”Mission Impossible” Saat Kecelakaan Pesawat Lion Air
”Ada Mas satu tiket Garuda Indonesia tapi pesawat ’take off’ pukul 11.35,” ujarnya. Tanpa banyak pikir, saya jawab, ”Baik bu, saya ambil.” Padahal, saat itu sudah pukul 10.05, seperti ditunjukkan jam dinding kantor.

Pesawat Lion Air
Layaknya tokoh Ethan Matthew Hunt (Tom Cruise) dalam film Mission Impossible yang harus menjalankan misi yang ”mustahil”, itulah yang saya rasakan ketika harus meliput kecelakaan pesawat Lion Air tahun 2018. Saat itu saya harus segera tiba di Bandara Depati Amir, Pangkal Pinang, Provinsi Kepulauan Bangka Belitung. Padahal, posisi saya di Palembang, Sumatera Selatan.
Semuanya serba nyaris tak tercapai. Namun, berkat pertolongan orang-orang sekitar disertai sejumput keberuntungan, liputan pun dapat terselesaikan.
”Misi” tak terduga ini dimulai Senin (29/10/2018) pagi. Saat itu, setelah menikmati libur akhir pekan, saya memulai rutinitas liputan dengan pergi ke Markas Polda Sumsel karena ada pengungkapan kasus narkoba.
Saat berjalan menuju tempat parkir sepeda motor, seorang rekan wartawan memberi kabar mengejutkan. Sebuah pesawat hilang kontak.
Pukul 08.00 WIB, Kapolda Sumsel Inspektur Jenderal Zulkarnain Adinegara memberikan keterangan pers tentang penyelundupan narkoba yang melibatkan dua narapidana dan satu sipir penjara di Lapas Kelas III Pangkalan Balai, Banyuasin. Barang buktinya, 4 kilogram sabu dan 15.000 butir ekstasi.
Usai gelaran itu, saya bersiap ke kantor untuk menulis laporan. Saat berjalan menuju tempat parkir sepeda motor, seorang rekan wartawan memberi kabar mengejutkan. Sebuah pesawat hilang kontak. ”Penerbangan dari mana?” kata saya. ”Bandara Soekarno-Hatta, Bro,” jawabnya singkat.
Sejenak saya membatin, untung bukan wilayah liputan saya. ”Tujuan ke Pangkal Pinang,” lanjutnya. ”Alamak, itu wilayah liputanku,” sahut saya. Selain Sumsel, tanggung jawab wilayah liputan saya juga mencakup Provinsi Bengkulu dan Bangka Belitung.
Baca juga: Natal yang Tertunda

Tim Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT), Polri, dan Basarnas mengumpulkan data penyelidikan dari serpihan pesawat Lion Air JT 610 PK-LQP jenis Boeing 737 Max 8 di Posko Basarnas Jakarta International Container Center (JICT) II, Tanjung Priok, Jakarta Utara, Kamis (1/11/2018).
Tak lama berselang, pesan Whatsapp dari rekan-rekan jurnalis di Bangka Belitung pun berseliweran di telepon seluler. Setelah memastikan pesawat yang hilang kontak itu memang menempuh rute Jakarta-Pangkal Pinang, saya pun langsung menghubungi Kepala Biro Sumatera Harian Kompas Aufrida Wismi Warastri. ”Segera cari pesawat ke Pangkal Pinang ya,” respons Mbak Wismi.
Sebelum menelepon Mbak Wismi, saya lebih dulu mengecek aplikasi pemesanan tiket. Saat itu masih tersedia pesawat Wings Air rute Palembang-Pangkal Pinang. Namun, setelah tugas resmi turun, saat saya cek ulang, rute penerbangan tak tersedia lagi alias sold out (habis terjual).
”Ada cara lain pergi ke Pangkal Pinang?” kata Mbak Wismi.
”Ada Mbak, saya cari dulu jadwal kapal cepat,” jawab saya.
Baca juga: Setia Menanti Kabar Terakhir
Alternatif lain untuk sampai ke Pangkal Pinang adalah menggunakan kapal cepat. Akan tetapi, saya baru akan tiba di tujuan sore atau bahkan malam hari sehingga saya akan kehilangan banyak momen.
Setengah putus asa, saya berpikir keras bagaimana caranya bisa tiba ke Pangkal Pinang sebelum senja. Aha, saya kemudian teringat Bu Retno, seorang rekan yang bekerja di Airnav Palembang. Segera saya menghubunginya dan memberitahukan misi yang tengah saya emban. ”Nanti ya Mas, saya carikan dulu,” ujarnya.
Di tengah kondisi bingung dan cemas karena takut tidak kebagian tiket, tak lama datang telepon dari Bu Retno. ”Ada Mas satu tiket Garuda Indonesia tapi pesawat take off pukul 11.35,” ujarnya. Tanpa banyak pikir langsung saya jawab, ”Baik bu saya ambil.” Padahal, saat itu sudah pukul 10.05, seperti ditunjukkan jam dinding kantor.
Baca juga: Intuisi dan Hoki pada Merapi yang Tak Pernah Ingkar Janji

