Jimat, Sarana Doa Mohon Selamat dari "Hajatan Besar" Merapi
Di tengah ketegangan akan ancaman bahaya erupsi, warga lereng Gunung Merapi memasang janur di atas pintu rumah masing-masing. Janur dimaksudkan sebagai jimat, sarana penangkal dampak buruk akibat bencana.
Oleh
REGINA RUKMORINI
·5 menit baca
Dua lembar janur terikat melilit di antara lubang ventilasi pintu rumah Marsono (67). Di antara rongga kusen, ditempatkan tiga gelas, berisi kopi, teh, dan air bening dengan bunga terendam di dalam. Uba rampe atau perlengkapan disiapkan menyambut "hajatan besar" Gunung Merapi.
Marsono, warga Dusun Grogolan Atas, Desa Dukun, Kecamatan Dukun, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, telah memasan beberapa uba rampe tersebut sejak Jumat (20/11/2020). “Merapi akan punya hajat, sekarang saatnya kami menyiapkan jimat,” ujarnya, Sabtu (21/11).
Janur dan beragam minuman adalah komponen yang erat menjadi penanda sebuah hajatan di masyarakat Jawa. Kali ini, Marsono sengaja menyiapkannya untuk hajatan besar Gunung Merapi, erupsi yang hingga kini belum diketahui kapan akan terjadi.
Jimat yang dimaksudkan Marsono adalah semacam penangkal bala atau nasib buruk. Ide memasang penangkal ini didapatkan Marsono, dari Jaryanto (65), seorang kerabat sekaligus tetangganya yang kemudian juga ditiru diadaptasi oleh lebih dari 50 warga lain di dusun itu.
Janur dan beragam minuman adalah komponen yang erat menjadi penanda sebuah hajatan di masyarakat Jawa.
Janur, menurut Jaryanto, adalah bahan alam yang biasa dipakai untuk berbagai ritual untuk memohon keselamatan dan berkat. Seperti banyak diketahui, dengan tujuan memohon berkat itulah, hiasan janur banyak dipasang pada acara pernikahan. Di luar itu, dengan maksud sama, potongan-potongan janur juga biasa disebar di lahan pertanian di awal musim panen.
Berawal dari itu, dia pun juga berupaya memakai janur untuk keperluan tolak bala. “Tidak ada tujuan lain. Kami hanya memohonkan berkat dan keselamatan, semoga saat erupsi terjadi, kami, masyarakat beserta lingkungan di sekitar Merapi, selalu dalam kondisi baik-baik saja,” ujarnya.
Bagi warga kampung, janur dipercaya sebagai simbol. Untuk itu, posisinya wajib diletakkan di atas pintu dengan cara dipaku atau diikat seperti yang dilakukan Marsono. Bagi Marsono, ikatan menjadi simbol keteguhan tekad, niat ataupun kesungguhan berdoa.
Adapun menyangkut minuman yang disediakan berupa kopi, teh, dan air berisi bunga, menurut dia, hanya sekadar pelengkap, bagian dari sesaji untuk melancarkan doa.
Namun, Marsono memiliki pemahaman lain. Kopi dan teh menjadi minuman yang kerap dihidangkan untuk acara pertemuan warga, termasuk pada acara tirakat atau doa bersama. Tidak sekadar melengkapi jamuan acara, dua jenis minuman tersebut sengaja dihidangkan untuk menahan kantuk dan menjaga kesadaran.
“Bisa diartikan, dua jenis minuman tersebut sekaligus sebagai simbol, pengingat bagi kita untuk terus menjaga kesadaran, memantapkan diri untuk terus berdoa mohon keselamatan,” ujarnya.
Mohon keselamatan
Bertempat tinggal di lereng gunung, berjarak sekitar 12 kilometer dari puncak Merapi di perbatasan Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta, warga Dusun Grogolan Atas terbiasa dengan ritual berdoa, memohon keselamatan terhindar dari bahaya erupsi.
Ketua RT 02/RW 11 Dusun Grogolan, Ngadirin (46), mengatakan, tiap kali aktivitas vulkanik Merapi meningkat, tradisi memohon keselamatan selalu dilakukan warga. Namun, uba rampe yang disiapkan bisa berubah-ubah.
Pada 2006 misalnya, saat Gunung Merapi berstatus Siaga (Level III), hampir seluruh warga Desa Dukun termasuk Dusun Grogolan Atas, membuat tujuh macam sayur. Tujuh yang dalam bahasa Jawa, disebut pitu, dipercaya menjadi simbol, singkatan dari pitulungan atau pertolongan. Tujuh masakan itu bermakna permintaan dan doa dari warga yang meminta pertolongan agar terhindar dari bencana.
Selama masih ada kesempatan, Ngadirin mengatakan, mereka memang ingin memersiapkan diri sebaik-baiknya dambil memanjatkan doa. Pada 2010, mereka tidak bisa melakukan hal yang sama karena aktivitas vulkanik berlangsung demikian cepat dan mendadak. Waktu yang tersisa, akhirnya hanya terpakai untuk terburu-buru pergi dan mengungsi.
Namun, bagaimana pun, doa tetaplah sebatas doa. Warga pun hanya sebatas memohon yang terbaik, tetapi tidak mengabaikan tawaran menyelamatkan diri secara cepat dan logis. “Jika memang ada instruksi untuk langsung mengungsi, maka kami pun juga akan langsung mengungsi,” ujar Marsono.
Saat ini, semua warga di Dusun Grogolan Atas juga telah bersiap mengungsi. Salah satu bentuk persiapan dengan menyiapkan tas berisi semua barang, perlengkapan, serta surat-surat berharga yang penting dibawa saat meninggalkan rumah.
Dosen Fakultas Psikologi Universitas Muhammadiyah Magelang, Al Amrul Haq mengatakan, salah satu kebutuhan dasar manusia, sesuai teori hirarki kebutuhan dasar yang diungkapkan tokoh psikologi Abraham Maslow, adalah kebutuhan mencari rasa aman. Dalam situasi genting menghadapi bahaya erupsi Merapi, dorongan mencari rasa aman itulah yang membuat warga lereng Merapi bereaksi membuat jimat dan penolak bala.
“Membuat jimat adalah reaksi yang sangat wajar terjadi sebagai bentuk upaya menyelamatkan diri di tengah situasi yang dinilai sulit diprediksi dan di luar kendali seperti erupsi Merapi,” ujarnya.
Dalam situasi seperti saat ini, menurut dia, membuat dan memasang jimat dianggap menjadi hal yang mendatangkan rasa aman dan nyaman bagi sebagian warga lereng Merapi. Kondisi tersebut sama seperti perilaku masyarakat yang di masa pandemi Covid-19 merasa lebih nyaman ke luar rumah dengan memakai masker atau membawa payung sebelum hujan.
Adapun membuat jimat erat berkaitan dengan kearifan lokal yang juga berhubungan dengan tradisi atau kepercayaan di masa lalu. Biasanya, hal ini diingatkan oleh sesepuh desa. Pembuatan uba rampe atau jimat cukup dilakukan satu orang yang dipercaya, biasanya hal itu akan beramai-ramai ditiru warga lain.
“Intinya, untuk urusan keselamatan, setiap orang pasti akan mau melakukan upaya apa saja, termasuk meniru apa yang menjadi keyakinan orang lain,” ujarnya.
Maka, selayaknya manusia bijak yang bersiap untuk hal terburuk, warga kaki Merapi pun membuat jimat saat bahaya erupsi kian dekat. Semua dilakukan sebagai sarana doa memohon keselamatan dari Sang Pencipta.