Berkali-kali Diusir, Tambang Liar Gempur Hutan Desa
Meski telah berkali-kali diusir oleh masyarakat, petambang liar terus nekat menggempur hutan di kawasan hulu sungai demi butiran emas. Masyarakat meminta negara bertindak menegakkan hukum.
Oleh
IRMA TAMBUNAN
·4 menit baca
Aktivitas tambang emas liar bolak-balik merambah hutan desa di Lubuk Bedorong, Kecamatan Limun, Kabupaten Sarolangun, Jambi. Meski telah berkali-kali diusir oleh masyarakat penjaga hutan, para pekerja tambang terus menggempur kawasan hulu demi butiran emas.
”Sudah kami usir, bahkan kami bakar alat berat mereka. Para petambang liar masih datang lagi,” keluh Zawawi, Ketua Lembaga Pengelola Hutan Desa (LPHD) Lubuk Bedorong, Jumat (4/12/2020).
Wilayah hulu Sungai Limun memang diketahui mengandung emas. Namun, bagi masyarakat, emas bukan untuk dikeruk karena selalu menyebabkan air sungai keruh dan tercemar. Selama turun-temurun, air sungai merupakan sumber kehidupan masyarakat. Mereka juga memiliki kearifan lokal yang disebut dengan ”kepala sauk” dan ”lubuk larangan”. Kepala sauk artinya hulu sungai yang patut dijaga, sedangkan lubuk larangan adalah warisan pangan berkelanjutan bagi generasi anak cucu.
Di tengah perjuangan masyarakat merawat Hutan Desa Lubuk Bedorong, pekerja tambang terus mengincar emas. Ketua pemuda desa yang juga tergabung dalam tim patroli hutan desa, Parianto, menceritakan, timnya berulang kali menemukan aktivitas tambang liar dalam kawasan itu. Awalnya, pada Agustus 2017, tim yang berpatroli di hutan desa mendapati alat berat tengah mengeruk hulu Sungai Sipa.
Melihat aktivitas liar itu, tim patroli mendekati untuk mengusir para petambang. Ternyata, operator dan pekerja tambang menolak berhenti. Akibatnya, terjadi ketegangan di antara kedua belah pihak. Oleh karena tak rela melihat sungainya dirusak, masyarakat pun membakar alat berat tersebut.
Pasca-pembakaran alat berat, tambang liar sempat terhenti. Air sungai kembali jernih. Namun, Agustus 2020, aktivitas liar yang lagi-lagi mengerahkan kekuatan alat berat kembali berulang. Bahkan, kali ini tak hanya didapati tambang emas liar, tetapi juga pembalakan liar.
Mengetahui maraknya aktivitas itu, para penjaga hutan kembali mengusir dan membakar alat berat. ”Sejak kejadian itu, masyarakat mulai menerima sejumlah ancaman dari para pelaku,” katanya.
Berlanjut lagi pada November 2020, ada alat berat kembali masuk ke hutan desa. Kali ini tidak tanggung-tanggung. Jumlahnya lima unit sekaligus. Karena mengetahui gawatnya kondisi tersebut, masyarakat langsung melaporkannya kepada Pemerintah Kabupaten Sarolangun.
Pasca-pembakaran alat berat, tambang liar sempat terhenti. Air sungai kembali jernih. Namun, Agustus 2020, aktivitas liar yang lagi-lagi mengerahkan kekuatan alat berat kembali berulang. Bahkan, kali ini tak hanya didapati tambang emas liar, tetapi juga pembalakan liar.
Laporan itu direspons lewat pembentukan tim operasi gabungan pemda Sarolangun, Kesatuan Pengelolaan Hutan, serta kepolisian resor dan TNI di wilayah Sarolangun. Saat tim gabungan mendatangi lokasi, ditemukan alat berat sudah keluar. Tersisa berbagai perlengkapan milik petambang, seperti ayakan emas, bahan bakar alat berat, dan sejumlah perlengkapan lainnya. Alat berat sudah keluar dari lokasi setelah mengetahui tim aparat akan masuk.
Ironisnya, setelah tim gabungan pulang, alat berat kembali masuk ke dalam hutan. Hal itu kian menambah kerisauan keprihatinan masyarakat. ”Kami sangat berharap keseriusan negara memberantas para petambang liar ini,” tambah Zamawi.
Masyarakat Lubuk Bedorong sangat ingin menjaga kelestarian hutan mereka. Terlebih sejak 2017, mereka telah memperoleh izin kelola hutan negara lewat skema hutan desa dari Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Luasnya 5.330 hektar.
Selain menjadi sumber air minum dan lubuk larangan, keberadaan sungai merupakan sarana transportasi, irigasi, hingga pembangkit listrik tenaga mikrohidro. Sementara emas diperoleh lewat cara tradisional, yakni mendulang.
Wilayah itu juga memiliki keanekaragaman jenis flora dan fauna yang tinggi. Dari inventarisasi oleh Komunitas Konservasi Indonesia Warsi pada 2005 teridentifikasi sebanyak 103 spesies flora, yang sebagian di antaranya berdiameter besar sehingga merupakan penyerap karbon potensial. Tersebar pula 38 spesies burung dan 13 jenis mamalia.
Sebagian di antara mamalia itu bahkan masuk Appendix I daftar CITES, yaitu macan dahan (Neofelis nebulosa), tapir (Tapirus indicus), beruang madu (Helarctus malayanus), dan ungko (Hylobathes agillis). Keragaman hayati masih didapat karena kondisi hutan yang terjaga.
Menurut Zamawi, jauh sebelum dikukuhkan sebagai hutan desa, masyarakat pun selalu menjaga. Bahkan, ada kesepakatan di antara desa-desa di sekeliling hutan untuk sama-sama melindungi hutan itu.
Tokoh masyarakat setempat, Warman, menjelaskan, kesepakatan bersama yang dibuat untuk melindungi hutan juga telah tertuang dalam bentuk surat pernyataan perlindungan hutan yang ditandatangani bersama oleh para perangkat desa dan tengganai nan balimo pada 8 April 2015. Surat pernyataan itu menjadi wujud kesungguhan masyarakat menjaga hutan.
”Lihatlah sungai kami. Airnya sudah sangat keruh. Belum lagi ancaman banjir dan longsor mengintai keselamatan kami,” ujar Warman.
Masyarakat berharap pemerintah dan aparat turun tangan menegakkan hukum dan perlindungan hutan.