tak dapat terlaksana akibat pandemi Covid-19. Pejabat Sementara (Pjs) Gubernur Sulut Agus Fatoni telah menerbitkan surat edaran yang berisi imbauan untuk merayakan Natal sambil terus menaati protokol kesehatan, baik di tingkat gereja, kolom (lingkungan rumah), maupun rukun keluarga.
Menurut Denni, umat Kristen di Manado pasti akan dapat menyesuaikan. Selama ini, gereja-gereja GMIM telah beradaptasi dengan meyiarkan ibadah melalui megafon gereja. Pertemuan pun dapat difasilitasi internet.
”Pertemuan sebagai tradisi akan selalu dirindukan. Tetapi, tradisi tidak dapat diterima jika tidak bermanfaat dalam situasi ini. Masyarakat dan pemerintah akhirnya pasti mampu bekerja sama,” kata dia.
Toleransi
Tak sedikit yang menganggap tradisi belanja, berkumpul, dan berpesta saat Natal di Manado seabagi konsumerisme. Namun, kata Denni, tradisi ini justru menjadi modal kultural yang mendorong masyarakat Minahasa makin terbuka dan semakin toleran.
Toko pernak-pernik Natal milik Melisa Nur adalah salah satu wujudnya. Bagi Shinta, karyawati, toko tempatnya bekerja menyimpan keunikan. Pasalnya, sang pemilik adalah warga peranakan Tionghoa yang beragama Islam dan menyandang gelar hajah. Namun, toko bertema Natal miliknya tak pernah absen di Manado dalam tujuh tahun terakhir.
”Kami karyawan juga beragam, ada yang Muslim juga. Kami sudah terbiasa berbaur, kerja bersama dan belajar saling menghargai. Pokoknya peka masalah makanan dan hati-hati dalam bicara,” kata Shinta.
Yesica Mamonto (21), anak Melisa Nur, selalu terlibat pula dalam bisnis musiman keluarganya. Sebagai seorang Muslimah, ia merasakan kesenangan tersendiri karena dapat turut membantu umat Kristen di Manado dan sekitarnya merayakan Natal melalui dagang. Baginya, ini adalah wujud tenggang rasa.
Sebagai seorang Muslimah, Yesica merasakan kesenangan tersendiri karena dapat turut membantu umat Kristen di Manado dan sekitarnya merayakan Natal.
”Saya orangnya fleksibel, justru senang karena bisa bantu. Pas hari besar keagamaan kami, ada juga toko musiman serupa, misalnya jual minuman Lebaran. Tidak perlu jadi masalah,” kata Yesica.
Semangat kebaikan di tiap hari raya keagamaan memang bisa menjangkiti siapa saja. Selamat menyambut Natal, ya.