Pandemi Covid-19 membawa banyak orang di Maluku kembali mengolah kabun, memuliakan pangan lokal, dan menghidupkan kembali budaya bakar batu. Ada hikmah di balik pandemi Covid-19 ini.
Oleh
FRANSISKUS PATI HERIN
·5 menit baca
Asap menyembul di antara tanaman ubi kayu, patatas, dan nanas yang tumbuh di atas hamparan Bukit Kali Petra, Kota Ambon, Maluku, Sabtu (28/11/2020) siang. Asap bersumber dari bara batu yang siap memanggang hasil panen dari kebun yang diolah selama pandemi Covid-19. Berkebun, pangan lokal, dan bakar batu adalah rangkaian hikmah yang dapat ditarik dari pandemi yang belum berakhir ini.
Deni Itrantoy (46) terus membersihkan arang di antara tumpukan bara batu yang sudah memerah. Batu dipanaskan dengan membakar potongan kayu yang disisip di antara tumpukan batu selama hampir 1,5 jam.
Di atas batu itu ia lalu dibentangkan bilah batang pisang. Selanjutnya, hasil kebun disusun berjejer di atas bilah pisang. Ada ubi kayu dan patatas serta ikan laut dan beberapa jenis daging.
Makanan yang mulai dipanggang itu ditutupi dengan daun pisang secukupnya kemudian dilapisi lagi dengan kulit kayu dari pohon kayu putih.
”Ditutup serapat mungkin supaya jangan sampai asapnya keluar. Kalau asap sampai keluar, makanannya tidak bisa matang dengan sempurna,” kata Deni yang sudah sering bakar batu.
Sekitar 1,5 jam kemudian, harum makanan tercium. Makanan sudah matang. Satu per satu bungkusan dibuka, aromanya semakin merebak. Ubi kayu dan patatas matang, begitu pula ikan. Daging yang berlemak pun matang dan lembut saat dikunyah. Deni dan sahabatnya, Ampi Mariwy (46), mulai menyantap makanan yang diolah dengan cara bakar batu itu.
Hasil kebun yang disantap itu baru pertama kali dipanen. Deni, Ampi, dan beberapa petani mulai membuka kebun di lahan tidur Bukit Kali Petra pada April lalu. Bukan petani tulen, mereka hanya menyisihkan waktu kosong untuk berkebun.
Deni sehari-hari bekerja sebagai guru di SMA Negeri 14, Kota Ambon, sedangkan Ampi adalah dosen Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Pattimura, Ambon.
Mereka mulai berkebun setelah pandemi Covid-19 merebak di Ambon. Kala itu, muncul kekhawatiran akan terjadi kelangkaan pangan akibat Covid-19. Produksi di sentra pertanian yang selama ini menopang pangan terancam berkurang. Terlebih lagi, makanan pokok masyarakat di Maluku adalah beras yang hampir semua disuplai dari wilayah Pulau Jawa dan Sulawesi.
Pilihan berkebun juga untuk mengurangi belanja makanan rumah tangga. Setidaknya mereka dapat memenuhi kebutuhan makanan dari hasil kebun ketimbang membeli di pasar. Mereka bahkan bisa menjual hasil kebun mereka kepada orang lain. Kebun menjadi sumber pendapatan lain di tengah kondisi ekonomi yang terpuruk akibat pandemi Covid-19.
Pangan lokal
Berkebun juga jadi cara bagi kelompok terdidik itu untuk memuliakan pangan lokal yang mulai ditinggalkan. Program pengembangan tanaman padi secara besar-besaran pada era pemerintahan Orde Baru perlahan menyingkirkan pangan lokal di sejumlah daerah, termasuk Maluku. Di Maluku, pangan lokal dimaksud, antara lain, umbi-umbian, pisang, jagung, kacang, dan sagu.
