Hambar Gagasan dalam Berebut Pemilih Mengambang di Makassar
Serupa masakan kurang gurih menjadi analogi untuk debat terakhir Pilwali Makassar. Keempat calon dianggap tidak menyajikan gagasan komprehensif dan cenderung sloganistik. Perlu kerja keras meyakinkan pemilih rasional.
Oleh
SAIFUL RIJAL YUNUS
·6 menit baca
Debat terakhir Pemilihan Wali Kota Makassar diwarnai perspektif tidak jauh beda dari debat sebelumnya. Semua kandidat berusaha menampilkan warna sembari berebut meraih pemilih mengambang yang diprediksi cukup besar. Namun, seperti coto yang kurang garam juga tauco, debat ini dianggap antiklimaks dan hambar gagasan komprehensif dari para calon.
Debat ketiga dari proses Pemilihan Wali (Pilwali) Kota Makassar, Sulawesi Selatan, berlangsung sekitar tiga jam, Jumat (4/12/2020) pagi. Debat ini berlangsung di Jakarta karena tidak mendapatkan izin dari kepolisian untuk digelar di Makassar. Selain membahas terkait kebijakan penanganan Covid-19, debat kali ini juga membahas kebijakan inklusif, baik itu terkait perempuan, anak, penyandang disabilitas, masyarakat miskin, hingga masalah narkotika dan obat berbahaya.
Pasangan nomor urut 1, Ramdhan Pomanto-Fatmawati Rusdi Masse, banyak membahas bagaimana konsep kota pintar dalam setiap kebijakan. Menurut pasangan yang diusung Partai Nasdem, Gerindra, PBB, dan Gelora ini, konsep itu bisa terus diaplikasikan dalam menyelesaikan berbagai permasalahan.
Sementara, Munafri Arifuddin-Abdul Rahman Bando, pasangan nomor urut 2, lebih menekankan pada kemitraan antarsektor, baik itu penanganan Covid-19 maupun persoalan sosial yang terjadi. Pasangan ini diusung oleh Partai Demokrat, PPP, Perindo, dan PSI.
Sementara pasangan nomor urut 3, Syamsul Rizal-Fadli Ananda, menjelaskan konsep kolaborasi serta pemanfaatan ruang untuk anak muda. Pasangan yang diusung oleh PDI-P, Hanura, dan PKB ini juga fokus dalam konsep pemberdayaan dan dunia kreatif generasi muda.
Terakhir, pasangan nomor urut 4, Irman Yasin Limpo-Andi Zunnun Nurdin Halid, banyak membicarakan konsep digitalisasi. Program digitalisasi, selain pendekatan kebijakan lainnya, diproyeksi bisa menjadi jembatan utama dalam menjawab permasalahan kota. Pasangan ini diusung oleh PAN, Golkar, PKS, dan Berkarya.
Meski demikian, tutur pengamat kebijakan dari Universitas Muhammadiyah Makassar Andi Luhur Prianto, secara umum, debat ini kurang holistik dan cenderung berlangsung antiklimaks. Sebab, debat lebih banyak diwarnai perbincangan teknis, tetapi tidak menyentuh kedalaman substansi dari apa yang diutarakan.
”Gagasan para calon ini polanya sudah sama dengan sebelumnya. Perspektif setiap calon menjadi bingkai yang diturunkan dalam menjawab pertanyaan yang diajukan. Hanya, mereka lebih banyak bicara teknis, yang tidak berujung pada gagasan komprehensif,” ucap Luhur.
Padahal, yang kita butuh sebuah terobosan nyata dengan teknis yang matang.
Mengambil contoh penanganan Covid-19, Luhur menjelaskan, calon lebih banyak berbicara konsep penanganan yang sudah ada tanpa mencoba melihat pendekatan lain yang lebih maksimal. Misalnya, apakah itu dengan upaya uji massal atau model pencegahan penyebaran virus yang lebih inovatif.
”Malah, mereka banyak bicara terkait teknis, seperti masker atau protokol lainnya. Padahal, yang kita butuh sebuah terobosan nyata dengan teknis yang matang. Karena seperti kita tahu, penyebaran virus terus terjadi,” katanya.
Begitu pula dalam program kebijakan inklusif, baik itu terkait permasalahan anak, perempuan, masyarakat miskin, hingga penyandang disabilitas. Luhur menilai, konsep inklusif tidak boleh dipilah menjadi hal yang parsial, tetapi menjadi paradigma dalam semua kebijakan. Saat memisahkan dari kebijakan utama, hanya membuat kebijakan inklusif jalan di tempat tanpa menjawab permasalahan mendasar.
Dengan kata lain, tambah Luhur, apa yang disampaikan para calon minim gagasan komprehensif dan hanya mengulang apa yang telah menjadi pola sebelumnya. Padahal, masyarakat, khususnya, mereka yang belum menentukan pilihan, sangat menunggu adanya program inovatif dari debat kali ini.
