Kebakaran lahan di Sumatera Selatan menurun signifikan. Mulai meningkatnya kesadaran masyarakat dan cepatnya langkah antisipasi membuat kebakaran di Sumsel dapat diredam.
Oleh
RHAMA PURNA JATI
·3 menit baca
PALEMBANG, KOMPAS — Kebakaran lahan di Sumatera Selatan menurun signifikan. Mulai meningkatnya kesadaran masyarakat dan cepatnya langkah antisipasi membuat kebakaran di Sumsel dapat diredam. Keberhasilan meredam kebakaran lahan ini akan menjadi acuan untuk penanggulangan kebakaran di tahun berikutnya.
Hal ini mengemuka di Penutupan Posko Satuan Tugas Siaga Darurat Bencana Asap Akibat Kebakaran Hutan dan Lahan Sumatera Selatan di Palembang, Senin (30/11/2020). Hadir dalam Acara tersebut, Gubernur Sumatera Selatan Herman Deru dan Kepala Badan Restorasi Gambut Nazir Foead.
Komandan Operasi Satgas Penanggulangan Karhutla Sumatera Selatan Brigadir Jenderal TNI Jauhari Agus Suraji, Senin (30/11/2020), menuturkan, sampai saat ini kebakaran lahan di Sumsel baru mencapai 418,17 hektar atau jauh menurun dibanding tahun lalu, yakni sekitar 233.546 hektar. Titik panas pun menurun dari 17.024 titik pada tahun 2019 menjadi 4.232 titik pada tahun ini.
Menurut dia, penurunan ini disebabkan oleh berkurangnya warga yang membuka lahan dengan cara membakar. Memang sebelum memasuki musim kemarau, ujar Jauhari, tim satgas terus melakukan sosialisasi dan juga edukasi kepada masyarakat yang tinggal di kawasan yang rentan terbakar.
Di Sumsel ada 158 desa yang tersebar di 10 Kabupaten/Kota yang rentan terbakar. Dari data tersebut, pihaknya juga melakukan beragam upaya pencegahan seperti menerapkan teknologi modifikasi cuaca (TMC) berupa hujan buatan di daerah yang kering sehingga mengurangi potensi terbakar. Selain itu, helikopter patroli dan helikopter bom air juga dikerahkan ketika ada lahan yang terbakar.
Gubernur Sumatera Selatan Herman Deru mengungkapkan, menurunnya angka kebakaran disebabkan oleh meningkatnya kesadaran masyarakat untuk tidak membuka lahan dengan cara membakar. Selain itu, persiapan pemda juga lebih matang.
”Kami menggelontorkan dana Rp 45 miliar untuk antisipasi karhuta di 10 daerah rawan. Hal ini dilakukan agar persiapan di daerah lebih matang,” ucapnya.
Menurut dia, selain memberikan dampak buruk bagi kesehatan, karhutla juga membuat banyak uang terbuang. ”Untuk satu kali terbang saja helikopter bom air menggelontorkan biaya Rp 200 juta per jam,” ucapnya.
Untuk itu, pencegahan menjadi agenda utama menghadapi karhutla di tahun-tahun mendatang. Herman berharap agar masyarakat memanfaatkan lahan yang terbengkalai untuk pengembangan sejumlah sektor yang ramah gambut seperti peternakan, perikanan, dan pertanian.
Untuk perternakan misalnya, warga bisa mengembangkan komoditas kerbau rawa yang bisa dimanfaatkan daging dan susunya. ”Sumsel memiliki 1,4 juta hektar rawa. Ini potensi yang besar untuk mendorong perekonomian daerah,” ucapnya.
Kepala Balai Pengendalian Perubahan Iklim dan Kebakaran Hutan dan Lahan Wilayah Sumatera Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Ferdian Krisnanto mengatakan, keberhasilan ini bermula dari kecepatan pemerintah untuk menetapkan siaga darurat sehingga langkah antisipasi sudah diterapkan jauh sebelum puncak musim kemarau. Selain itu, koordinasi dan sinkronisasi data juga diperlukan sehingga satgas memiliki acuan untuk mengambil tindakan.
Ferdian mengapresiasi langkah Gubernur Sumsel yang juga berencana mengeluarkan aturan muatan lokal penanggulangan karhutla di sekolah yang berada di daerah rawan terbakar. ”Hal ini diharapkan dapat membuat warga menyadari bahayanya karhutla bagi kehidupan,” ucapnya.
Langkah ini akan mulai dilakukan dari sekolah dasar dan berlanjut ke tahapan yang lebih tinggi. ”Kami mulai dengan melibatkan tim Manggala Agni yang akan mengajarkan para guru di sekolah,” kata Ferdian.
Kepala Badan Restorasi Gambut Nazir Foead menuturkan, rendahnya tingkat kebakaran lahan juga disebabkan oleh adanya teknologi yang mengukur kadar air dalam rawa. Tidak hanya kadar air, namun tren pembukaan lahan juga bisa dilihat dari satelit.
Teknologi ini membantu petugas untuk mengambil tindakan seperti untuk membasahi lahan yang rawan terbakar. Ke depan, ujar Nazir, pihaknya akan berupaya untuk melakukan restorasi dengan skema lanskap. Utamanya menjaga kadar air di kawasan gambut agar tetap basah walau berada di puncak musim kering.
Namun, hal ini tidak mudah karena didalam satu kawasan ada beragam peruntukan. Hal inilah yang sedang kami upayakan agar ada kesepakatan antar-instasi untuk menjaga kelestarian gambut.