Lembaga Mediasi Jadi Kekuatan Selesaikan Konflik di Kebun Sawit
Baru-baru ini, 19 peneliti dari dalam dan luar negeri menyelesaikan riset terkait konflik di perkebunan kelapa sawit. Salah satu wilayah yang diteliti adalah Kalimantan Tengah yang memiliki banyak konflik tak selesai.
Oleh
DIONISIUS REYNALDO TRIWIBOWO
·4 menit baca
PALANGKARAYA, KOMPAS — Lembaga mediasi independen tingkat provinsi dan kabupaten perlu dibentuk untuk selesaikan konflik di perkebunan sawit juga penguatan organisasi kemasyarakatan. Hal itu mendesak dilakukan lantaran angka konflik yang terus meningkat seiring dengan meluasnya alih fungsi lahan.
Lembaga mediasi dan penguatan organisasi tersebut muncul dalam rekomendasi kebijakan dalam penyelesaian dan pencegahan konflik di lahan sawit. Hal itu diungkapkan dalam ”Diskusi Publik dan Peluncuran Laporan Riset tentang Menyelesaikan Konflik Kelapa Sawit di Kalteng: Evaluasi dan Rekomendasi untuk Meningkatkan Mekanisme Resolusi Konflik yang diselenggarakan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Kalteng pada Senin (7/12/2020).
KOMPAS/IRMA TAMBUNAN
Kebijakan pembukaan hutan selama 40 tahun terakhir telah mengabaikan keberadaan komunitas adat Orang Rimba, yang merupakan penghuni hutan penyangga Bukit Duabelas, Jambi. Untuk bertahan, sebagian warga membangun hunian darurat di perkebunan sawit swasta.
Dalam diskusi itu, hadir para peneliti dari KITLV Leiden, yakni Ward Berenschot dan Ahmad Dhiaulhaq. Selain itu, hadir pula peneliti muda dari Universitas Palangkara Raya, Yuliana. Riset tersebut dilaksanakan selama satu tahun oleh 19 peneliti yang didukung oleh Universitas Andalas, Universitas Wageningen, KITLV Leiden, dan enam LSM di Indonesia. Mereka melakukan penelitian di empat provinsi, yakni Kalimantan Tengah, Kalimantan Barat, Sumatera Barat, dan Riau.
”Ada beragam masalah yang muncul di lahan sawit, tetapi menurut kami, salah satu akar atau dasar masalahnya adalah kepemilikan lahan oleh negara yang merupakan buah kebijakan dan pemikiran era kolonial ratusan tahun lalu yang masih digunakan saat ini,” ungkap Ward Berenschot.
Menurut Ward, banyak konflik bermula ketika izin diberikan tanpa melibatkan masyarakat sekitar, apalagi masyarakat adat dalam pengambilan keputusan. ”Jadi, para petani atau warga tidak tahu kalau tanah yang mereka garap sejak lama tiba-tiba diberikan izinnya oleh pemerintah,” jelasnya.
Dari data penelitian itu, 80 persen dari 182 konflik yang ada di Kalteng berasal dari keluhan penyerobotan lahan, lalu diikuti oleh masalah skema plasma sebesar 60 persen, polusi, dan dampak lingkungan sebesar 24 persen.
KOMPAS/ICHWAN SUSANTO
Wahana Lingkungan Hidup Indonesia memprotes pengecualian data hak guna usaha (HGU) kebun kelapa sawit. Pada 6 Mei 2019, Deputi Pangan dan Pertanian Kementerian Koordinator Perekonomian Musdhalifah Machmud mengeluarkan suat terkait pengecualian tersebut.
”Dari masalah-masalah yang muncul itu, masyarakat paling gemar melakukan demonstrasi untuk menyelesaikan masalahnya,” ungkap Ward.
Ward menambahkan, upaya yang dilakukan masyarakat dari hasil penelitian timnya, antara lain, melakukan demonstrasi sebesar 69 persen, dengar pendapat 62 persen, blokade jalan 56 persen, dan ritual adat 24 persen. ”Sayangnya, sebesar 44 persen aksi protes berujung kriminalisasi, sedangkan 33 persennya berujung insiden kekerasan,” ungkapnya.