Generasi muda mulai meninggalkan makanan lokal dan memilih nasi. Bahkan, ada ucapan bahwa belum makan nasi dianggap belum makan. Padahal, kandungan gizi di dalam makanan lokal, seperti patatas atau ubi jalar, tidak beda jauh dengan beras. Bahkan, makanan lokal itu boleh dikatakan lebih bergizi dan rendah risiko ketimbang beras yang berpotensi menimbulkan penyakit gula.
Selain karbohidrat, patatas juga memiliki kandungan protein dan asam amino esensial yang tinggi. Dua zat itu membantu pembentukan otot dan menguatkan tulang. Ada pula kandungan antikolesterol dan rendah gula. Cocok untuk penderita diabetes. Barangkali yang sedikit mengganggu adalah gugus belerang. Jika dikonsumsi berlebihan, bisa menyebabkan orang keseringan buang angin.
Menurut Ampi, hikmah dari pandemi mengajarkan banyak hal. Pandemi memanggil dirinya yang lebih dari 20 tahun menjadi dosen untuk kembali sejenak menikmati suasana di kebun dan menyatu dengan alam. Di luar itu, ia juga semakin mencintai budaya bakar batu yang serasa tenggelam di daerah itu.
”Hari ini sangat bermakna. Kami kembali ke kebun dan melakukan bakar batu. Kalau tidak ada pandemi, belum tentu kami bisa melakukan ini,” ujarnya.
Hikmah dari pandemi mengajarkan banyak hal. Pandemi memanggil dirinya yang lebih dari 20 tahun menjadi dosen untuk kembali sejenak menikmati suasana di kebun dan menyatu dengan alam. Di luar itu, ia juga semakin mencintai budaya bakar batu yang serasa tenggelam di daerah itu. (Ampi Mariwy)
Areal Bukit Kali Petra seluas lebih kurang 6 hektar yang sebelumnya hanya lahan tidur itu telah disulap menjadi areal pertanian tadah hujan. Selain Deni dan Ampi, di sana terdapat lebih kurang 30 orang yang juga menggarap areal itu selama pandemi Covid-19. Sebagian besar mulai dipanen.
Pembukaan kebun pandemi juga dilakukan Kepolisian Sektor (Polsek) Leihitu di Kabupaten Maluku Tengah. Personel polsek menyulap lahan tidur sekitar 1 hektar. Mereka menggarap lahan itu selama hampir lima bulan. Hasilnya, 2.500 tanaman jagung, 1.500 terong, 2.000 cabai, dan 2.500 petsai. Hasil kebun itu kini mulai dipanen.
Kepala Polsek Leihitu Inspektur Satu Julkisno Kaisupy mengatakan, hasil panen diperuntukkan bagi warga, terutama para janda di wilayah hukum polsek itu, yang terdiri atas 11 desa. Pada panen perdana 21 November 2020, lima janda mewakili setiap desa datang dan memanen sendiri.
”Para janda sangat merasakan dampak pandemi ini,” ujar Julkisno.
Menurut dia, penggarapan lahan pertanian itu sebatas contoh untuk menggerakkan masyarakat setempat agar ikut membangunkan lahan tidur. Di daerah itu terdapat banyak lahan yang belum dimanfaatkan maksimal terutama untuk pertanian hortikultura. Petani setempat lebih banyak fokus pada tanaman umur panjang, seperti pala dan cengkeh.
Raja (Kepala Desa) Hitulama Salhana Pellu menyampaikan terima kasih kepada Polsek Leihutu yang menginspirasi dirinya dan semua kepala desa di daerah itu. Ia berjanji menggerakkan masyarakatnya untuk membudidayakan tanaman hortikultura. Selama ini mereka membeli sayuran dari pasar. Pihak desa akan membangun kebun percontohan.
Pandemi Covid-19 telah menjungkirbalikkan sejumlah keadaan. Korban berjatuhan dan ekonomi pun berguncang. Namun, di balik itu, ada hikmah lain yang dapat diambil, salah satunya adalah bertumbuhnya areal pertanian di daerah itu. Mereka menyebutnya ”kebun Covid-19”.