Suasana Bandara Internasional Sultan Mahmud Badaruddin II, Palembang, Senin (2/3/2020).
Segera saya minta Hendra Riyanto, petugas keamanan kantor harian Kompas di Palembang, mengantarkan saya ke Bandara Sultan Mahmud Badaruddin (SMB) II, Palembang.
Sepeda motor matiknya melaju kencang, menerobos kemacetan Kota Palembang. Perjalanan sepanjang 14 kilometer ditempuh hanya dalam waktu 10 menit! Belakangan baru saya tahu kalau rem sepeda motor yang saya tumpangi itu tidak berfungsi baik. Betapa beruntungnya saya masih bisa selamat dalam perjalanan yang mendebarkan itu.
Setibanya di Bandara SMB II, saya bisa langsung menuju pesawat ATR Garuda Indonesia yang menunggu lepas landas. Teman Ibu Retno membantu proses mendapatkan tiket yang saya butuhkan. Tak ingin ketinggalan pesawat, saya pun berlari kencang sembari menggendong tas ransel berisi perlengkapan liputan.
Menjelang tempat pemeriksaan, sambil setengah berlari saya melepaskan ikat pinggang. Setelah itu, saya langsung bergegas melanjutkan perjalanan, tak sempat lagi memakai ikat pinggang, hanya saya pegang di tangan kiri. Sementara tangan kanan memegang tiket.
Baca juga: Ironi dan yang Bikin Geli di Gang Dolly
Tiba di ruang tunggu, petugas pemeriksa tiket meminta saya cepat-cepat menuju pesawat. Rupanya, saya datang saat pemanggilan ketiga. Lari saya kian kencang ketika penumpang terakhir terlihat menaiki anak tangga pesawat. Ketika saya masuk, tak lama pintu pesawat ditutup. Sepertinya, mereka tinggal menunggu saya.
Lega rasanya bisa tiba di pesawat tepat waktu. Sambil menghela napas sejenak setelah lelah berlari, saya mengedarkan pandangan ke sekeliling kabin pesawat. Banyak penumpang tampak khusyuk berdoa. Bagaimana tidak, kami terbang sesaat setelah mendengar berita kecelakaan pesawat. Tak ayal, selama 55 menit terbang, rasa cemas terus bersemayam di benak.
Ketika roda pesawat menyentuh aspal lintasan Bandara Depati Amir, barulah rasa khawatir memudar. Saya segera menuju ruang kedatangan yang saya perkirakan sudah banyak terdapat keluarga korban.

Putri Pratiwi tampak terpukul di posko Depati Amir Pangkal Pinang, Bangka Belitung. Ia memandangi terus foto suaminya, Wahyu Alldila (35), dan anaknya, Zerdan Fahrizi (4), yang menjadi korban dalam jatuhnya pesawat Lion Air JT 610 di perairan Karawang, Jawa Barat, 29 Oktober 2018.
Benar saja, tangis dan raungan memenuhi setiap sudut ruang kedatangan itu. Petugas tampak kewalahan melayani orang-orang yang panik menanyakan nasib anggota keluarganya yang menjadi korban kecelakaan. Di tengah kerumunan, mata saya langsung tertuju kepada Putri Pratiwi (30), seorang ibu yang sedang mengandung lima bulan.
Bagi saya, tidak mudah mewawancarai keluarga korban kecelakaan. Tak tega rasanya menanyakan hal yang mungkin akan membuat mereka kian berduka. Akhirnya, saya putuskan untuk mengamati ibu tiga anak itu dari jauh saja.
Air mata Putri tampak terus mengalir melihat foto di layar ponselnya. Foto itu adalah kenangan terakhir yang dikirimkan suaminya, Wahyu Aldilla (35).
Baca juga: Membalas Utang Budi pada Merapi
Dalam foto itu, Wahyu tengah berpose dengan anak sulungnya, Zerdan Fahrizi (4), saat menonton pertandingan sepak bola Piala AFC U-19 di Stadion Utama Gelora Bung Karno, Senayan, Jakarta, Minggu (28/10/2018). Saat itu berlaga tim Indonesia melawan Jepang. Keterangan itu saya peroleh dari Fatma, ibu Putri, yang bersedia diwawancarai.
Sibuk mencari narasumber, saya sampai lupa membeli pakaian. Padahal, saya tidak sempat membawa bekal pakaian karena harus mengejar pesawat. Alhasil, malam itu saya tidur dengan pakaian yang saya kenakan ketika berangkat. Baru keesokan sorenya saya bisa menyempatkan diri membeli pakaian sebagai bekal liputan satu minggu ke depan.
Di hari kedua, saya berkesempatan mewawancarai Sony Setiawan, calon penumpang pesawat Lion Air JT 610 PK-LQP, yang lolos dari tragedi lantaran ketinggalan pesawat. Ia tertinggal karena terjebak kemacetan saat menuju Bandara Soekarno-Hatta, Tangerang, Banten.
Baca juga: Terjebak Kemacetan, Sony Terlambat Naik Lion Air

Petugas Laboratorium Forensik Polri mengambil contoh barang yang ditemukan dari kecelakaan pesawat Lion Air PK-LQP di Dermaga 2 JICT Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta Utara, Jumat (2/11/2018).
Namun, dalam kecelakaan tersebut, pegawai Direktorat Jenderal Perbendaharaan Negara Provinsi Kepulauan Bangka Belitung itu kehilangan lima rekannya. Betapa sedihnya Sony ketika ia menunjukkan tempat kerja kelima rekannya yang menjadi korban. Suasana kantor yang biasanya ramai dengan tawa canda mereka, seketika sepi karena dirundung duka.
Dari liputan sepekan di Pangkal Pinang dan Bangka Tengah kala itu, beragam tulisan saya hasilkan. Sebagaian besar adalah kisah duka, termasuk kedatangan jenazah korban yang berasal dari Bangka Belitung.
Bagi saya pribadi, liputan kali ini menorehkan makna mendalam karena misi ini dapat saya tuntaskan berkat pertolongan banyak orang. Lewat misi ini, saya diingatkan untuk selalu ringan tangan membantu sesama dalam setiap kesempatan. Berkat bantuan orang-orang, termasuk yang belum saya kenal, misi saya dapat diselesaikan (mission accomplished).