Eklin Amtor de Fretes, Menembus Sekat Segregasi dengan Dongeng
Konflik sosial yang memorakporandakan Maluku sekitar dua dekade silam menyeret banyak orang tumbuh dalam lingkungan dan pemikiran segregatif. Eklin Amtor de Fretes (28) bertekad meretas sekat segregasi itu.
Oleh
FRANSISKUS PATI HERIN
·5 menit baca
Konflik sosial bernuansa agama yang memorakporandakan Maluku sekitar dua dekade silam menyeret banyak orang tumbuh dalam lingkungan dan pemikiran segregatif. Eklin Amtor de Fretes (28), korban konflik, mengajak anak dan para remaja meruntuhkan sekat segregasi lewat media dongeng damai..
Saat konflik sosial berkecamuk tahun 1999, Eklin baru berusia tujuh tahun. Ia bersama keluarga terpaksa meninggalkan rumah, tempat ia dilahirkan di Masohi, Kabupaten Maluku Tengah. Mereka mencari tempat aman untuk menyelamatkan diri, sekaligus memulai hidup baru. karena tak mungkin bisa kembali ke rumah. Konflik telah merampas masa kecilnya, menjauhkan ia dari teman sebaya, dan memaksanya hidup dalam lingkungan yang segregatif.
Tumbuh dalam lingkungan yang homogen dan sering mendengar cerita konflik membuat rasa benci dan dendam tumbuh dalam diri anak. Ada kencenderungan memberi label buruk kepada kelompok lain. ”Bahkan anak-anak yang lahir setelah masa konflik pun masih sering mendengar cerita tentang konflik. Sampai sekarang masih,” ujar Eklin saat ditemui di Ambon, Senin (23/11/2020).
Ia mulai menemukan celah untuk bisa berjumpa dengan anak-anak sebaya yang berbeda keyakinan pada saat ia belajar di SMP Negeri 2 Amahai kemudian berlanjut ke SMA Negeri 1 Masohi. Lewat perjumpaan itu terjadi dialog hingga ditemukan satu kesimpulan bahwa mereka adalah korban provokasi atas nama agama. Provokasi yang terorganisasi, sistematis, dan masif dengan tujuan tertentu.
Eklin semakin memantapkan langkah keluar dari tembok segregasi itu saat ia mengambil studi Teologi di Universitas Kristen Indonesia di Ambon. Selama menjadi mahasiswa ia kerap terlibat kegiatan yang melibatkan pemuda lintas iman, mulai dari berdiskusi, berkemah, hingga tinggal di rumah warga pemeluk agama lain.
Ia pun ikut menginisiasi pembentukan sejumlah komunitas dan kegiatan bertema toleransi, seperti Komunitas Jalan Merawat Perdamaian dan Kemah Damai Pemuda Lintas Iman. Tahun 2017, misalnya, anggota komunitas itu tinggal beberapa hari di Desa Latuhalat yang semua penduduknya umat Kristiani dan di Desa Tulehu dan kompleks Air Besar yang semuanya memeluk Islam. Desa-desa itu ada di Pulau Ambon, titik konflik terparah saat itu.
Memilih Dodi
Lewat sejumlah kegiatan itu pula, Eklin bertekad terus mewartakan damai dan ia memilih fokus ke anak-anak dan remaja. Kelompok ini sangat rentan, mengingat hingga kini banyak dari mereka masih dijejali cerita kelam yang tak pernah mereka alami. Bagi Eklin, mereka adalah generasi masa depan yang harus diselamatkan dari segregasi.
Ia lalu memilih mendongeng menggunakan boneka bernama Dodi, akronim dari dongeng damai. Menurut dia, cerita dongeng menggunakan boneka itu disenangi anak-anak. Dogeng dianggap sebagai media efektif untuk menyampaikan pesan, termasuk ajakan merawat perdamaian.