Ahmad Dhiaulhaq menjelaskan, dari hasil riset tersebut mekanisme resolusi konflik yang dilakukan pemerintah maupun masyarakat sebesar 44 persen nyaris tidak berhasil sama sekali, 29 persen tidak berhasil dan hanya 2 persen yang berhasil atau satu kasus.
”Nyaris tidak berhasil sama sekali itu biasanya yang kami temukan di lapangan mereka melakukan mediasi dan menghasilkan kesepakatan, namun tidak dijalankan atau sekadar pertemuan dan seremonial,” ungkap Ahmad.
Menurut Ahmad, perlu dibentuk desk mediasi atau lembaga mediasi yang independen untuk penyelesaian konflik. Di dalam lembaga itu perlu dilibatkan banyak pihak, baik pemerintah, lembaga masyarakat, maupun organisasi nonpemerintah (NGO). Lembaga itu bisa bekerja memengaruhi kebijakan dan bahkan bisa langsung bekerja di lokasi konflik.
KOMPAS/DIONISIUS REYNALDO TRIWIBOWO
Peserta aksi membakar ban dan benda lainnya karena tidak diizinkan masuk ke halaman Gedung DPRD Provinsi Kalteng, Kamis (8/10/2020). Ratusan mahasiswa dari sejumlah universitas di Kalteng mendatangi Gedung DPRD Kalteng untuk menyatakan penolakan terhadap RUU Cipta Kerja.
Tak hanya lembaga mediasi, lanjut Ahmad, kelembagaan masyarakat atau pengorganisasian masyarakat juga perlu diperkuat untuk mencegah terjadinya konflik. Sehingga tak hanya penanganan tetapi juga pencegahan, semakin kuat organisasi masyarakat, maka akan semakin siap mereka menghadapi, mencegah, bahkan keluar dari konflik.
”Orang-orangnya tentu harus memiliki kapasitas dalam mediasi dan memahami resolusi konflik sehingga betul-betul efektif bekerja dari bawah,” ungkap Ahmad.
Hadir pula dalan diskusi itu perwakilan dari Biro Hukum Sekretariat Daerah Provinsi Kalteng Rio Jenerio Manik. Menurut Rio, riset yang dilakukan oleh para peneliti bisa menjadi bahan penting pembahasan rancangan peraturan daerah untuk penyelesaian konflik tenurial dan agrarian yang sedang dibahas di DPRD Provinsi Kalteng saat ini.
”Riset itu bisa memberikan masukan sehingga rekomendasi soal kelembagaan mediasi yang penting dibentuk itu bisa dibahas dan ada payung hukumnya nanti,” ungkap Rio.
KOMPAS/DIONISIUS REYNALDO TRIWIBOWO
Warga Desa Belanti Siam membersihkan lahan di sawah milik orang yang mengupahnya di Kabupaten Pulang Pisau, Kalteng, Jumat (4/9/2020). Kawasan lumbung pangan itu rencananya bakal dikembangkan pemerintah menjadi pusat lumbung pangan nasional.
Sekretaris Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) Kalteng Halind Ardi mengungkapkan, pihaknya terbuka dengan segala bentuk pemikiran dari luar. Menurut dia, selama ini setiap perusahaan, organisasi pengusaha di dalam maupun luar negeri memang memiliki mekanisme penyelesaian konflik sendiri. Namun, masih banyak kekurangan dan perlu terus disempurnakan.
”Memang banyak masalah cara penyelesaiannya juga disesuaikan dengan tipologi masalah itu, jadi semakin banyak masukan akan semakin baik,” kata Halind.
Halind menjelaskan, hampir tiap tahun satu perusahaan bisa memperluas wilayah hingga 10.000 hektar. Semakin luas wilayahnya itu, Halind mengakui, akan semakin banyak masalah dan tantangan yang datang.
”Saya sepakat sekali adanya kelembagaan itu, apalagi jika jadi kebijakan. Kami pasti patuh karena niat kami menyelesaikan konflik tinggi, konflik ini juga membuat perusahaan merugi,” kata Halind.