Memperlebar Sayap Bisnis Kain Sasirangan dengan Kreasi Ecoprint
Pelaku UMKM kain sasirangan di Kalimantan Selatan mulai berkreasi dengan ecoprint. Kombinasi sasirangan dengan ecoprint segera dicoba untuk merebut pasar yang luas.
Oleh
JUMARTO YULIANUS
·5 menit baca
Pelaku usaha mikro kecil dan menengah kain sasirangan di Kalimantan Selatan mulai berkreasi dengan ecoprint. Mereka berupaya memenuhi permintaan kain ecoprint dari konsumen lokal sehingga konsumen tak perlu lagi mencarinya ke luar daerah. Kombinasi sasirangan dengan ecoprint juga segera dicoba agar ada kekhasan dan bisa merebut pasar yang lebih luas.
Sasirangan adalah kain khas Banjar, sejenis batik, yang dibuat dengan teknik menyirang (menjelujur atau menjahit jarang-jarang). Kain tersebut bisa diberi pewarna sintetis ataupun pewarna alami. Adapun, ecoprint merupakan teknik memberi pola pada bahan atau kain dengan menggunakan bahan alami, seperti daun dan bunga.
Bertempat di Rumah Sasirangan Kreatif, Banjarmasin, Selasa (10/11/2020), lebih kurang dua puluhan pelaku UMKM kain sasirangan berkumpul. Di antara mereka ada pula beberapa orang yang baru ingin terjun ke dunia usaha kriya. Sepanjang hari itu mereka belajar membuat ecoprint dalam kegiatan pelatihan ecoprint tahap dasar. Yang mengikuti pelatihan datang dari berbagai kota di Kalsel, yakni dari Banjarmasin, Banjarbaru, Martapura, Pelaihari, dan Tanjung.
”Kain ecoprint sekarang ini lagi booming. Karena itu, saya ingin belajar supaya bisa membuatnya,” kata Elrina (40), pelaku UMKM kain sasirangan yang berasal dari Tanjung, Kabupaten Tabalong, lebih kurang 232 kilometer dari Banjarmasin.
Ina, panggilan akrab Elrina, adalah salah satu perajin kain sasirangan di Tanjung, yang selama ini memproduksi dan memasarkan kain sasirangan dengan pewarna sintetis. ”Saya juga mau coba memproduksi ecoprint untuk memenuhi permintaan pasar di Tanjung dan sekitarnya. Peluangnya masih cukup besar karena belum ada perajin ecoprint di sana,” ujarnya.
Ina mengaku sudah cukup lama tertarik dengan ecoprint dan mengikuti tutorial pembuatannya di media sosial. Namun, mempraktikkan dari tutorial tetap tidak mudah. Karena itu, ia sangat antusias mengikuti pelatihan ecoprint tahap dasar di Banjarmasin, yang merupakan pelatihan perdana baginya.
”Setelah ikut pelatihan dan langsung praktik, ternyata pembuatan ecoprint tak terlalu rumit. Pulang nanti, saya akan langsung coba membuat jilbab ecoprint untuk dijual di Tanjung. Jilbab ecoprint itu akan menambah ragam produk yang dijual. Jadi, tak melulu jual sasirangan,” tuturnya.
Ahmad Maulana (26), peserta pelatihan dari Banjarmasin, termotivasi mengikuti pelatihan pembuatan ecoprint karena berencana membuka usaha produksi kain sasirangan. ”Sebelumnya, saya sudah ikut pelatihan pembuatan sasirangan dengan pewarna alami. Pelatihan ecoprint ini semakin melengkapi,” katanya.
Menurut Maulana, ia akan fokus pada kreasi kain sasirangan pewarna alami dan ecoprint jika menekuni usaha kriya nanti. Di samping ramah lingkungan, bahan-bahan untuk memproduksi dua jenis kain itu juga mudah didapatkan. ”Bahan-bahannya bisa didapatkan dari alam atau lingkungan di sekitar kita,” ujar guru Madrasah Ibtidaiyah (MI) di Banjarmasin itu.
Riza Aspihany, pemilik usaha Katuju Sasirangan, yang menjadi salah satu mentor pelatihan ecoprint tahap dasar mengatakan, perajin sasirangan umumnya hampir tidak mengalami kesulitan berkreasi dengan ecoprint. ”Pembuatan ecoprint tidaklah serumit pembuatan sasirangan, cuma proses pembuatannya memang lebih lama,” katanya.
