Menantikan Jurus Manjur untuk Cianjur
Cianjur adalah salah satu daerah subur dengan beragam potensi besar lainnya di Jawa Barat. Namun, yang muncul ke permukaan lebih banyak tentang kemiskinan, ketimpangan pendidikan, hingga kawasan rawan bencana.
Sejak lama, Kabupaten Cianjur ibarat mutiara yang terkubur di tanah subur Jawa Barat. Diberkahi sumber daya alam melimpah, tetapi masih banyak masyarakatnya belum sejahtera. Warga menanti pemimpin inovatif untuk mengoptimalkan potensi itu menjadi jembatan menuju masa depan yang lebih cerah.
Atang (35) melangkah cepat menerobos kerumunan ribuan buruh yang berunjuk rasa di depan Kantor Bupati Cianjur, Jawa Barat, Rabu (25/11/2020) siang. Kedua tangannya cekatan menyambar sampah botol plastik dan kardus yang berserakan di jalanan.
Satu jam berpeluh mencari sampah, karung yang dipanggulnya pun terisi penuh. Hasil memulungnya sekitar 60 kilogram botol plastik dan lima kilogram kardus. Jika dijual, ia akan memperoleh Rp 190.000. Bukan penghasilan yang fantastis, tetapi itu yang terbesar selama pandemi Covid-19.
”Biasanya hanya dapat 20 kg per hari. Alhamdulillah, hasil mulung hari ini lumayan banyak,” ujar warga Karangtengah, Cianjur ini.
Berbeda dengan para buruh yang berjuang menuntut kenaikan upah, Atang tak punya standar penghasilan. Bahkan, saat awal pandemi, Maret lalu, hasil memulungnya hanya 12 kg per hari. Setelah dijual ke pengepul, ia menerima Rp 36.000.
Atang hanya lulusan sekolah dasar. Jadi, meskipun usianya masih produktif, peluang mendapatkan pekerjaan di perusahaan sangat kecil. Ia juga tak punya modal dan keahlian untuk berwirausaha.
Untuk menambah penghasilan, bapak satu anak itu membantu saudaranya berjualan di Pasar Muka, Cianjur. Upahnya Rp 20.000–Rp 40.000 per hari. Sementara istrinya tidak bekerja.
Penghasilan terbatas membuat Atang belum bisa membeli rumah. Ia pun mengontrak dengan sewa Rp 600.000 per bulan. ”Karena tidak bisa bayar langsung per bulan, saya cicil Rp 20.000 per hari. Masih bersyukur bisa ngontrak. Ada pemulung tidur di gerobak,” ujarnya.
Atang hanya potret kecil penduduk miskin dan persoalan pendidikan di Cianjur. Hal ini terjadi turun-temurun sehingga berpengaruh terhadap Indeks Pembangunan Manusia (IPM).
Kedua orangtua Atang juga hanya lulus SD. Mereka bekerja sebagai petani. Namun, buruknya infrastruktur membuat hasil panen tidak bisa langsung dijual ke pasar, melainkan ke tengkulak. Akibatnya, harganya rendah dan mereka pun sulit hidup sejahtera.
Baca juga: Meniti Mimpi di Tengah Korupsi
Terendah
Menurut data Badan Pusat Statistik Jabar, rata-rata lama sekolah di Cianjur hanya 6,97 tahun. Itu artinya setara kelas II SMP. IPM Cianjur 2019 sebesar 65,38 poin, meningkat dari tahun sebelumnya 64,62 poin. Namun, tetap menjadi yang terendah dibandingkan dengan 27 kabupaten/kota se-Jabar.
Sejumlah 9,15 persen atau 207.070 penduduknya masih miskin. Persentase itu tertinggi ketujuh di Jabar. Selain itu, pengangguran terbuka Cianjur pada 2019 mencapai 9,72 persen. Jumlah tersebut lebih tinggi daripada rata-rata provinsi, yaitu 7,99 persen.
Akses terhadap fasilitas kesehatan juga masih timpang. Enam rumah sakit di Cianjur terletak di wilayah utara dan tengah. Sementara masyarakat di kawasan selatan hanya mengandalkan layanan kesehatan di puskesmas. Warga Sindangbarang, Cianjur selatan, misalnya, harus menempuh perjalanan sekitar tiga jam untuk mengakses rumah sakit terdekat ke Rumah Sakit Umum Daerah Pagelaran.
Selain itu, memiliki kontur berbukit dan pesisir pantai selatan, Cianjur lebih kerap dikenal khlayak karena daerahnya rawan bencana alam. Selain longsor, potensi tsunami juga tinggi di daerah ini.
Ironi itu semakin memilukan karena praktik korupsi membelit Pemerintah Kabupaten Cianjur pada akhir 2018. Bupati Cianjur saat itu, Irvan Rivano Muchtar, divonis lima tahun penjara karena tersandung korupsi dana pendidikan. Kasus ini juga menyeret sejumlah pejabat di Dinas Pendidikan.