Beberapa kali, ia menyampaikan, kandidat berusaha menggali program dari calon lainnya. Hanya, apa yang ditanyakan terkesan provokatif, tetapi tidak menggali kedalaman. Impresi adu gagasan yang ditunggu pemilih rasional pun tidak terjadi.
”Ada beberapa pertanyaan yang cukup keras secara verbal, tetapi itu hanya bumbu dalam debat. Yang paling kita tunggu tentunya ada tawaran gagasan yang jauh lebih komprehensif, menjawab permasalahan,” ujarnya.
Para calon belum menunjukkan perbedaan dalam konteks penyajian gagasan.
Dia menambahkan, ”Lebih disayangkan lagi, saat pernyataan penutup, kita tidak menemukan adanya pernyataan yang menyejukkan bahwa di balik debat dan kontestasi pilkada ini, semuanya tetap satu apa pun hasilnya nanti.”
Tidak jauh berbeda, pengamat politik Universitas Hasanuddin (Unhas) Adi Suryadi Culla menilai, penjabaran dalam visi-misi para kandidat hanya berbeda pada slogan dan karakter yang menjadi ciri khas sejak awal. ”Akan tetapi, para calon belum menunjukkan perbedaan dalam konteks penyajian gagasan,” ujarnya.
Menurut Adi, penekanan dalam visi-misi seharusnya dipertajam dalam debat terakhir ini. Sebab, tujuan utama debat adalah memberi peluang besar bagi para kandidat menawarkan program dan solusi nyata dari permasalahan yang dihadapi masyarakat.
Melalui debat, tutur Adi, pemilih rasional akan menjatuhkan pilihan berdasarkan pemahaman terhadap visi-misi. Dengan begitu, kultur debat dengan gagasan yang holistik akan membangun pemilih cerdas, tidak hanya berdasarkan faktor primordial atau emosional semata.
Masyarakat harus mendapatkan skema serta landasan utama dari setiap kandidat dengan tawaran gagasan dan program yang menjawab permasalahan secara utuh. Baik itu program penanganan Covid-19, kebijakan inklusif atau dalam hal lain seperti pemberantasan korupsi.
”Dalam konteksi political marketing, postioning itu menjadi hal yang penting. Sayangnya, kita tidak menemukan posisi kandidat yang lebih mendasar, tetapi cenderung sloganistik dan hanya berkutat pada hal teknis,” ujar Adi.
Tidak hanya dalam debat kali ini, ia melanjutkan, debat-debat sebelumnya juga menampilkan hal yang serupa. Perbedaannya, pada debat awal itu para kandidat berusaha keras menunjukkan warna yang ditampilkan agar publik bisa mengetahui ciri dan nilai yang ditawarkan. Selebihnya, hampir tidak ada perbedaan signifikan.
”Seharusnya di debat akhir ini kandidat betul-betul sajikan gagasan holistik. Namun, jadinya hambar gagasan. Bisa mungkin dianalogikan seperti makan coto tanpa garam, atau tauco. Kurang gurih,” kata Adi.
Dampaknya, ia menerangkan, pemilih mengambang (swing voters), atau mereka yang memang belum menentukan pilihan (undecided voters) tidak mendapatkan sajian yang matang dari kandidat. Padahal, pemilih, khususnya pemilih rasional, menunggu dan mempertimbangkan apa yang disajikan dalam debat terakhir ini.
”Kalau debat tidak maksimal seperti ini, kandidat harus bekerja keras lagi memanfaatkan waktu yang tersisa. Belum lagi angka partisipasi kita yang rendah dari dua perhelatan sebelumnya,” tambahnya. Data KPUD Makassar, dalam dua helatan Pilwali Makassar, yaitu 2013 dan 2018, angka partisipasi pemilih cenderung turun. Dari 59,94 persen pada 2013 menjadi 57,02 persen di 2018.
Pilkada pada 2020 ini merupakan partai ulangan setelah ”kotak kosong” memenangi pemilihan pada 2018. Saat itu, satu-satunya kandidat yang diusung oleh 10 partai harus bertekuk lutut di hadapan kotak kosong. Pada pemilihan itu, Munafri Arifuddin-Andi Rahmatika Dewi hanya meraup 46,77 persen suara, berselisih sekitar 5 persen poin dari kotak kosong yang secara mengejutkan mendapat 52,32 persen.
Sementara itu, dalam beberapa survei terakhir yang dipublikasikan di Makassar, angka mereka yang belum menentukan pilihan pada pilkada 2020 ini berada di kisaran 15 persen. Sementara angka pemilih mengambang mencapai kisaran 30 persen. Bagi masyarakat, siapa pun yang terpilih nantinya, tentu berhadap adalah sosok yang bisa memberikan jawaban atas permasalahan yang terjadi. Tidak hanya sekadar slogan, tetapi sebuah program dengan aksi nyata, dengan solusi yang gurih.