Harmoni dalam keberagaman menjadi bagian penting dari derap kehidupan warga yang dipertemukan di Desa Lembantongoa, Kabupaten Sigi, Sulteng. Kekuatan itu pun tak goyah saat diuji ulah kelompok teroris.
Oleh
VIDELIS JEMALI
·5 menit baca
KOMPAS/VIDELIS JEMALI
Suasana di Desa Lembantongoa, Kecamatan Palolo, Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah, Selasa (1/12/2020).
Selepas rehat setelah membersihkan puing-puing dua bekas rumah yang dibakar, Sutikno (42) bersama 12 warga lainnya menuju rumah di sisi barat yang dapurnya dibakar. Mereka menyingkirkan potongan kayu dan elemen bangunan lainnya yang terbakar ke pinggir. Karena masih banyak bagian bangunan yang utuh, Sutikno tak lama di situ.
Selasa (1/12/2020) siang itu Sutikno dan warga Satuan Permukiman 2 Dusun V Lewonu, Desa Lembantongoa, membersihkan puing-puing rumah yang dibakar anggota kelompok teroris Mujahidin Indonesia Timur (MIT) pada Jumat (27/11). Desa itu terletak di Kecamatan Palolo, Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah.
“Begitu diberi tahu kepala dusun, kami langsung turun. Ke kebun nanti dulu. Datang ke sini bentuk penghormatan terhadap teman-teman kami yang jadi korban kekerasan orang tak ada hati,” kata transmigran asal Kabupaten Purworejo, Jawa Tengah, yang masuk ke Lembantongoa pada 2014 itu.
Salah satu bekas rumah yang dibersihkan puing-puingnya adalah tempat ibadah yang digunakan 13 keluarga selama ini. Karena agak jauh dengan gereja di Satuan Permukiman 1 Dusun V Tokelemo, jemaat Gereja Bala Keselamatan beribadah di situ. Jarak dari lokasi tersebut ke gereja sekitar 4 kilometer dengan jalan sebagian rabat/cor beton, sebagian lagi masih berupa jalan tanah berbatu. Jalan menanjak dan menurun cukup ekstrem.
KOMPAS/VIDELIS JEMALI
Sejumlah warga membersihkan puing-puing rumah yang dibakar oleh kelompok teroris di Desa Lembantongoa, Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah, Selasa (1/12/2020).
Sutikno yang beragama Islam, seperti 12 warga lainnya yang membersihkan puing-puing, tak ragu untuk datang ke lokasi rumah yang dibakar. Jaraknya sekitar 1,5 kilometer dari rumahnya. “Saya berkawan baik dengan Pak Yasa,” katanya.
Yasa (50), Naka (50), Pedi (20), dan Pinu (24) adalah korban pembunuhan oleh anggota MIT. Tak hanya membunuh, kelompok yang jumlahnya 11 orang yang terus diburu aparat tersebut juga membakar enam rumah. Empat rumah ludes terbakar, termasuk salah satunya yang dijadikan tempat ibadah.
Dua rumah lainnya dibakar bagian dapurnya. Kecuali salah satu rumah yang berdampingan dengan rumah ibadah, empat rumah lainnya terpisah cukup jauh satu sama lain. Rumah Naka yang juga dibakar, misalnya, berjarak sekitar 75 meter dari rumah terdekat yang juga dibakar.
Sutikno mengenal baik Yasa. Ia sering berkunjung ke rumah Yasa, begitu pun Yasa acapkali membesuknya. “Kami bercerita tentang hasil kebun, terutama kopi. Ketemu di jalan juga sering ngobrol. Saya kenal dia orang baik,” ucap bapak dua anak yang sempat dua hari mengungsi ke Dusun V Tokelemo pascapembunuhan itu.
KOMPAS/VIDELIS JEMALI
Tampak rumah-rumah warga di Satuan Permukiman 2 Dusun V Lewonu Desa Lembantongoa, Selasa (1/12/2020).
Kulminasi keakraban Sutikno dan warga Muslim lainnya dengan warga Kristen terwujud pada perayaan besar keagamaan. Saat Natal, mereka berkunjung ke rumah warga Kristen, termasuk ke rumah Yasa. Saat Idul Fitri, warga Kristen bersilaturahmi ke rumah-rumah warga Muslim. “Ini sudah dijalin sejak saya tiba pada 2014. Kami harmonis. Tak ada konflik, perkelahian. Kejadian lalu itu tak mencerminkan kehidupan di sini. Itu keji,” ucapnya.
Harmoni kehidupan di Lembantongoa sudah terpatri sejak daerah itu dimukimi sekitar 40 tahun lalu. Syarman (64), salah satu dari generasi pertama yang menempati Lembantongoa pada 1982 bersama orangtuanya, menjadi saksi.
Tak hanya saling mengunjungi saat perayaan keagamaan dari rumah ke rumah, warga berlatar belakang agama dan suku berbeda sering bergotong royong kerja bakti di rumah ibadah. Kalau ada jemaat menggelar kerja bakti di gereja, Syarman dan teman-temannya yang Muslim bergabung. Hal sebaliknya terjadi saat ada kerja bakti di masjid.
