Tujuh puluh persen jalan di Kabupaten Batanghari, Jambi, kondisinya rusak. Tantangan bagi kepala daerah terpilih mengatasi persoalan infrastruktur di tengah tekanan anggaran akibat pandemi Covid-19.
Oleh
IRMA TAMBUNAN
·5 menit baca
Di tengah melimpahnya sumber daya alam dan hasil bumi, ironi mewarnai wajah Kabupaten Batanghari, Jambi. Mayoritas jalan di wilayah itu rusak hingga beragam hasil bumi didistribusikan dengan ongkos yang mahal.
Dari 197 ruas jalan yang panjang totalnya 1.100 kilometer di Kabupaten Batanghari, sebesar 70 persen dalam kondisi rusak (Data Dinas Pekerjaan Umum Kabupaten Batanghari tahun 2020). Bahkan, 50 persen di antaranya berkategori rusak berat. Kerusakan jalan terutama didapati pada jalan-jalan yang menghubungkan sentra pertanian atau jalan angkut hasil panen.
Kondisi itu iron, saat sumber penghidupan sebagian besar penduduk Batanghari bertumpu pada pertanian dan perkebunan. Tanahnya yang subur sangat mendukung pengembangan beragam komoditas bernilai jual tinggi. Selain pertanian tanaman pangan, sejak 20 tahun terakhir Batanghari menjadi salah satu sentra produksi hasil perkebunan karet dan sawit. Namun, 82 persen petani masih belum sejahtera.
Jarak Batanghari ke Kota Jambi hanya 56 kilometer, seperti jarak dari Jakarta ke Bogor. Sebagai daerah penyangga ibu kota provinsi, Batanghari semestinya berkembang pesat.
Pengamat ekonomi dari Universitas Batanghari, Pantun Bukit, menilai pembangunan tidak berkembang di sana. ”Bisa dikatakan pembangunannya lambat. Sejak 1980-an hingga sekarang, nyaris tidak ada perubahan berarti,” ujarnya, Jumat (27/11/2020).
Buruknya infrastruktur, menurut dia, turut memengaruhi kesejahteraan petani. Dalam 7-8 tahun terakhir, nilai tukar petani hampir selalu di bawah indeks 100 sejak tujuh hingga delapan tahun terakhir. Penyebabnya, ongkos yang dikeluarkan petani lebih besar dibandingkan dengan hasil produksi yang diperolehnya. Bisa disebut petani nombok.
Kondisi jalan-jalan yang rusak menyebabkan kemahalan biaya angkut ke pasar atau ke industri pengolah. Semua ongkos itu dibebankan petani lewat pemotongan harga komoditas. Akibatnya, harga jual di tingkat petani jauh lebih rendah ketimbang di daerah lain.
Bisa dikatakan pembangunannya lambat. Sejak 1980-an hingga sekarang, nyaris tidak ada perubahan berarti. (Pantun Bukit)
Menurut Pantun, infrastruktur yang tidak memadai menyebabkan investasi tak melesat, seperti terjadi di daerah penyangga di beberapa tempat. Sebagai daerah penyangga, Batanghari dinilai belum menarik. Sebagian warga justru membangun usaha di tempat lain.
Warga Batanghari sebenarnya punya modal untuk membangun usaha di daerahnya sendiri. Namun, minimnya infrastruktur serta sarana dan prasarana membuat mereka tak tertarik sehingga memilih menanamkan modal di ibu kota Jambi.
Sebaliknya, investasi skala besar justru dikuasai investor dari luar. Mulai dari izin penguasaan hutan, hak guna usaha perkebunan, hingga izin pertambangan batubara. Penguasaan itu pun tak sejalan dengan penyerapan tenaga kerja lokal. BPS mencatat, pengangguran di Batanghari pada 2019 mencapai 9,75 persen.
Persoalan kian kompleks saat sumber daya alam di Batanghari juga digerogoti berbagai aktivitas liar. Pertambangan minyak dan emas liar merambah di mana-mana. Sebagian besar pelakunya datang dari luar daerah.
Persoalan kian kompleks saat sumber daya alam di Batanghari juga digerogoti berbagai aktivitas liar. Pertambangan minyak dan emas liar merambah di mana-mana. Sebagian besar pelakunya datang dari luar daerah.
