Tanah Ulayat Bukan Hambatan untuk Investasi di Sumbar
Tanah ulayat dinilai bukan hambatan bagi para pengusaha untuk berinvestasi di Sumatera Barat. Selama prosesnya terbuka dan melibatkan masyarakat, investasi di tanah ulayat bakal didukung masyarakat.
Oleh
yola sastra
·5 menit baca
PADANG, KOMPAS — Tanah ulayat dinilai bukan hambatan bagi para pengusaha untuk berinvestasi di Sumatera Barat. Selama prosesnya terbuka dan melibatkan masyarakat, investasi di tanah ulayat bakal didukung masyarakat. Hambatan investasi di tanah ulayat di ranah Minangkabau sering terjadi karena prosesnya tidak transparan dan tidak melibatkan masyarakat.
Poin-poin tersebut mengemuka dalam webinar Peluang dan Tantangan Investasi di Sumbar yang diadakan Minang Diaspora Network Global, Sabtu (28/11/2020). Seminar daring itu diikuti pejabat pemerintah daerah, senator, pelaku usaha, akademisi, dan calon wakil gubernur Sumbar dalam pilkada serentak 9 Desember 2020.
Anggota DPD, Alirman Sori, mengatakan, sebenarnya tanah ulayat tidak menjadi hambatan untuk investasi sebagaimana isu yang selama ini berkembang. Keberadaan tanah ulayat yang mencapai sekitar 80 persen dari total tanah di Sumbar sebenarnya merupakan peluang luar biasa untuk kegiatan investasi.
”Persoalannya selama ini hanya satu. Ketika ada investasi masuk, baiyo-iyo dan batido-tido (berembuk) itu kurang. Ini menjadi persoalan. Tidak ada unsur keterbukaan secara terang benderang (kepada masyarakat). Orang Sumbar sebenarnya patuh-patuh. Kalau mereka diajak baiyo-iyo dan batido-tido, saya yakin investasi akan berjalan baik semuanya,” kata Alirman.
Menurut Alirman, dari pengalamannya menjadi anggota dan Ketua DPRD Pesisir Selatan, masyarakat sebenarnya sangat gembira dan menantikan investasi yang masuk. Namun, ketika investasi datang, masyarakat tidak diajak berembuk oleh pemerintah. Investasi hanya dibahas segelintir orang sehingga menimbulkan kecurigaan di tengah masyarakat.
Alirman menyebutkan salah satu contoh buruk yang terjadi di Pesisir Selatan beberapa waktu lalu. Suatu lahan yang hendak dibangun investasi berada di kecamatan A tetapi suratnya ada di kecamatan B. Penyimpangan tersebut tidak mungkin dilakukan masyarakat biasa, tetapi orang tertentu yang punya kekuatan. Begitu investasi mulai digarap, muncullah permasalahan.
”Sistem manajemen pemerintah tertutup. Sistem manajemen hanya berpihak ke salah satu pihak, tidak ke semua pihak. Ini, kan, menjadi persoalan serius ketika berbicara berinvestasi di Sumbar. Tidak ada unsur keterbukaan dalam mengelola sistem pemerintahan,” ujar Alirman.
Direktur Nagari Development Center (NDC) Universitas Andalas Erigas mengatakan, masalah lain yang memberatkan investasi di tanah ulayat adalah minimnya keterlibatan masyarakat di nagari (setingkat desa). Masyarakat tidak menjadi bagian dari program investasi dan hanya menjadi penonton sehingga tidak memperoleh manfaat yang signifikan.
”Orang Minangkabau itu egaliter. Kalau jelas hak dan kewajiban, masyarakat Minang paling patuh. Saya yakin betul penolakan-penolakan (investasi) itu karena keuntungan sepihak. Keuntungan hanya untuk pihak ketiga dan tidak memberikan nilai manfaat bagi masyarakat dan nagari,” ujar Erigas.
Erigas pun mengusulkan gagasan baru pemanfaatan tanah ulayat menjadi satu asas manfaat. Dalam investasi, misalnya di sektor pariwisata, tidak ada pembebasan lahan pada tanah ulayat. Suku atau kaum pemegang hak tanah ulayat dilibatkan dalam investasi sebagai pemegang saham. Setiap bulan mereka mendapatkan hasil usaha berdasarkan porsi saham yang mereka miliki.
