Penurunan Muka Tanah Mesti Diperhatikan dalam Pembangunan Pesisir
Dari kajian, Pusat Air Tanah dan Geologi Tata Lingkungan, Badan Geologi, Kementerian ESDM, Semarang bagian utara turun hingga 10 sentimeter (cm) per tahun, Pekalongan 6 cm per tahun, dan Kendal 0,5 cm per tahun,
Oleh
ADITYA PUTRA PERDANA
·3 menit baca
SEMARANG, KOMPAS - Pembangunan di pantai utara atau pantura Jawa Tengah perlu memerhatikan penurunan muka tanah. Pasalnya, wilayah utara di sejumlah daerah seperti Pekalongan, Kendal, Kota Semarang, dan Demak berupa tanah lempung yang rentan memicu penurunan muka tanah.
Kepala Pusat Air Tanah dan Geologi Tata Lingkungan, Badan Geologi, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, Andiani, mengatakan, pada 2020, pihaknya melakukan kajian menyeluruh terkait penurunan muka tanah di pantura Jateng, termasuk mencari faktor utama munculnya fenomena itu.
"Dari kajian, Semarang bagian utara turun hingga 10 sentimeter (cm) per tahun, Pekalongan 6 cm per tahun, dan Kendal 0,5 cm per tahun," kata Andiani, di sela-sela sosialisasi "Hidup Berdampingan dengan Amblesan Ranah di Pantura Jawa Tengah: Geologi sebagai Acuan Mitigasi dan Adaptasi dalam Penataan Ruang", di Kota Semarang, Selasa (1/12/2020).
Dari hasil kajian tersebut, Badan Geologi merekomendasikan agar ada kajian lebih lanjut pada daerah yang tergenang rob secara permanen. Menurut Andiani, pengeringan bisa dilakukan, tetapi kemudian perlu terus dipantau bagaimana penurunan muka tanah selanjutnya.
Terkait pembangunan di wilayah itu, tingkat penurunan mesti diperhatikan. "Harus dipertimbangkan berapa lama investasinya dan berapa penurunannya. Di kawasan industri, kami berharap agar diutamakan air permukaan sebelum air tanah. Itu sesuai Undang-Undang No 17 Tahun 2019 (tentang Sumber Daya Air)," katanya.
Apabila air tanah memang harus digunakan, lanjut Andiani, harus ada pengendalian. Kawasan industri diharapkan untuk mengelolanya. Artinya, bukan pihak penyewa yang mengambil air tanah sendiri-sendiri. Pengambilan mesti dilakukan pengelola untuk kemudian didistribusikan kepada para penyewa.
"Itu salah satu cara untuk mengurangi kerusakan tanah di masa depan serta menjamin keberlangsungan air tanah untuk 30-50 tahun ke depan," ujar Andiani.
Bukan pihak penyewa yang mengambil air tanah sendiri-sendiri. Pengambilan mesti dilakukan pengelola untuk kemudian didistribusikan kepada para penyewa.
Faktor utama
Menurut Andian, asumsi yang berkembang selama ini, pengambilan air tanah menjadi penyebab penurunan muka tanah. Namun, dari hasil pemantauan di sejumlah daerah di pantura Jateng, keberadaan air masih berada di tingkat atas. Artinya, pengambilan air tanah sebagai penyebab utama belum dapat dibuktikan secara ilmiah.
Kontribusi utama dalam penurunan muka tanah, lanjut Andian, ialah kondisi tanah lempung yang tersebar di sejumlah daerah seperti Pekalongan, Kendal, dan Demak. "Di daerah itu terjadi penurunan. Sementara di Batang tak ada endapan lempung dan tak terjadi penurunan muka tanah. Data-data teknis itu yang menjadi keyakinan kami kalau lempung ini menjadi penyebab utama," katanya.
Kendati demikian, penggunaan air tanah tetap harus dikendalikan. Hal tersebut antara lain melalui izin-izin yang diberikan pemerintah untuk pengambilan air tanah.
Peneliti geologi lingkungan pada Badan Geologi, Rustam, menambahkan, pengambilan air tanah yang dilakukan industri di beberapa lokasi di Jateng telah menyebabkan penurunan muka tanah. Namun, penurunan tersebut belum menyebabkan terjadinya amblesan.
"Perlu dilakukan monitoring secara berkelanjutan terhadap laju amblesan tanah, sebaran banjir rob, laju perubahan garis pantai, dan abrasi. Pengembangan wilayah perkotaan yakni industri dan permukiman, perlu mempertimbangkan hasil monitoring tersebut," kata Rustam.