Pengembangan Industri Sagu Papua Butuh Dukungan Pusat
Peranan pemerintah pusat dinanti untuk pengembangan industri sagu di Papua yang belum optimal hingga kini.
Oleh
FABIO MARIA LOPES COSTA
·4 menit baca
JAYAPURA, KOMPAS — Pengembangan industri sagu di Papua membutuhkan dukungan dari pemerintah pusat. Bantuan modal dan sentuhan teknologi pengolahan menjadi kata kunci agar Papua dapat mengoptimalkan potensi jutaan hektar hutan sagu.
Hal ini terungkap dalam diskusi yang digelar Kementerian Koordinator Perekonomian bersama Dinas Perindustrian, Perdagangan, UKM, dan Tenaga Kerja Papua beserta para pelaku usaha mikro, di Jayapura, Selasa (1/12/2020).
Kepala Dinas Perindustrian, Perdagangan, Koperasi, Usaha Kecil Menengah, dan Tenaga Kerja Papua Laduani Ladamay mengatakan, Provinsi Papua memiliki luas lahan yang terbesar di seluruh Indonesia. Namun, pengembangan industri sagu belum semaksimal seperti di Kabupaten Kepulauan Meranti, Riau.
Ia menuturkan, sejumlah faktor yang menyebabkan potensi sagu di Papua belum tergarap optimal adalah minimnya dukungan anggaran dan teknologi. Masih banyak petani di Papua yang menggunakan alat tradisional dari kayu untuk memproduksi pati sagu.
Berdasarkan data Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, luas lahan sagu di Indonesia 5,5 juta hektar. Dari luas itu, yang dimanfaatkan sekitar 5,79 persen atau setara dengan 318.000 hektar. Sebanyak 96 persen dari lahan yang dimanfaatkan merupakan perkebunan rakyat.
Sementara, luas lahan sagu potensial di Papua 4,7 juta hektar. Potensi produksi pati dari sagu mencapai 13,6 juta ton per tahun. Namun, data Badan Penelitian dan Pengembangan Provinsi Papua menunjukkan, luas lahan sagu yang digunakan secara aktif di 20 kabupaten hingga akhir tahun 2017 hanya 35.351 hektar.
Minimnya pemeliharaan dari petani menyebabkan produktivitas per hektar lahan hanya mencapai 5 ton pati sagu dari angka ideal 20 ton per hektar. Total produksi pati sagu hingga akhir 2017 hanya 28.340 ton dengan melibatkan 21.511 petani.
”Selama ini, dalam pembicaraan dengan pusat terkesan hanya merencanakan program pengembangan sagu di Papua. Padahal, kunci suksesnya sebuah perencanaan itu adalah implementasi di lapangan. Papua membutuhkan langkah konkret untuk mengembangkan sagu,” ungkap Laduani.
Ia menuturkan, Pemprov Papua telah mengembangkan program industri mikro pengolahan sagu di tiga daerah sejak tahun 2019, yakni Kabupaten Merauke, Kabupaten Jayapura, dan Kabupaten Mimika. Dalam program ini, industri dikelola oleh sebuah kelompok tani, adanya pengembangan kebun sagu, dan para petani mendapatkan bantuan mesin beserta fasilitas lainnya untuk produksi sagu.
”Kami menata pengelolaan industri sagu di tiga daerah ini dari hulu hingga hilir. Biaya yang dikeluarkan untuk setiap industri sekitar Rp 20 miliar. Kami berharap dapat meningkatkan jumlah industri pengolahan sagu di Papua dengan adanya dukungan dari pusat,” tutur Laduani.
Ia menambahkan, potensi sagu di Papua yang begitu berlimpah dapat menjadi solusi untuk mengatasi masalah kemiskinan. Sebab, angka kemiskinan di Papua mencapai 27 persen atau di atas angka kemiskinan nasional, yakni 9 persen.
”Kami berharap program Nawacita hingga tahun 2024 bisa berdampak pada pengelolaan sagu di Papua. Kami telah membentuk tim untuk mendata potensi pengembangan sagu dan besaran anggaran yang dibutuhkan,” ujar Laduani.
Asisten Deputi Pengembangan Agribisnis Holtikultura Kemenko Perekonomian Yuli Sri Wilanti, di tempat yang sama, mengatakan, pihaknya telah berkoordinasi dengan dinas terkait program pengembangan sagu sejak tahun 2019. Ia menyatakan, pengembangan sagu menjadi salah satu prioritas nasional sesuai Inpres Nomor 9 Tahun 2020 tentang Percepatan Pembangunan Kesejahteraan di Papua dan Papua Barat.
Karena itu, lanjut Yuli, pemerintah pusat akan bersinergi dengan pemerintah daerah untuk menyiapkan program pengembangan sagu sehingga dapat berdampak bagi perekonoman masyarakat Papua.
”Dalam pertemuan ini, kami ingin mengidentifikasi masalah-masalah yang menghambat pengembangan sagu di Papua. Kami akan mengarahkan kementerian terkait pertanian, perdagangan, dan industri untuk membantu Pemprov Papua menyediakan anggaran pengembangan industri sagu,” tuturnya.
Komisaris Papua Muda Inspiratif (PMI) Neil Awoy mengatakan, lembaganya mewadahi sejumlah pemuda Papua yang terlibat usaha mikro pengolahan sagu. Ia berpendapat, tanpa bantuan alokasi anggaran dari pemda dan pusat, para pemuda yang terlibat dalam pengelolaan komoditas lokal seperti sagu tidak berjalan optimal.
”PMI melihat banyak pemuda Papua masih memandang sagu sebagai pangan lokal untuk kebutuhan makan sehari-hari. Padahal, hutan sagu Papua terbesar di Indonesia. Kami siap bersinergi dengan pemerintah demi mencetak wirausaha yang membudidayakan sagu hingga diekspor ke luar negeri,” kata Neil.