Ia mulai belajar mendongeng secara otodidak dari berbagai video yang tayang di Youtube. Ia belajar merangkai materi yang kontekstual sehingga mudah dipahami anak-anak dan remaja. Secara khusus ia belajar memandu gerakan boneka dan berbicara tanpa menggerakkan bibir atau seni ventriloquisme. Setelah dua minggu belajar dan meyakini bisa mulai mendongeng, Eklin tampil perdana pada 2 Januari 2018.
Sejak saat itu ia terus mendongeng dari kampung ke kampung di Maluku. Tahun 2018, ketika Indonesia merayakan HUT kemerdekaan ke-73, ia menargetkan mendongeng di 73 titik. Hasilnya melampaui target. Hingga kini, ratusan tempat di beberapa pulau sudah ia datangi, seperti Pulau Ambon, Seram, Kepulauan Aru, dan Maluku Barat Daya.
Di luar Maluku, ia sudah pernah mendongeng di Jakarta dan Surabaya, Jawa Timur. Setiap kali bepergian, ia selalu membawa boneka sehingga jika ada kesempatan ia bisa mendongeng. Di gereja, pemukinan penduduk, tempat pengungsian, hingga anak jalanan.
Walau demikian, perjalanan mendongeng Eklin bukan tanpa penolakan. Ia pernah dilarang mendongeng di salah satu kampung adat di Pulau Seram. Di kampung itu masyarakatnya memeluk kepercayaan lokal. Alasan penolakan adalah Eklin dikhawatirkan membawa misi agama. ”Saya dianggap ingin menyebarkan agama karena predikat saya sebagai seorang pendeta,” ujarnya.
Regenerasi
Eklin tak mau sendirian jadi pendongeng. Saat ini dia mulai mengajarkan banyak anak, remaja, dan orang dewasa untuk menjadi pendongeng. Dia punya sebuah markas bernama Rumah Dongeng. Rumah itu berupa bangunan berukuran 4 meter x 3 meter yang dibangun di atas makam kakeknya. Rumah Dongeng damai itu seakan menjadi rumah bersama bagi siapa saja.
Dia juga mengajak para sukarelawan mengajarkan bahasa Inggris dan Jerman kepada mereka yang belajar mendongeng. Tujuannya agar dongeng bisa dibawakan dalam berbagai bahasa selain Bahasa Indonesia dan Bahasa Melayu Ambon. Salah satu relawan pengajarnya adalah Tri Ambarwaty Basyir, Putri Bahari Maluku tahun 2018.
Gadis berhijab itu mengajar di rumah dongeng damai yang digagas Eklin sejak 2019. ”Rumah dongeng damai hadir memberikan rasa aman, nyaman, dan damai di tengah-tengah segregasi wilayah di Maluku. Kita masih berada pada tempat tinggal yang homogen, dan menjadi kekhawatiran tersendiri bagi minoritas yang datang ke lingkungan tersebut,” katanya.
Bagi Tri, rumah dongeng damai menjelma menjadi ruang ekspresi yang penuh kedamaian. Siapa saja boleh datang berbagi dan diterima dengan hangat. ”Saya merasa dikelilingi manusia-manusia baik yang sedang berupaya dalam kebaikan. Bercerita dengan menyenangkan, saling belajar dari satu sama lain, menggali nilai-nilai kebaikan itu sendiri. Kami merasakan yang sama. Ikatan persaudaraan yang hangat, yang bahagia berdampingan,” tutur Tri.
Berkat kampanye damai melalui dongeng, Eklin meraih juara satu dalam ajang Satu Indonesia Award kategori bidang pendidikan yang diselenggarakan PT Astra International Tbk. Dongeng yang dibawakan Eklin terus menular menjamur menembus sekat segrasi demi terciptanya kedamaian abadi, bukan lagi kedamaian semu.
Eklin Amtor de Fretes
Lahir : Masohi, Maluku Tengah, 19 November 1992
Pendidikan : Fakultas Teologi, Universitas Kristen Indonesia Maluku