90 Keluarga Terancam Kehilangan Rumah karena Proyek Lab Forensik Polri di Manado
Puluhan keluarga di Manado terancam kehilangan tempat tinggal karena rencana pembangunan laboratorium forensik Polri. Kepolisian mengklaim tanah itu milik negara sehingga tidak bisa dimiliki secara pribadi.
Oleh
KRISTIAN OKA PRASETYADI
·4 menit baca
MANADO, KOMPAS — Sekitar 90 keluarga di Kelurahan Paal IV, Kota Manado, Sulawesi Utara, terancam kehilangan tempat tinggal karena rencana pembangunan laboratorium forensik Polri. Kepolisian mengklaim tanah itu milik negara sehingga tidak bisa ditempati ataupun dimiliki secara pribadi.
Laboratorium forensik itu direncanakan berdiri di area Lingkungan 1, 2, dan 3 (setara RT) di Kelurahan Paal IV, Kecamatan Tikala, dengan luas sekitar 50,43 hektar. Papan-papan berisi pernyataan kepemilikan atas bidang-bidang tanah telah didirikan warga di muka rumah ataupun lahan kosong yang mereka klaim, Jumat (11/12/2020).
Alexander Wentuk (57), warga Lingkungan 2, mengatakan, Kepolisian Daerah Sulut telah datang untuk memasang papan yang menyatakan tanah itu adalah milik Polri berdasarkan Sertifikat Hak Pakai Nomor 9 dan Surat Ukur Nomor 213 Tahun 1973. Tanah itu terdaftar di Sistem Informasi Manajemen dan Akuntansi Barang Milik Negara (Simak BMN).
Ia juga mendapat surat peringatan yang ditandatangani Wakil Kapolda Sulut Brigadir Jenderal (Pol) Rudi Darmoko agar warga membongkar bangunan dan meninggalkan wilayah yang mereka tempati itu. Warga diberi waktu satu bulan hingga tenggat 23 Desember 2020. Jika tidak, polisi akan ”melakukan penertiban dan penindakan secara hukum”.
Namun, menurut Alexander, ia telah tinggal di situ sejak 1964 dan tidak ada tanda-tanda kehadiran Polri sama sekali. Mantan kepala lingkungan ini juga mengatakan warga lainnya sudah tinggal di situ sejak 1960-an sehingga memiliki sertifikat hak milik (SHM) dan nomor obyek pajak (NOP). Semua rumah di situ berbentuk permanen, bahkan ada pula yang mewah.
”Kami ini bukan binatang. Masak, disuruh bongkar sendiri terus mengusir diri sendiri? Kan, tidak mungkin. Kalau dorang (mereka) mau datang menggusur, kami punya dasar hukum yang lebih kuat (SHM),” kata Alexander.
Warga kini berupaya mendapatkan dukungan legal dari beberapa lembaga bantuan hukum, seperti Yayasan Cahaya Mercusuar Indonesia (YCMI) dan Pusat Bantuan Hukum Perhimpunan Advokat Indonesia Manado. Ketua YCMI Dance Novian Baeruma mengatakan, timnya sedang mengumpulkan SHM milik warga dan menyurat ke Badan Pertanahan Negara (BPN).
”Secara hukum, SHM lebih kuat daripada sertifikat hak pakai. Polda juga hanya punya fotokopi sertifikat itu. Mereka minta penerbitan ulang sejak Juni 2020, tetapi itu masih berproses. Lagi pula, negara tidak bisa memiliki tanah, hanya bisa menguasainya,” kata Dance.
Rujukan hukum utama yang mereka gunakan saat ini adalah Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 33 Ayat 3 yang menyatakan bumi dan kekayaan alam dikuasai negara dan dipergunakan untuk kemakmuran rakyat. Di samping itu, Pasal 27 Ayat 1 yang menyatakan semua warga negara setara di muka hukum, juga jadi acuan.
Karena itu, mereka meminta kepolisian tidak menggunakan kekerasan untuk mengusir warga secara paksa. Tim bantuan hukum juga akan menyiapkan strategi litigasi yang paling pas.
”Nanti masyarakat mau merayakan Natal di mana kalau dua hari sebelum Natal mereka tidak punya rumah? Apa Polda Sulut mau sediakan tempat buat mereka? Tidak bisa usir seenaknya tanpa ganti rugi,” kata Dance.
Di lain pihak, Kepala Bidang Hubungan Masyarakat Polda Sulut Komisaris Besar Jules Abraham Abast mengatakan, rencana pembangunan laboratorium forensik baru mencuat tahun ini. Belum ada detail rencana luas bangunan dan luas lahan yang akan digunakan. Polda Sulut justru sedang menempuh cara persuasif dalam upaya penertiban warga.
Menurut Jules, area itu telah terdaftar sebagai milik negara dalam Simak BMN sejak 1973, dibuktikan dengan sertifikat hak pakai Polri. Seharusnya, tidak ada SHM yang diterbitkan bagi perorangan di atas tanah milik negara.
”Hak pakai Polri dibuktikan dengan adanya perumahan Asrama Polri di situ. Tidak boleh ada petak ber-SHM di situ. Tetapi, tanah itu sudah diduduki warga,” katanya.
Polda Sulut saat ini sedang menyelidiki bagaimana warga bisa memiliki SHM. Warga yang terbukti menjual tanah yang bukan miliknya dapat dikenai pidana, begitu pula oknum pemerintahan yang menerbitkan SHM.
Polri pun siap jika harus menghadapi proses hukum. Ia belum dapat memastikan apakah warga akan mendapat ganti rugi jika diharuskan pindah. ”Nanti kita lihat jika memang harus melalui jalur hukum. Tapi, ini program Markas Besar Polri, bukan Polda Sulut, sehingga saya tidak bia berkomentar lebih jauh,” kata Jules.