Warga Satu TPS di Kapuas Hulu Golput karena Kampung Belum Dialiri Listrik
Warga TPS 01 Dusun Geruguk, Kecamatan Empanang, Kabupaten Kapuas Hulu, Kalimantan Barat, perbatasan Indonesia-Malaysia, golput, Rabu (9/12/2020). Golput dipicu kekecewaan karena kampung mereka belum dialiri listrik.
Oleh
EMANUEL EDI SAPUTRA
·4 menit baca
PONTIANAK, KOMPAS — Warga Tempat Pemungutan Suara 01, Dusun Geruguk, Kecamatan Empanang, Kabupaten Kapuas Hulu, Kalimantan Barat, memilih golput pada pilkada, Rabu (9/12/2020). Golput dipicu kekecewaan karena kampung mereka belum dialiri listrik. Kampung itu berada di perbatasan Indonesia-Malaysia.
Anggota Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Provinsi Kalimantan Barat, Faisal Riza, Rabu, mengungkapkan, di TPS tersebut terdata 87 pemilih. Panitia Pemilihan Kecamatan, Pengawas Kecamatan, dan pihak lainnya telah berusaha membujuk warga agar menggunakan hak pilihnya, tetapi warga tetap tidak mau mencoblos.
Warga di dusun tersebut memilih golput karena diduga kecewa dusun mereka hingga kini belum juga dialiri listrik. Sementara dua dusun lain yang lokasinya tidak jauh dari dusun mereka sudah ada listrik. ”Warga golput bukanlah yang pertama kalinya,” kata Faisal.
Dengan kondisi tersebut, Komisi Pemilihan Umum (KPU) tak bisa mengadakan pemungutan suara ulang (PSU) ataupun pemungutan suara lanjutan (PSL). Sebab, PSU atau PSL ada persyaratan tertentu, misalnya terdapat satu orang mencoblos beberapa kali. Adapun kasus golput, tidak memungkinkan dilakukan PSU ataupun PSL karena itu hak warga.
Camat Empanang Donatus Dudang menuturkan, pada Rabu sekitar pukul 10.00 Kepala Kepolisian Sektor Empanang menerima laporan dari petugas pengamanan terkait hal tersebut. Kapolsek kemudian berkoordinasi dengan unsur pimpinan kecamatan dan ketua Panitia Pemilihan Kecamatan serta menunggu informasi dari TPS terkait masyarakat yang akan golput.
Tim akhirnya menuju TPS 01. Setelah tiba di lokasi, tim bernegosiasi dengan masyarakat agar mereka menggunakan hak pilihnya. Namun, warga tidak mau menggunakan hak pilihnya. Warga yang beralamat di dusun tersebut tidak diizinkan warga mencoblos.
”Sebelum kami datang, ada ibu-ibu yang ingin mencoblos, tetapi ada warga yang melarang. Penyelenggara juga dilarang mencoblos awalnya,” ungkap Dudang.
Sekitar pukul 11.00, tim kembali ke kecamatan setelah negosiasi tersebut. Mereka harus ke kecamatan karena di sekitar TPS tidak ada sinyal. Untuk mendapatkan saran dari KPU, bupati, atau pemangku kebijakan lain perlu ke kecamatan untuk membuat laporan.
Sekitar pukul 11.30, ada arahan dari Kepala Kepolisian Resor Kapuas Hulu bahwa kapolsek, camat, dan tim lainnya diperkenankan bernegosiasi lagi agar masyarakat tidak golput. Hasilnya, menjelang pukul 13.00, warga memperkenankan penyelenggara mencoblos.
Akhirnya terdapat 11 orang yang mencoblos. Mereka terdiri dari Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) sebanyak enam orang. Dari KPPS ini, seharusnya terdapat tujuh orang, tetapi satu orang sudah meninggalkan tempat.
”Satu anggota KPPS meninggalkan TPS itu, kemungkinan karena melihat sepertinya sudah tidak ada harapan lagi untuk mencoblos,” ujar Dudang.
Selain itu, mereka yang mencoblos adalah dua anggota linmas, dua anggota Panitia Pemungutan Suara dan sekretariatnya, serta satu anggota Pengawas Kecamatan yang pindah memilih karena bertugas mengawasi TPS itu.
”Total ada 11 orang yang mencoblos. Namun, warga asli dusun tersebut yang mencoblos hanya 10 orang dari 87 daftar pemilih tetap,” ungkapnya.
Stephanus Mulyadi, Ketua Forum Organisasi Masyarakat Sipil Kapuas Hulu, menuturkan, wilayah tersebut terletak di perbatasan Indonesia-Malaysia. Selain belum dialiri listrik, kondisi jalan di daerah itu juga masih buruk. Mereka selama ini tidak pernah diperhatikan.
Kondisi pendidikan juga belum memadai, misalnya dalam satu sekolah hanya ada satu guru. Fasilitas pendidikan pun terbatas. Demikian juga dengan bidang kesehatan masih minim perhatian pemerintah.
”Saya pernah ke sana beberapa tahun lalu. Golput ini bukanlah pertama kalinya. Selama beberapa periode bupati tidak dibangun. Wajar jika mereka mengekspresikan kekesalannya seperti itu,” ungkap Stephanus.
Golput ini bukanlah pertama kalinya. Selama beberapa periode bupati tidak dibangun. Wajar jika mereka mengekspresikan kekesalannya seperti itu. (Stephanus Mulyadi)
Pengajar Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Tanjungpura, Pontianak, Jumadi, menilai, terkait warga menggunakan hak pilihnya atau tidak, itu merupakan hak warga negara. Kalau mereka tidak menggunakan hak pilih karena tidak ada tekanan, itu menjadi hak mereka.
Namun, terlepas dari itu, tentu ada keprihatinan kalau sampai ada warga tidak menggunakan hak pilihnya walaupun itu hak mereka. Hal ini hendaknya menjadi catatan pemerintah, misalnya ada resistensi terhadap penggunaan hak pilih.
”Ini bagian dari bentuk reaksi politik masyarakat terhadap kondisi di lingkungannya. Itu wajar,” ujar Jumadi.
Ke depan, hal ini menjadi pekerjaan rumah siapa pun yang terpilih menjadi bupati dan wakil bupati Kapuas Hulu. Apa yang menjadi keluhan masyarakat harus menjadi catatan. Lokasi Kabupaten Kapuas Hulu cukup luas dan terletak paling ujung di Kalbar.
”Dengan berbagai keterbatasan infrastruktur harus bisa menjadi perhatian. Ini soal strategi kebijakan pembangunan untuk memetakan skala prioritas pembangunan,” ujarnya.
Jumadi menekankan, kejadian itu juga menjadi catatan bagi penyelenggara pemilu. Ke depan perlu ada upaya-upaya lebih intensif untuk memberikan sosialisasi dan informasi. Meski apa pun bentuk sosialisasi yang diberikan, kembali kepada pemilih apakah mereka menggunakan hak pilih atau tidak.