Polisi Cari Pembakar Restoran Saat Demo di Yogya Lewat Pencocokan Wajah
Unjuk rasa penolakan RUU Cipta Kerja di DIY, Oktober lalu berujung ricuh. Akibatnya, sebuah restoran terbakar. Polisi mencari pelaku lewat metode pencocokan wajah. Pihak mahasiswa tak bisa memastikan afiliasi pelaku.
Oleh
NINO CITRA ANUGRAHANTO
·4 menit baca
YOGYAKARTA, KOMPAS—Sejumlah fasilitas umum, termasuk sebuah restoran turut terbakar dalam aksi unjuk rasa penolakan Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja, di kawasan Malioboro, Kota Yogyakarta, Daerah Istimewa Yogyakarta, 8 Oktober 2020. Beberapa pelaku sudah ditetapkan tersangka, dan sebagian lain masih dicari dengan pencocokan wajah.
Kepala Bidang Humas Kepolisian Daerah Istimewa Yogyakarta (Polda DIY), Komisaris Besar Yuliyanto, menyampaikan, pengusutan kasus terbakarnya restoran tersebut masih berlanjut. Pemeriksaan tak hanya dilakukan terhadap para saksi, tetapi juga dengan melihat rekaman kamera pengawas atau CCTV di sekitar lokasi kejadian. Cara itu digunakan untuk mengidentifikasi wajah pelaku.
“INAFIS (Indonesia Automatic Fingerprint Identification System) Polri sudah melakukan berbagai macam upaya. Salah satunya melaksanakan pencocokan wajah, atau face matching,” kata Yuliyanto, di Markas Kepolisian Resor (Polres) Kota Yogyakarta, Senin (30/11/2020).
Yuliyanto menambahkan, total ada lima wajah yang sedang dicocokkan oleh aparat kepolisian dan hingga kini belum selesai. Pendalaman masih perlu dilakukan untuk memastikan pelaku pembakaran restoran.
Adapun saksi yang sudah diperiksa aparat kepolisian berjumlah tujuh orang. Ketujuh orang itu terdiri dari pemilik restoran, pegawai restoran, dan orang-orang lain yang sempat menyaksikan kebakaran tersebut.
Dalam unjuk rasa, 8 Oktober 2020 lalu, bukan hanya restoran yang dirusak, tetapi juga pos polisi dan gedung DPRD DIY. Pos polisi yang dirusak berada di Gardu Anim, Jalan Abu Bakar Ali, Kota Yogyakarta. Sementara itu, kerusakan pada Gedung DPRD berupa pemecahan kaca dan dilepasnya papan nama gedung.
Yuliyanto mengungkapkan, dari dua kejadian itu, ada enam orang tersangka yang ditangkap. Para tersangka berinisial CF (19), A (16), B (16), C (16), D (16), dan E (16). Berkas pemeriksaan CF, A, B, dan C sudah lengkap dan dilimpahkan ke Kejaksaan Negeri Kota Yogyakarta. Sementara, berkas milik D dan E sedang dilengkapi. Harapannya, dalam waktu dekat, berkas milik kedua tersangka itu bisa segera diserahkan juga ke kejaksaan.
CF, A, B, dan C merupakan pelaku perusakan pos polisi. CF dan A berencana membakar pos polisi. Namun, ada warga yang mengingatkannya agar tidak melakukan aksi tersebut meski bahan bakar sudah telanjur disiramkan ke pos polisi itu. Sementara, B dan C berperan merusak pos polisi dengan cara menendang dan memukul menggunakan potongan besi.
“Barang bukti yang dikumpulkan adalah celana panjang, jaket, sepeda motor, pecahan asbes, dan besi. Ada juga botol bekas air mineral yang digunakan untuk membeli bensin. Pakaian-pakaian yang disita ini dikenakan tersangka sewaktu melakukan perusakan,” kata Yuliyanto.
Yuliyanto melanjutkan, D dan E merupakan pelaku perusakan di gedung DPRD DIY. Mereka merusak papan nama gedung tersebut. Selain itu, dilakukan pencopotan huruf-huruf besi yang ditempel sebagai penanda nama gedung.
Kepala Satuan Reserse Kriminal Polresta Yogyakarta, Ajun Komisaris Riko Sanjaya, menyampaikan, D dan E diidentifikasi aparat kepolisian dari video yang beredar lewat media sosial maupun yang dikirimkan masyarakat kepada polisi. Kedua tersangka ditangkap di rumahnya masing-masing, pada 14 Oktober 2020.
“Kami mempelajari video-video yang kami terima. Setelah kejadian, kami mengumpulkan video-video yang ada. Dari video itu, kami cocokkan untuk kepentingan penyelidikan,” kata Riko.
Menanggapi penetapan tersangka perusakan dalam aksi unjuk rasa penolakan RUU Cipta Kerja yang digagas mahasiswa, Ketua Badan Eksekutif Mahasiswa, Keluarga Mahasiswa, Universitas Gadjah Mada (BEM KM UGM), Sulthan Farras, menyampaikan, aksi pada 8 Oktober silam diikuti massa dari berbagai kalangan. Pihaknya tidak bisa memastikan apakah pelaku yang ditetapkan tersangka oleh polis merupakan bagian dari massa aksi.
“Pada hari H, massa yang datang sangat membeludak. Ini tidak bisa diantisipasi teman-teman yang melakukan teklap (teknis lapangan) sehari sebelumnya. Kami tidak bisa mengidentifikasi apakah yang dijadikan tersangka bagian dari massa aksi yang dibawa aliansi,” kata Sulthan.
Misi aksi tersebut untuk menggagalkan pengesahan Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja. Meski demikian, pihaknya menyatakan, tidak ada keinginan untuk merusak fasilitas-fasilitas umum. (Sulthan Farras)
Sulthan menjelaskan, unjuk rasa kala itu digalang sekelompok mahasiswa dan elemen masyarakat sipil yang bersatu dalam “Aliansi Rakyat Bergerak”. Misi dari aksi tersebut untuk menggagalkan pengesahan Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja. Meski demikian, pihaknya menyatakan, tidak ada keinginan untuk merusak fasilitas-fasilitas umum.
“Kami tidak ada sama sekali niatan mengganggu ketertiban umum ataupun merusak fasilitas. Perusakan terjadi karena kondisi memang sudah chaos. Tidak bisa diketahui siapa yang memulai pertama,” kata Sulthan.