Warga Tidak Menyangka Gunung Ile Lewotolok Bakal Erupsi
Warga terdampak di sekitar Gunung Ile Lewotolok, Lembata, Nusa Tenggara Timur, tidak menyangka bakal terjadi erupsi besar di sana. Antisipasi pada bencana ini pun menjadi minim.
Oleh
FRANSISKUS WISNU WARDHANA DANY
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Warga Ile Ape dan Ile Ape Timur, Lembata, Nusa Tenggara Timur, tidak menyangka Gunung Ile Lewotolok bakal erupsi dahsyat meskipun sudah terjadi gempa dan erupsi kecil sejak hari sebelumnya. Saat ini, kampung-kampung telah kosong setelah petugas gabungan mengevakuasi warga, termasuk yang berada di kebun karena status gunung masih Siaga.
Gunung Ile Lewotolok meletus Minggu (29/11/2020) pukul 09.00 waktu Indonesia tengah (Wita). Saat bencana terjadi, muncul tremor atau gempa tektonik sebanyak enam kali lalu erupsi dengan tinggi kolom abu teramati sekitar 500 meter di atas puncak atau 1.923 meter dari permukaan laut. Status gunung pun naik dari waspada menjadi siaga, dengan radius yang harus dihindari 4 km dari kawah gunung.
Martina Lelo (62), pengungsi dari Desa Mawa Napasabok, Ile Ape Timur, bersama warga lain khusyuk mengikuti misa di gereja setempat ketika terjadi erupsi. Kidung pembuka tengah mengalun saat warga di jalan-jalan kampung berlari sembari berteriak dengan kencang.
”Kami kaget dengan orang teriak sepanjang jalan bilang masuk ke dalam rumah, masuk ke dalam rumah,” ujar Martina kepada Kompas, Selasa (1/12/2020).
Warga yang tengah misa pun keluar gereja. Mereka terkejut melihat asap putih dan hitam membubung tinggi ke langit. Dari puncak gunung terdengar gemuruh runtuhan bebatuan. Tak lama berselang, material kerikil berjatuhan dari langit dan menimbulkan keriuhan di atap rumah yang terbuat dari seng.
Wilhelmina Muar (57), pengungsi lain yang dari Desa Mawa Napasabok, bersama keluarga langsung mengungsi setelah pulang dari gereja. Mereka tidak sempat berkemas sehingga hanya membawa diri dengan pakaian melekat di badan.
Petugas gabungan dari Badan Penanggulangan Bencana, Polri, dan TNI datang ke kampung-kampung untuk mengevakuasi warga, termasuk mereka setelah erupsi. Akan tetapi sebagian warga enggan mengungsi meskipun ketakutan. Mereka memilih bertahan di rumah dan kebun.
”Petugas tanya mama mau mengungsi tidak. Saya jawab mau, ada anak kecil, kami takut. Petugasnya jawab, kalau begitu cepat sudah naik, pergi langsung ke tempat pengungsian. Saya pikir nyawa meskipun rumah kosong, kebun kosong, dan ternak tidak terurus,” kata Wilhelmina.
Sejak Jumat (27/11/2020) pagi, katanya, mulai terjadi gempa dan hujan material dalam skala kecil. Keesokan harinya, Sabtu (28/11/2020) intensitasnya lebih kecil sehingga warga panik ketika terjadi getaran sekaligus erupsi dahsyat di Minggu pagi.
Jefri Kevin Neparian (28), warga setempat yang menjadi sukarelawan Pramuka Peduli Kwaran Nubatukan, menyebutkan, aktivitas warga berlangsung seperti biasa saat terasa getaran hingga tampak asap membubung tinggi dari Gunung Ile Lewotolok. Setelahnya warga kaget, panik, dan berhamburan menyelamatkan diri.
”Warga kira hanya gempa biasa. Tidak ada pikiran kalau erupsi sampai tampak asap membubung dari Ile Lewotolok,” ucap Jefri.
