Sepanjang 2019-2020 Polda Aceh menyita barang bukti sebanyak 230 meter kubik kayu campuran, 20 unit alat berat, 54 unit mobil pengangkut kayu, dan 30 unit mesin pembelah kayu.
Oleh
ZULKARNAINI
·3 menit baca
BANDA ACEH, KOMPAS - Para cukong menjadikan hutan Aceh sebagai bisnis kayu ilegal. Sepanjang 2019-2020 Kepolisian Daerah Aceh menangkap 95 orang tersangka pelaku pembalakangan liar. Sebagian kayu dari hutan Aceh itu didistribusi ke Sumatera Utara.
Kepala Unit Tindak Pidana Tertentu Direktorat Kriminal Khusus Polda Aceh Ajun Komisaris Besar Polisi Mulyadi, Selasa (1/12/2020) menuturkan modus operandi pembalakan kayu beragam seperti pemalsuan dokumen dan penebangan di luar area izin. “Mereka nebang di luar area izin dulu, nanti pelan-pelan baru masuk ke dalam area sesuai izin,” ujar Mulyadi dalam kegiatan pelatihan jurnalistik muda isu lingkungan yang digelar oleh Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Banda Aceh.
Mulyadi mengatakan saat petugas menindak, pelaku akan menunjukkan dokumen. Modus operandi seperti ini membuat petugas kepolisian harus lebih jeli melakukan penyelidikan. “Ada juga dokumen palsu, kalau kami tidak teliti, lolos,” ujar Mulyadi.
Sepanjang 2019-2020 Polda Aceh menyita barang bukti sebanyak 230 meter kubik kayu campuran, 20 unit alat berat, 54 unit mobil pengangkut kayu, dan 30 unit mesin pembelah kayu.
Mulyadi mengatakan kawasan hutan paling parah ilegal loging di Kabupaten Aceh Timur. Baru-baru ini tim Polda Aceh menemukan puluhan batang kayu gelondongan yang diduga hasil pembalakan liar. Meski masih dalam penyelidikan, penebangan kayu secara besar-besaran telah menyebabkan tutupan hutan Aceh berkurang.
“Mereka nebang di luar area izin dulu. Nanti pelan-pelan baru masuk ke dalam area sesuai izin (AKBP Mulyadi)
Mulyadi mengatakan rendahnya vonis terhadap pelaku pembalakan liar menimbulkan tidak adanya efek jera. “Kasus kejahatan lingkungan harus dikawal sampai ke tahap persidangan agar para pihak bekerja lebih serius,” kata Mulyadi.
Koordinator Pengawasan Kerusakan Hutan Forum Konservasi Leuser (FKL) Tezar Falevi mengatakan berdasarkan hasil monitoring via satelit dan patroli lapangan, Aceh Timur daerah paling besar kehilangan tutupan hutan. Pada 2019, Aceh Timur mengalami kerusakan hutan seluas 1.189 hektar. Disusul Kabupaten Gayo Lues seluas 891 hektar, dan Kabupaten Bener Meriah seluas 788 hektar.
Tezar mengatakan perambahan hutan di Aceh Timur sebagian besar untuk dijadikan lahan kelapa sawit. Kerusakan hutan juga telah menyebabkan habitat satwa rusak, konflik satwa meningkat, dan ancaman bencana meningkat.
“Hasil pantauan lapangan titik ilegal loging berada pada kawasan jalur jelajah gajah. Pembalakan liar bukan hanya merusak alam, namun juga memicu konflik satwa,” kata Tezar.
Direktur Wahana Lingkungan Hidup Indonesia- Aceh Muhammad Nur mengatakan pemerintah tidak serius mengurus persoalan kehutanan. Hal ini dibuktikan dengan diberikannya izin penambangan, izin perkebunan, dan pembiaran tambang ilegal di dalam kawasan hutan.
Nur mengatakan salah satu lokasi tambang emas ilegal berada di Kabupaten Pidie. Meski sudah beberapa pemerintah dan aparat hukum mencoba menutup, hingga kini masih terus berlangsung. "Pemerintah tidak serius, makanya tidak berhasil dihentikan," kata Nur.