Tes cepat antibodi masih banyak digunakan di Indonesia untuk penapisan dan deteksi kasus Covid-19 meskipun tidak tepat. Ahli berpendapat tes cepat antibodi bisa diganti tes usap antigen dalam mendeteksi virus.
Oleh
KURNIA YUNITA RAHAYU/BENEDIKTUS KRISNA YOGATAMA/DHANANG DAVID ARITONANG/IRENE SARWINDANINGRUM/HARRY SUSILO
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS - Penggunaan tes cepat antibodi untuk penapisan risiko penularan Covid-19 dinilai salah kaprah karena dapat menjerumuskan dalam keamanan semu. Sebab, hasil tes antibodi tidak mencerminkan kondisi sebenarnya. Ahli mendesak pemerintah untuk mengganti tes antibodi dengan tes antigen dalam penapisan.
Pengurus bidang organisasi Perhimpunan Dokter Spesialis Patologi Klinik dan Kedokteran Laboratorium Indonesia (PDS Patklin) Tonang Dwi Ardyanto menjelaskan, penggunaan tes cepat antibodi untuk menapis atau menemukan kasus baru Covid-19 tidak tepat. Pemeriksaan tersebut bukan mendeteksi keberadaan virus, melainkan antibodi atau kekebalan spesifik Covid-19. Adapun antibodi terbentuk melalui infeksi atau vaksinasi.
Oleh karena itu, tes cepat antibodi lebih tepat digunakan untuk memetakan penduduk yang sudah terinfeksi Covid-19 di suatu wilayah. Pemetaan yang tepat akan mendukung tindak lanjut epidemiologi yang jitu. “Namun selama ini, justru tes cepat antibodi banyak digunakan untuk menapis risiko penularan atau mendeteksi kasus baru. Hal itu yang salah kaprah,” kata Tonang, saat dihubungi, Rabu (2/12/2020).
Menurut dia, penggunaan tes cepat antibodi di masa awal pandemi bisa dimaklumi karena keterpaksaan. Tes dengan metode reaksi berantai polimerase (PCR) masih terbatas, sehingga tidak ada pilihan lain. “Masalahnya, keterpaksaan itu berlanjut secara salah kaprah ketika pemeriksaan PCR sudah makin banyak tersedia di sebagian wilayah,” ujar Tonang.
Salah kaprah yang berulang ini ditunjukkan dengan penapisan risiko penularan dari anggota Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS). Jelang Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 9 Desember 2020, puluhan ribu anggota KPPS dari 270 daerah penyelenggara Pilkada wajib mengikuti tes cepat antibodi.
Ini diatur dalam Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 6 Tahun 2020 tentang Pelaksanaan Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, dan/atau Wali Kota dan Wakil Wali Kota Serentak Lanjutan dalam Kondisi Bencana Non-Alam Covid-19.
Selain itu, tes cepat antibodi juga masih digunakan sebagai syarat perjalanan bagi penumpang transportasi publik. Salah satunya kereta api. “Rapid test atau tes PCR atau surat keterangan sehat atau bebas influenza masih menjadi persyaratan untuk naik Kereta Api Jarak Jauh. Persyaratan mengacu surat edaran Kementerian Perhubungan dan Satuan Tugas Penanganan Covid-19,” kata Kepala Humas PT Kereta Api Indonesia (KAI) Daerah Operasi (Daop) I Eva Khairunnisa.
Secara nasional, tes cepat antibodi memang masih digunakan untuk berbagai keperluan. Hal itu diatur dalam Keputusan Menteri Kesehatan (Kepmenkes) Nomor HK.01.07/Menkes/413/2020 tentang Pedoman Pencegahan dan Pengendalian Covid-19.
Tes cepat tidak digunakan untuk diagnostik, tetapi untuk penapisan pada populasi spesifik dan situasi khusus. Misalnya, pelaku perjalanan (termasuk kedatangan Pekerja Migran Indonesia, terutama di wilayah Pos Lintas Batas Darat Negara).
Mantan Direktur Perlindungan Penyakit Menular Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) Asia Tenggara Tjandra Yoga Aditama menambahkan, hasil tes cepat antibodi tidak dapat menentukan seseorang dinyatakan terinfeksi Covid-19 atau tidak. Artinya, penggunaan tes antibodi untuk penapisan hampir tidak ada bedanya jika tidak diterapkan tes sama sekali.
“Makanya untuk penerbangan internasional rata-rata menggunakan syarat tes PCR,” ujar Tjandra yang juga Guru Besar Paru Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Membingungkan
Hasil tes cepat antibodi yang tidak mencerminkan diagnosis berdampak pada kebingungan, bahkan kerugian warga. Salah satunya dialami Adrian (31), karyawan swasta di Jakarta. Pada Juni lalu, ia yang tengah bepergian ke Aceh mengikuti tes cepat untuk memenuhi syarat perjalanan menggunakan pesawat terbang. Hasilnya reaktif, sehingga perlu menindaklanjutinya dengan tes PCR.
Ketika hasil keluar, Adrian dinyatakan negatif Covid-19. Akan tetapi, ia sudah terlanjur menunda kepulangan hingga enam hari. Tiket pesawat hangus, lalu mesti membeli yang baru. “Sangat (merugikan). Saya tidak mau lagi ikut tes cepat. Sudah membayar lagi untuk tes PCR, saya juga harus beli tiket pesawat baru,” kata Adrian.
Pada Mei lalu, media sosial juga heboh dengan unggahan penyanyi Via Vallen. Adik Via terdeteksi non-reaktif setelah menjalani tes cepat antibodi, tetapi positif Covid-19 setelah diperiksa dengan tes PCR.
Tonang berpendapat, dalam kondisi keterbatasan tes PCR, tes cepat antibodi dapat diganti dengan tes usap antigen. Metode tes ini akan memeriksa antigen atau protein yang dimiliki virus korona baru. Jika ditemukan antigen, artinya ada virus Covid-19 dalam tubuh seseorang. Hasil pemeriksaan juga bisa didapatkan dalam waktu 15-30 menit.
“Selama masih memungkinkan, maka PCR tetap menjadi pilihan. Bila tidak memungkinkan, baru kita gunakan tes antigen,” kata Tonang.
Selain hasilnya cepat, harga tes antigen juga lebih terjangkau dibandingkan tes PCR. Jika harga tes PCR rata-rata saat ini Rp 900 ribu sesuai tarif yang ditentukan pemerintah, maka harga tes antigen berkisa Rp 350 ribu hingga Rp 600 ribu di fasilitas kesehatan swasta.
Sejak September lalu, WHO juga telah merekomendasikan penggunaan tes antigen untuk diterapkan di negara-negara yang kapasitas tes PCR-nya rendah. Dengan penggunaan antigen diharapkan dapat memperbanyak jumlah tes.
Juru Bicara Satgas Penanganan Covid-19 Wiku Adisasmito mengaku,i tes cepat antibodi dapat saja diganti dengan metode lain seperti tes antigen dan tes PCR. Namun, Indonesia belum mampu menyediakan pengganti tes antibodi secara masif saat ini. Selain terkendala ekonomi, juga disebabkan inovasi dalam negeri yang lambat.
Menurut Wiku, tes cepat antibodi masih bisa menjadi pilihan untuk mencegah penularan Covid-19. “Tidak ada rotan, akar pun jadi. Prinsipnya begitu,” kata Wiku.