Kota Ambon, Maluku, perlu menjadi tempat belajar bagi segenap anak bangsa dalam merawat kerukunan dan persaudaraan.
Oleh
FRANSISKUS PATI HERIN
·4 menit baca
AMBON, KOMPAS — Kota Ambon, Maluku, yang pernah porak-poranda akibat konflik sosial bernuansa agama 21 tahun silam telah bangkit menjadi kota dengan kehidupan persaudaraan terbaik di Indonesia. Bangsa Indonesia diajak untuk belajar tentang kerukunan masyarakat dan jalan merawat perdamaian di Ambon. Kekerasan atas nama agama jangan sampai terulang lagi di bumi Nusantara.
Demikian benang merah dari acara silaturahim dan dialog lintas tokoh agama Kota Ambon bertajuk ”Pesan Damai dari Ambon untuk Indonesia” yang digelar oleh Pemerintah Kota Ambon. Acara rutin setiap tahun itu kini digelar secara virtual pada Selasa (8/12/2020) siang hingga petang. Acara dibuka oleh Menteri Agama Fachrul Razi setelah diawali ucapan selamat datang dari Wali Kota Ambon Richard Louhenapessy.
Hadir sebagai pembicara Imam Besar Masjid Istiqlal Jakarta KH Nasaruddin Umar, Wakil Ketua DPD RI Nono Sampono, Sekretaris Umum Persatuan Gereja Indonesia Pendeta Jacklevyn F Manuputty, Ketua Komisi Keluarga Konferensi Waligereja Indonesia Mgr Ch Tri Harsono, dan Kepala Polres Kota Pulau Ambon dan Pulau-pulau Lease Komisaris Besar Leo Simatupang. Diskusi dipandu oleh dosen Institut Agama Islam Negeri Ambon, Abidin Wakano.
Facrul dalam sambutannya mengemukakan rasa bangga dan penghargaannya atas terciptanya kerukunan di Kota Ambon pada khususnya dan Maluku pada umumnya. Kerukunan itu kembali tercipta setelah sempat terkoyak oleh konflik tahun 1999. ”Saya bisa katakan bahwa Maluku saat ini adalah tempat belajar kerukunan bangsa yang paling baik,” katanya.
Ia mengajak semua pemeluk agama untuk memegang teguh pada esensi kehidupan bergama. Agama lahir dengan misi mulianya mengajarkan tentang kebaikan. Agama selalu mengajak pada kehidupan yang baik, toleran, adil, dan saling menghormati. ”Orang karena itu, peranan tokoh agama sangat-sangat penting,” ujarnya.
Dalam catatan Kompas selama tujuh tahun terakhir, pertemuan tokoh lintas agama dan doa bersama sering dilakukan di Ambon. Tokoh agama selalu hadir manakala beredar isu yang dianggap dapat mengusik kerukunan, seperti dinamika politik di Jakarta yang kental dengan isu agama. Para tokoh agama kemudian mengarahkan para pengikutnya untuk menjauhi konflik.
Maluku merupakan miniatur Indonesia.
Nasaruddin Umar menyampaikan kekagumannya dengan kerukunan yang terjadi pada saat Musabaqah Tilawatil Quran (MTQ) tahun 2012 di Ambon. Panitia MTQ saat itu berasal dari semua agama. Yang paling berkesan bagi Nasaruddin ialah peserta MTQ dari Provinsi Banten diterima untuk tinggal di kantor Litbang Keuskupan Amboina. ”Mereka mengaji dengan suara yang sangat merdu dan keras di gedung Litbang,” ujarnya.
Cerita tentang kerukunan di Ambon, lanjut Nasaruddin yang pernah menjadi pejabat di Kementerian Agama itu, sering menjadi ”jualan” mereka ketika memperkenalkan kerukunan Indonesia kepada dunia Internasional. Dunia pun kagum pada kerukunan di Indonesia. Menurut dia, Maluku merupakan miniatur Indonesia.
Nono Sampono, yang juga putra Maluku, berpendapat, toleransi sudah tumbuh dalam kehidupan sosial masyarakat Maluku jauh sebelum Indonesia merdeka. Hubungan sosial itu dikenal dengan sebutan ”pela” dan ”gandong”. Pela dan gandong menjadi salah satu kekuatan untuk merajut kembali hubungan yang tergores akibat konflik.
Mgr Ch Tri Harsono menambahkan, pengalaman Ambon menjadi pembelajaran bagi semua orang. Dari percekcokan kecil yang merembet menjadi kerusuhan besar dengan kerusakan yang luar biasa, baik materiil maupun nonmateriil, sehingga pemulihannya pun membutuhkan waktu yang lama. Ia berharap pengalaman buruk itu jangan sampai terulang kembali, baik di Ambon maupun di tempat lain.
Menurut Harsono, tantangan terbesar saat ini ialah adanya fitnah dan berita bohong yang berpotensi memecah belah persatuan dan kesatuan bangsa. Hal itu dilatari kepentingan pribadi atau kelompok tertentu. Bahkan, terkadang agama dijadikan sebagai alat politik.
Jacklevyn F Manuputty menambahkan, betapa pentingnya peran agama dalam menghadirkan kedamaian di tengah situasi pendemi Covid-19 yang terjadi saat ini. Ekonomi masyarakat kian terpukul karena banyak orang kehilangan pekerjaan. Kekerasan, terutama yang terjadi di dalam rumah, meningkat.
Ia menilai, banyak orang mulai putus asa dan hilang harapan. Ada yang bahkan tidak percaya akan kekuatan Tuhan yang diharapkan datang memberi keselamatan di kondisi yang sulit ini. ”Jangan sampai pandemi Covid-19 bermutasi menjadi epidemi keputusasaan,” ujarnya. Pandemi, lanjutnya, harus menjadi titik refleksi bahwa manusia ini setara. Rapuh di hadapan Covid-19.