Evakuasi, lanjutnya, berlangsung hingga Senin (31/11/2020) dini hari. Sebagian warga tidak mau dievakuasi dengan alasan menjaga rumah, kebun, kampung, atau ternak. Baru pada Senin (30/11/2020) tengah malam sekitar pukul 23.00 wilayah Ile Ape dikosongkan oleh petugas gabungan untuk mencegah erupsi susulan setelah terjadi gempa.
Situasi di pengungsian, menurut dia, sudah lebih kondusif ketimbang Minggu dan Senin karena logistik memadai. Namun, masih ada kebutuhan mendesak, yakni tenda pengungsian, air dan sanitasi, kebutuhan bayi dan balita, masker, susu cair, selimut, alas tidur, dan sukarelawan untuk pendampingan anak-anak. Tidak tertutup pula bantuan beras, minyak goreng, telur, dan makanan siap saji.
Antisipasi
Status Gunung Ile Lewotolok naik dari normal menjadi waspada sejak 7 Oktober 2017 seiring aktivitas tektoniknya. Status itu berlaku hingga terjadi letusan Minggu (29/11/2020).
Kepala Pos Pemantau Gunung Ile Lewotolok Stanis Arkian dihubungi di Lewoleba, Lembata, Senin (30/11/2020), menyampaikan bahwa semenjak status gunung menjadi waspada telah merekomendasikan kepada pemda agar masyarakat tidak beraktivitas seperti pendakian gunung, wisata, berladang, dan lainnya sejauh 2 km dari gunung.
Erupsi pembuka terjadi Jumat (27/11/2020) pukul 05.57 Wita sekaligus pertanda untuk segera bersiap siaga. Erupsi ini disampaikan ke grup Whatsapp Pos Pantau Ile Lewotolok sebelum kembali terjadi erupsi Sabtu (28/11/2020).
Minggu (29/11/2020) pukul 09.00 Wita, muncul tremor atau gempa tektonik sebanyak enam kali. Petugas pos pantau berasumsi bahwa itu kejadian biasa. Akan tetapi, selang beberapa saat terjadi erupsi dengan tinggi kolom abu teramati sekitar 500 meter di atas puncak atau 1.923 meter dari permukaan laut.
Kolom abu itu berwarna kelabu hingga hitam dengan intensitas tebal, condong ke arah barat. Status gunung pun naik dari waspada menjadi siaga, dengan radius yang harus dihindari 4 km dari kawah gunung.
Kepala BPBD Lembata dan anggota kepolisian datang ke Pos Pantau Ile Lewotolok untuk mendapatkan penjelasan sejak erupsi pada Jumat. Petugas di pos pantau mengingatkan agar bersiap-siap meskipun tidak menerbitkan status kewaspadaan kedua karena sudah berlangsung sejak 2017.
Kepala Pelaksana BPBD Lembata Kanisius Making menyebutkan bahwa status Waspada sejak 2017 sangat lama bagi masyarakat untuk menunggu. Apalagi kondisi Gunung Ile Lewotolok sering terjadi erupsi ringan dan gempa tektonik sehingga masyarakat setempat menilai kejadian-kejadian itu hal biasa.
Kepala Badan Penanggulangan Bencana Daerah NTT Thomas Bangke meminta pemerintah agar status pos pemantau gunung-gunung di daratan Flores sampai Lembata dinaikkan status menjadi semacam Unit Pelaksana Teknis (UPT) Gunung Api, minimal ada satu di Flores. Kejadian gunung api seperti erupsi dan lainnya di pulau itu bisa ditangani langsung UPT Gunung Api itu.
Dengan kenaikan status ini, fasilitas, sarana, dan prasarana pemantauan gunung api pun jauh lebih memadai dibanding yang ada sekarang ini. Perubahan status juga berdampak pada penambahan jumlah personel dan sumber daya manusia di sana.