Pembunuhan warga sipil oleh kelompok teroris MIT di Poso, Sigi, dan Parigi Moutong, Provinsi Sulawesi Tengah, tak boleh terjadi lagi. Aparat keamanan harus menjamin keamanan masyarakat.
Oleh
VIDELIS JEMALI
·4 menit baca
KOMPAS/VIDELIS JEMALI
Anggota Brimob Polda Sulteng berjaga di jalan menuju Ruang Instalasi Forensik RS Bhayangkara, Palu, Sulteng, Sabtu (23/3/2019), tempat tiga jenazah anggota Mujahidin Indonesia Timur.
PALU, KOMPAS — Terus jatuhnya korban warga sipil di sekitar daerah operasi keamanan di Sulawesi Tengah tidak boleh terjadi lagi. Operasi keamanan di Kabupaten Poso, Parigi Moutong, dan Sigi harus memprioritaskan perlindungan warga sipil dalam pemenuhan hak ekonomi, sosial, dan budaya mereka.
”Ini sudah banyak pasukan turun dalam jangka waktu lama pula, sekitar lima tahun, tetapi masih saja warga sipil menjadi korban dari aksi biadab kelompok MIT (Mujahidin Indonesia Timur). Dengan segala kewenangannya, negara tak boleh lagi membiarkan warga sipil kembali menjadi korban di tangan sekelompok orang jahat,” kata peneliti Lembaga Pengembangan dan Studi Hak Asasi Manusia (LPS-HAM) Sulteng Moh Arfandy, di Palu, Minggu (29/11/2020).
Arfandy merujuk pada pembunuhan yang dilakukan anggota kelompok teroris MIT pada Jumat (27/11) di Dusun Lewonu, Desa Lembantongoa, Kecamatan Palolo, Sigi. Dalam peristiwa sadis itu, empat orang menjadi korban. Selain itu, enam rumah, termasuk salah satu yang dijadikan tempat ibadah, dibakar oleh kelompok MIT. Empat rumah ludes, dua lainnya terbakar pada bagian dapurnya.
Arfandy menyatakan, jatuhnya korban warga sipil di sekitar daerah Operasi Tinombala, operasi untuk menumpas MIT, sudah sering terjadi. Sejak akhir 2014, sedikitnya 15 warga sipil menjadi korban kekejaman kelompok MIT yang dipimpin Ali Kolora.
Sebelum kejadian di Lembantongoa, seorang petani di Desa Sangginora, Kecamatan Poso Pesisir Selatan, Poso, awal Agustus 2020, dibunuh oleh anggota MIT. Ia dibunuh di kebunnya. Kejadian lainnya menyebar di Kecamatan Sausu, Parigi Moutong, serta Lembah Napu, Poso.
Arfandy mengatakan, Satuan Tugas Operasi Tinombala di Poso, Parigi Moutong, dan Sigi harus juga memprioritaskan keselamatan warga di sekitar daerah operasi. Ukuran keberhasilan operasi tak hanya ditangkap atau tewasnya anggota MIT, tetapi juga makin amannya warga dalam memenuhi hak hidupnya, terutama ekonomi, sosial, dan budaya. ”Cukup di Lembantongoa negara gagal atau lalai melindungi warga. Tak boleh lagi ada Lembantongoa lainnya,” ujarnya.
Menurut Arfandy, Operasi Tinombala perlu dievaluasi. Evaluasinya harus melibatkan berbagai pemangku kepentingan, termasuk tokoh masyarakat di sekitar lokasi operasi. Selama ini evaluasi memang dilakukan, tetapi tertutup hanya untuk pasukan Satgas Tinombala.
Kepala Desa Kilo, Kecamatan Poso Pesisir Utara, Widyanto menyatakan, jaminan keamanan dari aparat sangat penting. Sebagian warga di desa tersebut tak lagi mengolah kebunnya di dekat hutan karena ancaman keamanan dari kelompok MIT. ”Keamanan. Hanya itu yang kami minta,” ujarnya. Desa Kilo adalah salah satu desa yang berbatasan dengan hutan pegunungan Poso. Pegunungan itu menjadi daerah jelajah kelompok MIT.
