”Pesta” Pilkada yang Berselubung Resah
Sehari menjelang kenduri demokrasi Pilkada 2020, panitia tingkat bawah berbenah mempersiapkan tahap akhir. Mereka harus berjibaku menghadapi berbagai kendala lapangan, termasuk ketar-ketir akan ancaman Covid-19.
Sehari menjelang kenduri demokrasi pilkada serentak 2020, panitia tingkat bawah, dibantu warga, berbenah mempersiapkan tahap akhir. Mereka membangun tempat pemungutan suara (TPS) dan harus berjibaku menghadapi berbagai kendala lapangan. Tentu juga, mereka turut ketar-ketir akan ancaman virus di tengah pandemi Covid-19.
Untuk pertama kali dalam 20 tahun terakhir, Syamsu Hasan (71) tidak lagi menjadi panitia pemilihan di lingkungannya, Kelurahan Kassi-kassi, Kecamatan Rappocini, Kota Makassar, Sulawesi Selatan. Kakek 21 cucu ini terbentur batas umur yang menjadi salah satu syarat utama untuk menjadi petugas Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) dalam proses pilkada di tengah pandemi Covid-19 ini.
Meski tidak lagi bertugas, ia menyebut dirinya sukarelawan. Memakai masker yang menutup erat mulut dan hidungnya, ia datang ke TPS 016, di dekat kediamannya. Topi flat cap atau sering disebut topi pelukis tidak mampu menyembunyikan semua rambut putih di kepalanya.
Lincah, ia memasang kain pembatas, mengatur kursi, juga menyiapkan perlengkapan TPS lainnya. ”Kebetulan saya ketua RT, jadi sekalian bantu. Kalau dibilang beda, tahun ini memang beda, tidak sesemarak biasanya, mungkin karena pandemi Covid-19 ini,” katanya.
Dari berbagai proses pemilihan sebelumnya, tutur Syamsu, suasana ramai telah dirasakan jauh hari sebelumnya. Kumpul-kumpul warga dan diskusi banyak dilakukan sebelum hari pemilihan tiba. Pemasangan TPS akan jauh lebih ramai. Saat ini, orang-orang takut jika terlalu lama berada di satu tempat berdekatan dengan banyak orang.
Meski demikian, Syamsu melanjutkan, ia tetap akan datang memilih pada Rabu (9/12/3030). Ia ingin menyalurkan hak pilih untuk calon wali kota Makassar. Ia memilih jadwal pukul 08.00 Wita atau jam awal saat TPS dibuka.
Selain Syamsu, di TPS berukuran sekitar 4 meter x7 meter itu, sejumlah petugas dan warga lain turut membantu menyelesaikan persiapan. Abdul Hannan (59) masih sibuk memasang penanda masuk dan keluar TPS 016 tersebut. Dilengkapi masker, kakek lima cucu ini telaten menyelesaikan penanda arah, lalu melanjutkan memasang spanduk nomor TPS. Setelah mengambil jeda beberapa saat, ia kembali merapikan kain pembatas agar tidak tertiup angin.
Menjaga jarak dan mematuhi protokol kesehatan harus terus dilakukan.
”Saya semangat ini. Saya baru tahun lalu jadi petugas karena sibuk kerja. Tahun ini mau berpartisipasi, tapi umur sudah tidak boleh. Padahal, saya masih kuat,” selorohnya.
Menurut Hannan, pandemi Covid-19 kali ini memang membuat semuanya terasa berbeda. Selain persoalan protokol ketat di pemilihan, suasana menjelang pemilihan juga tidak begitu terasa. Jika sebelumnya warga ramai membantu, saat ini hanya satu-dua orang saja.
Mau tidak mau, ia juga harus pandai-pandai membatasi diri. Menjaga jarak dan mematuhi protokol kesehatan harus terus dilakukan. Ia berharap semua orang mengikuti pola yang sama agar menghindari paparan virus yang masih terus terjadi.