Menurut Riza, produksi kain sasirangan dengan pewarna alami biasanya hanya memakan waktu dua hari. Setelah itu, kain siap dipasarkan ataupun dikreasikan menjadi busana. Sementara itu, untuk produksi ecoprint bisa memakan waktu hingga satu minggu. Itu lantaran setelah pengeringan, kain masih perlu proses oksidasi.
Rebut peluang
Pemilik usaha Mayo Sirang, Yophi Sabtura, mengatakan, ecoprint sudah cukup populer di daerah lain sejak beberapa tahun lalu. Sejumlah perajin sasirangan di Kalsel sampai pergi ke luar daerah untuk mempelajari teknik pembuatannya sejak tahun lalu. ”Pada 2019, saya belajar membuat ecoprint di Yogyakarta,” ujarnya.
Meskipun kala itu sudah bisa membuat ecoprint, Yophi tidak langsung memproduksinya karena masih melihat peluang pasarnya terlebih dahulu. ”Ecoprint baru booming di masa pandemi ini. Di saat penjualan sasirangan agak seret, saya pun ambil kesempatan memproduksi ecoprint untuk merebut peluang pasar,” tuturnya.
Menurut Yophi, produksi ecoprint di tempatnya baru berjalan tiga bulan. Produksi juga masih dilakukan secara terbatas, yakni sesuai order dari konsumen. Harga jualnya lebih kurang sama dengan sasirangan pewarna alami, yakni mulai dari Rp 250.000 sampai Rp 1 juta per lembar kain ukuran 1,15 × 2,15 meter.
”Produksi ecoprint tidak serumit produksi sasirangan alam, tetapi prosesnya jauh lebih lama. Karena itu, wajar saja apabila harga pasarannya hampir sama,” katanya.
Riza juga melakukan hal yang serupa dengan Yophi begitu selesai mengikuti pelatihan pembuatan ecoprint secara daring dengan mentor dari Yogyakarta. ”Saya langsung coba bikin ecoprint setelah belajar secara online di masa pandemi ini. Karena sudah terbiasa berkreasi dengan warna alam, saya tidak lagi mengalami kesulitan,” ujarnya.
Meskipun belum terlalu fokus pada produksi ecoprint, Riza mengatakan, respons pasarnya sudah cukup bagus. Permintaan mulai datang walaupun belum sebanyak sasirangan. ”Saya juga mulai keasyikan bikin ecoprint dan menawarkannya secara online. Sejauh ini, saya sudah bikin 10 lembar ecoprint,” katanya.
Kombinasi
Riza mengatakan, ecoprint itu ajaib, unik, dan asyik. Ada seni menata daun ataupun bunga dalam pembuatannya sehingga hasil akhir pada setiap kain tidak akan pernah sama dan selalu memberikan kejutan. ”Warna yang dihasilkan kadang-kadang tak sesuai dengan yang diharapkan. Di situlah letak kejutannya,” ujarnya.
Menurut Riza, ecoprint sangat mungkin dikombinasikan dengan sasirangan alam. Bahkan, beberapa perajin sasirangan di Tanah Laut sudah mulai mencobanya. Kombinasi sasirangan dan ecoprint atau dikenal dengan sasirangan ecoprint mampu mencuri perhatian pasar. ”Sasirangan ecoprint itu bisa menjadi kekhasan ecoprint dari Kalsel untuk merebut pasar yang lebih luas,” katanya.
Sasirangan ecoprint memadukan teknik penataan daun dengan teknik menjelujur. Untuk itu, haruslah dipilih daun yang berukuran agak besar supaya lebih gampang dijelujur, seperti daun jati, daun afrika, daun ketepeng cina atau gelinggang, dan daun mangga. ”Kombinasi itu akan segera kami coba,” ujarnya.
Ketua Koperasi Barakat Amanah Sejahtera Ruth Marliani Oedi cukup terkejut dengan antusiasme perajin mengikuti pelatihan ecoprint yang difasilitasi oleh koperasi mereka. Pelatihan kali ini merupakan pelatihan kedua dan dibatasi hanya untuk 22 orang. ”Kalau masih banyak yang berminat, pelatihan seperti ini akan kami adakan lagi,” kata perajin sasirangan itu.
Menurut Ruth, yang belajar ecoprint dari Bandung, koperasi berupaya memfasilitasi pelatihan ecoprint agar perajin sasirangan tak perlu lagi mengeluarkan biaya besar untuk belajar ecoprint ke luar daerah. Hanya dengan membayar Rp 150.000, mereka sudah dapat ilmu, bahan-bahan untuk praktik, serta konsumsi. Dengan menguasai ecoprint, perajin sasirangan bisa terus berkreasi dan berinovasi untuk membangkitkan ekonomi.