ANTARA/BASRI MARZUKI
Warga membuka laman yang menampilkan daftar pencarian orang (DPO) teroris Poso di Palu, Sulawesi Tengah, Senin (4/4/2018).
Anggota MIT selama ini bergerilya di hutan pegunungan Poso, Parigi Moutong, dan Sigi. Mereka keluar dari wilayah gerilya untuk mengambil atau menjarah logistik. Kejadian di Lembantongoa didahului dengan pengambilan beras sebanyak 40 kilogram di salah satu rumah korban. Untuk menumpas MIT, digelar Operasi Tinombala yang dimulai sejak 2016.
Secara terpisah, Direktur Celebes Institute, lembaga yang terlibat dalam reintegrasi dan deradikalisasi mantan napi terorisme, Adriany Badrah, mengungkapkan, Operasi Tinombala yang didengung-dengungkan mengutamakan deteksi gagal dengan peristiwa di Lembantongoa.
Adriany pun menilai pola operasi harus diubah. Selain memperkuat deteksi atau intelijen, pasukan yang bertugas juga tak perlu diganti dalam waktu singkat seperti selama ini (setiap enam bulan). Ini agar pasukan betul-betul mengenal dan menguasai medan operasi yang luas.
Kami tidak bisa larang warga untuk berkebun atau aktivitas ekonomi lainnya, tetapi harus lebih hati-hati lagi.
Kepala Kepolisian Daerah Sulawesi Tengah Inspektur Jenderal Abdul Rakhman Baso, dalam konferensi pers, menyampaikan, dalam operasi pihaknya melindungi warga di sekitar hutan pegunungan. Ini dengan patroli dan penempatan pasukan operasi.
Namun, luasnya medan operasi menyebabkan terjadi peristiwa seperti di Lembantongoa. Jaringan komunikasi untuk mempercepat penyampaian informasi juga turut menjadi kendala.
Agar hal serupa tak terjadi, ia mengimbau warga di sekitar daerah operasi untuk semakin waspada. ”Kami tidak bisa larang warga untuk berkebun atau aktivitas ekonomi lainnya, tetapi harus lebih hati-hati lagi. Kalau ada hal-hal yang mencurigakan, laporkan kepada aparat,” katanya.
KOMPAS/VIDELIS JEMALI
Kepala Polda Sulteng Inspektur Jenderal Abdul Rakhman Baso (depan, tengah) didampingi Komandan Resor Militer 132/Tadulako Brigadir Jenderal (TNI) Farid Makruf memberikan keterangan terkait pembunuhan empat warga di Dusun Lewonu, Desa Lembantongoa, Kecamatan Palolo, Sigi, Minggu (29/11/2020).
Ia meminta warga untuk menghidupkan kembali daya deteksi, misalnya dengan sistem kentongan. Cara itu bisa mempercepat penyampaian informasi darurat sehingga bisa mencegah hal-hal tak diinginkan. ”Yang jelas, kami eksis di wilayah operasi dengan patroli dan penempatan pasukan,” katanya.
Terkait pengejaran 11 anggota MIT, Rakhman menyatakan, untuk saat ini tak perlu ada tambahan pasukan. Pasukan gabungan Polri-TNI yang tergabung dalam Satuan Tugas Operasi Tinombala dinilai cukup. ”Tugas kami untuk menyelesaikan tujuan operasi ini. Lebih cepat, lebih baik,” ujarnya.
Dari Jakarta, Muhammad Isnur dari Koalisi Jaringan Masyarakat Sipil dalam keterangannya menyampaikan, pemerintah dan aparat penegak hukum harus segera mengusut tuntas kasus di Lembantongoa. Para pelaku harus diproses secara hukum. Selain itu, keamanan dan keselamatan warga harus dijamin dan memastikan peristiwa serupa tak terjadi lagi di kemudian hari.
Pemerintah juga perlu memastikan agar siar kekerasan di Lembantongoa dapat dikendalikan. Ini untuk mengantisipasi adanya upaya individu atau kelompok tertentu untuk menebar kekerasan dengan tujuan penyebaran kebencian, permusuhan, atau diskriminasi berbasis suku, agama, ras dan antargolongan (SARA). Pemerintah harus memberikan data obyektif terkait situasi tersebut agar tak terjadi kesimpangsiuran informasi.