Sebanyak 29 Warga Negara Filipina Dideportasi dari Manado
Sebanyak 29 warga negara Filipina dideportasi dari Manado karena tidak memiliki paspor dan dokumen izin tinggal di wilayah Indonesia. Sebagian berniat kembali karena sudah memiliki keluarga di Indonesia.
Oleh
KRISTIAN OKA PRASETYADI
·4 menit baca
MANADO, KOMPAS — Sebanyak 29 warga negara Filipina dideportasi dari Manado, Sulawesi Utara, karena tidak memiliki paspor dan dokumen izin tinggal di Indonesia. Mereka menyatakan akan kembali jika dokumen keimigrasiannya telah lengkap untuk bergabung kembali dengan keluarga baru yang telanjur terbentuk di Indonesia.
Para WN Filipina itu diberangkatkan dari Rumah Detensi Imigrasi (Rudenim) Manado ke Pelabuhan Manado, Sabtu (12/12/2020), dengan dua bus dalam pengawasan ketat polisi khusus imigrasi. Mereka kemudian pindah ke kapal cepat Express Bahari menuju Tahuna, Kepulauan Sangihe, untuk persiapan deportasi pada Minggu (13/12).
Kepala Seksi Registrasi Administrasi dan Pelaporan di Rudenim Manado Raymon Nazmi mengatakan, ada 27 laki-laki dalam rombongan itu. Mayoritas nelayan dan anak buah kapal yang ditahan karena dugaan perikanan ilegal. Mereka tidak memiliki paspor dan dokumen keimigrasian lainnya.
”Ada yang sudah ditahan di rudenim dua sampai tiga bulan. Ada juga yang sudah dipidana dan ditahan di lapas selama lima tahun karena penggunaan bom ikan,” kata Raymon.
Dua orang lainnya dalam rombongan itu adalah perempuan yang tinggal di Gorontalo. Mereka ditahan karena tidak memiliki paspor dan izin tinggal ketika Komisi Pemilihan Umum (KPU) setempat melaksanakan proses pencocokan dan penelitian data pemilih tetap.
Adapun proses deportasi dilaksanakan di Tahuna, 248 kilometer terpisah lautan dari Manado, berdasarkan kesepakatan dengan Konsulat Jenderal Filipina di Manado.
”Informasinya, mereka akan dijemput kapal milik Filipina dan dibawa ke Davao, Minggu. Perjalanan mereka ditanggung anggaran Kementerian dan Konjen Filipina,” ujar Raymon.
Michael (35) salah seorang WN Filipina yang akan dideportasi, mengatakan, dirinya sudah sembilan tahun tinggal di Kelurahan Manente, Tahuna. Warga dari sebuah desa bernama Kitayu di dekat Davao itu tinggal dengan pasangannya, warga Indonesia. Mereka memiliki seorang anak, tetapi belum memiliki catatan sipil pernikahan.
“Dulu saya datang naik pump boat (perahu motor), lalu mulai tinggal di Sanger (Sangihe),” kata Michael. Nanti, setelah melengkapi dokumen keimigrasian, ia berencana kembali ke Tahuna untuk bergabung kembali dengan keluarganya.
Mereka akan dijemput kapal milik Filipina dan dibawa ke Davao, Minggu. Perjalanan mereka ditanggung anggaran Kementerian dan Konjen Filipina.
Sementara itu, Ronelli (25), yang dipindahkan ke Rudenim Manado dari Gorontalo, mengatakan, dirinya sudah memiliki suami WNI. Ia tiba di Indonesia juga dengan menaiki perahu tradisional. ”Kalau urusan dokumen imigrasi sudah selesai di Filipina, saya mau kembali lagi,” katanya.
Wakil Konsul Filipina di Manado Manuel Ayap mengatakan, pihaknya menyadari pentingnya mempersatukan kembali ke-29 warga Filipina itu dengan keluarga mereka di negara asal. Karena itu, mereka telah diikutkan tes cepat Covid-19 dan dinyatakan nonreaktif. Di Davao, mereka akan menjalani tes usap dengan metode reaksi rantai polimerase, sebelum turun dari kapal.
“Selama perjalanan, mereka akan mengenakan masker. Kami sangat berhati-hati memastikan mereka pulang tidak membawa virus,” kata Manuel.
Kalau urusan dokumen imigrasi sudah selesai di Filipina, saya mau kembali lagi.
Manuel menambahkan, hukum di Filipina dan Indonesia seharusnya cukup untuk mencegah warga masing-masing memasuki wilayah satu sama lain tanpa dokumen keimigrasian. Namun, menurut dia, banyak nelayan tradisional Filipina yang tidak sengaja keluar perairan Filipina karena tidak memiliki peralatan GPS (sistem pemosisi global).
Jika warga kedua negara ingin melintasi batas dengan pump boat secara tradisional, sudah ada stasiun perlintasan batas di pulau-pulau terluar Sulut, seperti Marore di Kepulauan Sangihe dan Miangas di Kepulauan Talaud. Stasiun itu ada untuk mengatur dan memastikan pelaku perjalanan melintasi batas secara aman dan sah.
”Stasiun itu ada bukan untuk merestriksi, tetapi justru untuk mempromosikan pelintasan batas di antara dua negara secara legal. Hukum dan regulasi kedua negara ada demi menjaga keamanan dan hubungan baik antara Filipina dan Indonesia,” kata Manuel.
Rudenim kosong
Para WN Filipina yang dideportasi itu adalah rombongan terakhir yang menghuni Rudenim Manado. Raymon mengatakan, saat ini Rudenim Manado telah kosong. Namun, masih ada 10 WN Afghanistan yang tercatat secara administrasi.
Mereka kini tinggal di wilayah Kelurahan Istiqlal, Manado, yang lebih akrab disebut Kampung Arab. Raymon mengatakan, mereka tidak lagi berstatus migran sehingga tidak lagi dijamin Organisasi Internasional untuk Migrasi (IOM). Badan Takmir Masjid Universitas Sam Ratulangi kini yang menjadi penjamin mereka.
“Mereka sudah dari 2001 di Indonesia, dipindahkan ke Manado pada 2011. Mereka bisa beraktivitas seperti sekolah, tetapi tidak bisa dapat ijazah, juga tidak bisa bekerja secara formal karena tidak punya KTP-el,” kata Raymon.