Ahmad Hilmy (40), ketua TPS 016, menyampaikan, di situasi serba terbatas seperti saat ini, persiapan akhir tahapan pemilihan tetap dilakukan sebaik-baiknya. Protokol kesehatan menjadi pedoman utama, baik di saat persiapan maupun saat pemilihan nanti.
Meski demikian, rasa waswas dan risau menjadi bagian tidak terpisahkan yang ia rasakan sebagai bagian dari penyelenggara. Ia harus bertemu dengan banyak orang, mulai dari koordinasi dengan pihak kelurahan hingga petugas lainnya. Tidak jarang sang istri khawatir akan kemungkinan paparan virus.
Dalam kondisi itu, ia tetap merasa harus ambil bagian dari penyelenggaran pemilihan ini. Sebagai warga negara, ia ingin turut membantu menyukseskan perhelatan pilkada yang berlangsung tahun ini. ”Kalau bukan kita, siapa lagi. Mana yang orang tua sudah tidak bisa bertugas, jadi kami yang muda yang mengambil peran. Memang khawatir juga, mana banyak kendala yang terjadi,” ucapnya.
Beragam kendala
Salah satu kendala yang dirasakan, tutur Hilmy, adalah terlambatnya pembagian beberapa logistik pilkada. Baik itu nota pemberitahuan atau undangan memilih hingga yang terakhir adalah buku panduan memilih. Mau tidak mau, Hilmy harus berkali-kali datang untuk mengambil logistik yang dibagikan. Undangan memilih bahkan baru selesai dibagikan ke semua warga pada Senin malam.
Petugas penyelenggara memang merasakan banyak kendala seiring dengan pelaksanaan pilkada di tengah pandemi Covid-19 ini. Tidak hanya logistik yang terlambat, tetapi juga diwarnai penolakan oleh warga.
Hermansyah (37), Ketua TPS 007, BTN Agraria, Kecamatan Tamalate, harus menghadapi sejumlah penolakan warga yang terkesan takut dengan kedatangan orang asing di kediamannya. Padahal, ia dan rekan-rekan petugas hanya ingin mengantarkan undangan memilih bagi warga.
”Baru di pagar rumah, yang punya rumah sudah teriak. Katanya tidak mau memilih. Kami tidak bisa paksa juga karena itu hak warga. Mungkin mereka takut adanya Covid-19 ini,” tutur Herman.
Total, ia dan tim ditolak oleh tiga warga dari 446 warga yang memiliki hak pilih. Padahal, warga tersebut diketahui mereka yang aktif memilih setiap proses pemilihan berlangsung, baik itu tingkat kota, provinsi, maupun nasional.
Saat ini, kami baru sampai di pagar rumahnya, sudah teriak tidak mau pergi memilih.
”Ada satu orang yang termasuk paling rajin kalau ada pemilihan. Terakhir waktu Pilpres 2019 lalu, dia datang jam 7 meski TPS baru dibuka jam 8. Saat ini, kami baru sampai di pagar rumahnya, sudah teriak tidak mau pergi memilih,” ujar Herman.
Pandemi Covid-19, ia melanjutkan, memang membuat pelaksanaan begitu berbeda. Ia harus bersiap dengan segala kemungkinan yang ada, baik di proses pemilihan maupun kondisi kesehatan diri dan petugas lainnya.
Sejauh ini, ia dan enam petugas lainnya telah menjalani pemeriksaan uji cepat yang diselenggarakan KPU Kota Makassar. Hasil non-reaktif cukup membuatnya tenang. Namun, pemilihan dengan banyak orang tentu berpotensi membuat penularan terjadi.
Data KPU Kota Makassar, sebanyak 462 petugas KPPS diketahui masih reaktif Covid-19 pada pekan lalu. Uji cepat kembali dilakukan pada Minggu (6/12/2020). Dari hasil uji itu, diketahui sebanyak 127 petugas masih reaktif.