“Sejak saya tinggal di sini, tak ada intimidasi dan konflik. Semua berjalan dalam keakraban. Kebersamaan telah jadi bagian dari perjalanan Lembantongoa,” ujar imam desa itu.
KOMPAS/VIDELIS JEMALI
Syarman (58), tokoh agama Islam di Desa Lembantongoa, Selasa (1/12/2020).
Kisah harmoni dalam keberagaman di Lembantongoa mekar sejak awal, saat daerah itu ditempati warga pada 1982. Mayoritas warga waktu itu berasal dari Kecamatan Kulawi, Sigi, di selatan Sulteng. Mereka mengikuti program transmigrasi lokal karena kekurangan lahan untuk perkebunan. Mereka beragama Kristen. Mereka juga merupakan suku tersendiri, yakni Suku Kulawi, salah satu suku di Sigi.
Namun, di antaranya turut serta warga dari daerah lain di Sulteng yang beragama Islam. Mereka dari wilayah sekitar Palu, terutama Kecamatan Dolo, Sigi. Mereka berlatar belakang Suku Kaili yang mendiami Lembah Palu yang mencakup Sigi, Kota Palu, dan Donggala.
Seiring waktu, dengan program transmigrasi bertahap sejak 2011, warga berbagai latar belakang agama dan suku bersatu di Lembantongoa. Ada dari Jawa, ada pula dari sekitar Sigi bagian barat serta Palolo yang berjarak 9 kilometer arah barat Lembantongoa, yang juga daerah akses masuk ke Lembantongoa.
KOMPAS/VIDELIS JEMALI
Seorang warga berangkat ke kebun di Desa Lembantongoa, Selasa (1/12/2020).
Saat ini sekitar 75 persen dari 3.050 warga Lembantongoa beragama Kristen. Sisanya memeluk Islam. Penghasilan utama warga adalah dari komoditas perkebunan, terutama kakao, kopi, dan vanili. Mayoritas warga bermukim terpusat di Dusun I sampai Dusun IV. Permukiman lalu berkembang ke arah utara membentuk Dusun V Tokelemo dan Lewonu.
Lembantongoa terletak di timur Palolo, pusat Kecamatan Palolo, yang berada di Jalan Poros Kota Palu-Lembah Napu, Kabupaten Poso. Dari Palolo, tepatnya Desa Tongoa, daerah itu berjarak sekitar 10 kilometer. Dari Palu, ibu kota Sulteng, jaraknya sekitar 60 kilometer.
Jalan lima kilometer pertama dari Tongoa menuju Lembantongoa berupa tanjakan menuju titik yang oleh warga setempat disebut Gunung Pasir. Selepas titik itu, sebagian jalannya rata, lalu turunan menuju permukiman warga.
Separuh jalnnya dirabat/cor beton, sebagian lagi masih jalan tanah berbatu. Ada ruas dengan panjang sekitar 200 meter cukup sulit dilalui karena jalan tanah berbatu dengan turunan (dari Tongoa) atau tanjakan (dari Lembantongoa) yang ekstrem.
KOMPAS/VIDELIS JEMALI
Salah satu ruas jalan menuju Desa Lembantongoa, Selasa (1/12/2020) yang cukup ekstrem untuk dilintasi.
Kebersamaan antarwarga tak sedikit pun canggung saat kejadian tragis pada Jumat itu meledak. Syarman mengkoordinasikan sebagian warga Muslim untuk menggali kubur para korban. Kuburan berjarak sekitar 1,5 kilometer dari permukiman. Bersama dengan keluarga, sebagian lagi menggotong empat peti jenazah menuju kuburan.
Seangkatan Syarman, warna keberagaman yang harmonis di Lembantongoa jadi bagian hidup Agustina Tadu (58), tokok perempuan Kristen. Selain beranjangsana saat perayaan keagamaan, berbagai lomba digelar untuk meramaikan hari besar tersebut. Ada pertandingan sepak bola untuk lelaki, ada bola voli untuk perempuan.
Komposisi pemain pun beragam latar belakangnya, baik agama maupun suku. Kebersamaan itu tak dilakukan sepanjang tahun ini karena pandemi Covid-19. “Kami di sini seperti saudara-saudari kandung, tidak pandang latar belakang. Semua baku sayang. Tidak ada tempat untuk kekerasan atas sentimen apa pun di Lembantongoa,” katanya.
KOMPAS/VIDELIS JEMALI
Pemandangan di salah satu ruas jalan Desa Lembantongoa, Selasa (1/12/2020).
Kepala Desa Lembantongoa Deki Basalulu mengatakan, selama Lembantongoa ada, kedamaian dan harmoni kehidupan akan selalu menjadi bagian dari napas warga. Semua elemen masyarakat terus menjaga kebersamaan tersebut dalam rupa-rupa kegiatan bersama.
Tragedi pada sepekan lalu tak mengusik kehidupan harian warga Lembantongoa yang harmonis. Harmoni di kawasan itu sesejuk hawa yang diembuskan hutan gunung yang mengitarinya.