Distribusi dari hasil aktivitas ilegal yang marak itu tak mendatangkan pemasukan bagi daerah sepeser pun. Malahan turut andil merusak jalan-jalan angkut strategis serta merusak hutan-hutan tropis setempat, serta menyingkirkan keberadaan komunitas lokal dan komunitas adat di sekitar hutan.
Batanghari juga didera persoalan rendahnya indeks pembangunan manusia (IPM) . Pada 2012, IPM Batanghari 66,97, lalu naik hingga mencapai 69,67 tahun 2019.
”Ada peningkatan, tetapi lambat,” ujar Pantun.
Penelitian Ummi Kalsum, Abdul Haris, dan Adelina Fitri dari Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Jambi, tahun 2018, menunjukkan, faktor kemiskinan dan rendahnya kualitas gizi anak memengaruhi kondisi tengkes pada anak balita. Ummi mengambil sampel pada komunitas Orang Rimba di Desa Sungai Terap dan Hajran. Tengkes didapati sebesar 21,7 persen pada anak balita setempat. Selain itu, 24 persen anak balita mengalami kurang berat badan (underweight).
”Faktor yang berperan di antaranya pola konsumsi dan pola perkawinan, sanitasi lingkungan, serta tingkat pengetahuan yang rendah,” ujar Ummi.
Rendahnya status gizi anak- anak setempat dipengaruhi ketersediaan asupan makanan, penyakit infeksi, sanitasi yang buruk, dan tingkat sosial ekonomi keluarga. Hutan sebagai sumber penghidupan mereka telah jauh berkurang hingga membuat Orang Rimba semakin tak berdaya. Kondisi itu dapat berakibat kematian karena kekurangan gizi serta penyakit infeksi.
Pemilihan kepala daerah serentak pada 9 Desember mendatang menjadi momentum bagi masyarakat untuk memilih calon pemimpin yang tepat. Pada Pilkada Batanghari, tiga pasangan calon bersaing. Pasangan nomor urut 1, Yunninta Asmara dan Muhamad Mahdan. Mereka didukung oleh Partai Golkar, PDI-P, Perindo, dan Gerindra. Pasangan nomor urut 2, Muhammad Firdaus dan Camelia Puji Astuti, didukung Partai Amanat Nasional (PAN), Partai Demokrat, Partai Keadilan Sejahtera (PKS), dan Partai Berkarya. Pasangan nomor urut 3 adalah Muhammad Fadhil Arief dan Bakhtiar. Pasangan ini dudukung koalisi Nasdem, PKB, dan PPP.
Naiknya ketiga pasangan calon dalam pentas pertarungan politik Batanghari tak lepas dari pengaruh kekuasaan-kekuasaan terdahulu. Yunninta adalah istri Bupati Batanghari periode 2016-2021, Syahirsah. Sementara Mahdan adalah anggota DPRD setempat.
Firdaus dan Camelia merupakan anak dari pemimpin terdahulu. Firdaus adalah putra ketiga Abdul Fattah, Bupati Batanghari periode 2001-2006 dan 2011-2013. Adapun Camelia merupakan putri Hasip Kalimuddin Syam, Bupati Batanghari periode 1980-1991.
Adapun pasangan terakhir merupakan duet dua sekretaris daerah. Fadhil merupakan Sekda Muaro Jambi, sedangkan Bakhtiar Sekda Batanghari.
Terlepas dari keterkaitan para calon dengan para kepala daerah terdahulu, menurut pengamat politik Universitas Jambi dan juga Ketua Komunitas Peduli Pemilu dan Demokrasi Jambi, M Farisi, yang terpenting adalah keseriusan membangun. Pemimpin terpilih nantinya jangan lagi salah dalam penempatan jabatan satuan-satuan kerjanya.
”Kepala dinas terpilih harus yang benar-benar sesuai dengan kapasitasnya,” ujarnya.
Untuk mengatasi ketertinggalan daerahnya, kepala daerah yang baru punya banyak pekerjaan rumah, apalagi di tengah tekanan anggaran akibat pandemi Covid-19. Selain memperbaiki infrastruktur di sektor hulu, pengembangan hilir diperlukan agar mendatangkan nilai tambah bagi masyarakat ataupun daerah.
Pemberdayaan masyarakat menjadi keniscayaan untuk keluar dari garis kemiskinan hingga ancaman kematian akibat gizi buruk. Tentu saja itu diiringi keseriusan menata pengelolaan hutan yang berkelanjutan sehingga dapat menjadi sumber penghidupan yang layak masyarakatnya.