Endang Sari, komisioner KPU Makassar Divisi Sosialisasi dan SDM, sebelumnya menjabarkan, 127 petugas ini telah diuji cepat kembali dan ditemukan sebanyak 68 petugas yang masih reaktif. Mereka lalu diarahkan uji spesimen untuk mengetahui betul kondisi kesehatannya.
Petugas akan dipastikan benar-benar sehat sebelum turun ke lapangan.
”Dari 68 orang yang diarahkan untuk tes usap, beberapa orang mundur karena tidak ingin. Sementara itu, ada 17 orang yang dilakukan uji spesimen oleh petugas kesehatan. Kami masih tunggu hasilnya,” ujar Endang.
Ketua KPU Kota Makassar Farid Wajdi menambahkan, petugas akan dipastikan benar-benar sehat sebelum turun ke lapangan. Oleh karena itu, petugas yang diketahui reaktif jelang hari pemilihan tidak akan ditugaskan dan diganti oleh petugas lainnya.
Baca juga: Hambar Gagasan dalam Berebut Pemilih Mengambang di Makassar
Selain itu, pihaknya mengantisipasi kendala teknis yang dihadapi petugas, baik itu terkait pemilihan maupun kesehatan. Pemilih yang diketahui memiliki suhu tubuh tinggi diarahkan ke bilik khusus yang dijaga petugas dengan pakaian hazmat.
Kota Makassar merupakan daerah dengan sebaran Covid-19 yang paling tinggi di Sulsel. Bahkan, pada Senin (7/12/2020), angka positif terpapar virus bahkan mencapai angka tertingginya, yaitu 345 kasus dalam sehari. Kota ini merupakan satu dari 12 wilayah yang melaksanakan pilkada di Sulsel dan menjadi bagian dari 270 daerah yang menyelenggarakan pilkada di Indonesia.
Epidemiolog Universitas Hasanuddin, Ridwan Amiruddin, mengingatkan, situasi setelah pilkada berpotensi memunculkan ledakan kasus baru Covid-19. Sebab, petugas pilkada akan berada di satu tempat dengan warga ataupun petugas lainnya.
Dari data jumlah kasus, tutur Ridwan, sepekan terakhir saja angka penambahan kasus baik secara nasional maupun regional terus terjadi. Lemahnya protokol di masyarakat membuat angka terus tinggi. ”Sudah begitu banyak yang menjadi korban akibat terpapar Covid-19. Tidak ada kata lain, protokol betul-betul harus dipatuhi dan tes benar-benar dijalankan,” ucapnya.
Analisis dari LaporCovid19, aliansi masyarakat yang melakukan penghitungan dan olah data kasus Covid-19 di Indonesia, kasus positif Covid-19 akan semakin tinggi setelah pilkada serentak mendatang. Jutaan kasus baru diprediksi akan terjadi akibat berkumpulnya banyak orang dalam satu waktu.
Baca juga: Ratusan Petugas Pilkada di Sulsel Reaktif Covid-19, Ledakan Kasus Dikhawatirkan Terjadi
Komnas HAM juga telah mengingatkan agar pilkada serentak kali ini tidak membuat petugas menjadi korban. Berkaca pada Pemilu 2019, sebanyak 897 petugas KPPS dilaporkan meninggal akibat kelelahan. Saat itu, pemilu untuk pertama kalinya dilakukan serentak, mulai dari pemilihan presiden dan wakil presiden, pemilihan pegislatif dari tingkat DPR RI, hingga DPRD provinsi, juga kabupaten/kota.
Syamsu berharap, semua petugas terus dalam kondisi sehat hingga perhelatan pilkada ini selesai. ”Kita patuhi protokol dengan ketat. Semoga lancar semuanya, dan yang paling penting tidak ada yang sakit nanti,” ujarnya.