Menurut Erigas, NDC sudah coba menerapkan gagasan itu di Nagari Lubuak Malako, Kecamatan Sangir Jujuan, Solok Selatan. Seluas 100 hektar tanah ulayat mereka pakai untuk kegiatan ekonomi kreatif yang dikelola oleh Badan Usaha Milik Nagari. Hasil dari usaha tersebut kemudian dibagi kepada suku dan kaum yang tanahnya dipergunakan.
”Setiap pemimpin suku punya kartu tabungan. Setiap bulan bisa lihat berapa hasilnya. Di situ, masyarakat bisa menjadi bagian dari program tersebut, bukan hanya menjadi penonton. Selama ini di daerah setiap ada proyek investasi masyarakat hanya jadi penonton. Masyarakat yang dapat manfaat sangat rendah,” ujar Erigas.
Beri pemahaman
Presiden Komisaris PT Supreme Energy Supramu Santoso mengatakan, pihaknya memulai investasi Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) Muara Labuh sejak 2008 dan mulai berproduksi tahun 2019. PLTP Muara Labuh saat ini sudah menghasilkan listrik sekitar 85 megawatt.
Menurut Supramu, investasi PT Supreme Energy di Muara Labuh, Solok Selatan, tidak lepas dari masalah. Namun, permasalahan dihadapi termasuk minim. Kunci berhasilan membangun investasi di sana adalah bagaimana memberikan pemahaman dan perhatian kepada masyarakat. Pihak Supramu setidaknya mengajak 50 tokoh masyarakat untuk melihat langsung operasional PLTP di Jawa Barat.
”Dengan demikian, masyarakat bisa menerima dan mengerti. Mungkin itu yang perlu dilakukan investor PLTP lainnya. Masyarakat dengan mata kepala sendiri tidak menyaksikan PLTP berdampak sama sekali terhadap lingkungan,” kata Supramu.
Selama berkegiatan, kata Supramu, PT Supreme Energy juga selalu menjalin hubungan erat dengan masyarakat. Walaupun belum menghasilkan, perusahaan setiap tahun mengeluarkan uang 300.000 dollar AS untuk program tanggung jawab sosial perusahaan (corporate social responsibility/CSR). Uang tersebut antara lain untuk membangun masjid, pasar, pendidikan, dan lainnya.
Selain itu, kata Supramu, perusahaannya juga sangat perhatian terhadap lingkungan. Untuk investasi PLTP, mereka hanya membebaskan lahan seluas 100 hektar. Sementara, perusahaan punya komitmen untuk merehabilitasi hutan seluas 250 hektar. Di samping itu, perusahaan juga selalu memonitor dan membantu kehidupan masyarakat yang terdampak saat pembebasan lahan.
Kepala Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PMPTSP) Sumbar Maswar Dedi mengatakan, tanah ulayat bukan halangan untuk kegiatan investasi. Kuncinya, perlu keterbukaan. Semua pihak mesti dibawa berunding ketika investor hendak berinvestasi di suatu daerah.
”Jangan sampai ada yang ditinggalkan (dalam perundingan). Masalahnya biasanya ketika investor masuk, ada satu orang yang ditinggalkan. Itu yang menjadi kendala, menjadi kerikil bagi investasi itu. Itu sudah kami buktikan di beberapa daerah yang potensinya cukup besar. Ketika ada salah seorang tokoh tidak dilibatkan ketika investor masuk, dia bersuara,” kata Maswar.
Masalah lainnya, kata Maswar, adanya pihak-pihak di tanah rantau yang memberikan informasi yang tidak kondusif untuk kegiatan investasi di Sumbar. Maswar mengaku, tiga tahun terakhir dinas terus menyosialisasikan pentingnya investasi bagi daerah. Kegiatan investasi bisa memacu pertumbuhan ekonomi.
Selain tanah ulayat, kata Maswar, masalah tata ruang di kabupaten/kota di Sumbar juga belum ramah terhadap investasi. Terkadang, ketika investor sudah mendapatkan nomor induk berusaha (NIB) dari perizinan berusaha terintegrasi secara elektronik (online single submission/OSS), ternyata ketika pengurusan izin lokasi tidak bisa.
”Perlu disampaikan ke kepala daerah kabupaten/kota terkait rencana tata ruang wilayah (RTRW) ini sangat berperan dalam mendukung investasi daerah. Setiap daerah harus punya rencana detail tata ruang (RDTR). Jika RDTR sudah ada, investor tidak akan sulit mengurus izin lokasi,” ujarnya.