Data itu menunjukkan Cianjur dikepung beragam masalah. Hal ini menjadi ironi karena kabupaten seluas 3.614 km persegi itu mempunyai potensi melimpah dari lahan pertanian, gunung, hingga laut.
Data itu menunjukkan Cianjur dikepung beragam masalah. Hal ini menjadi ironi karena kabupaten seluas 3.614 km persegi itu mempunyai potensi melimpah dari lahan pertanian, gunung, hingga laut.
Di masa kolonial, Cianjur bahkan pernah menjadi ibu kota Priangan. Berada di kaki Gunung Gede, hasil kopinya bahkan pernah menjadi yang terbesar seantero Nusantara. Bersama produk teh, kopi itu ikut menopang perekonomian Kerajaan Belanda di abad ke-19. Daerah ini juga pernah menjadi lumbung pangan vital.
Jejaknya masih ada hingga kini. Perkebunan masih menghampar. Sawah yang subur pun masih jadi sumber kehidupan warga. Namun, kemewahan ada di tanah vulkanis itu tak kunjung menyejahterakan warganya. Bukan karena kegagalan produksi, tetapi belum memadainya fasilitas pengolahan pascapanen dan buruknya rantai pemasaran.
Endang (45), petani di Ciranjang, tak berdaya saat harga mentimun di tingkat pengepul anjlok dari Rp 2.000 menjadi Rp 800 per kg pada awal pandemi Covid-19, Maret lalu. Ia merugi hingga Rp 7,2 juta dalam tiga kali masa tanam.
”Petani tidak bisa intervensi harga. Kalau hasil panen ditahan akan busuk. Sementara petani tidak punya tempat penyimpanan memadai,” ujarnya.
Endang berharap, bupati dan wakil bupati yang terpilih dalam pilkada 2020 lebih peduli terhadap nasib petani. Salah satunya membentuk Badan Usaha Milik Daerah di sektor pertanian untuk menyerap hasil panen.
”Dengan begitu, hasil panen petani bisa dibeli dengan harga layak. Jadi, kami tidak lagi bergantung pada pengepul,” ujarnya.
Selain sektor pertanian, tentangan pemimpin Cianjur ke depan adalah memaksimalkan sektor pariwisata. Cianjur mempunyai alam pegunungan dan pantai yang sangat berpotensi mengundang wisatawan lokal dan mancanegara.
Pengamat politik dan pemerintahan Universitas Suryakencana, Cianjur, Dedi Mulyadi, mengatakan, persoalan IPM telah menjadi persoalan sejak dahulu. Salah satu pemicunya adalah rendahnya rata-rata pendidikan warga. ”Cianjur harus punya universitas negeri. Dengan begitu, warganya tidak perlu kuliah ke luar daerah. Ini akan mendongkrak kualitas pendidikan,” ujarnya.
Selain itu, diperlukan kolaborasi antara sekolah umum dan pondok pesantren. Dengan begitu, lulusan pesantren juga mendapatkan ijazah sekolah sesuai tingkat pendidikan yang setara. ”Sudah ada yang melakukannya, tetapi baru sedikit. Hal ini menjadi PR (pekerjaan rumah) bagi pemimpin ke depan,” ujarnya.
Menurut Dedi, Bupati dan Wakil Bupati Cianjur 2021–2024 juga mesti memberi perhatian lebih pada sektor pertanian. Sebab, mayoritas warganya bekerja di sektor ini. Tidak sekadar bantuan benih, pupuk, pestisida, dan pelatihan, tetapi juga dukungan infrastruktur untuk memudahkan distribusi hasil panen dari kawasan sentra pertanian.
”Apalagi sektor pertanian terbukti bisa bertahan saat pandemi Covid-19. Jadi, ini momentum untuk mengoptimalkannya,” ujarnya.
Dalam Debat Publik Calon Bupati dan Wakil Bupati Cianjur, Selasa (24/11), empat pasangan calon menawarkan berbagai program untuk mendongkrak IPM dan mendongkrak kesejahteraan warga. Pasangan Muhammad Toha-Ade Sobari mengusung program kemandirian ekonomi berbasis potensi lokal.
Untuk menggerakkan ekonomi, pasangan ini akan menyalurkan bantuan ke tingkat RT sejumlah Rp 100.000 per orang setiap bulan. ”Untuk membenahi sektor pendidikan, kami akan menghadirkan guru dan sukarelawan yang berkompeten,” ujar Toha.
Pasangan Zaenal Mutaqin-Wawan Setiawan menjanjikan peningkatan anggara pendidikan dan kesehatan untuk memperbaiki IPM. Pertumbuhan ekonomi diakselerasi melalui pemberdayaan badan usaha milik desa (BUMDes).
”Kami akan bentuk BUMDes bidang perdagangan dan pertanian. Dengan begitu, desa tidak hanya menyerap anggaran, tetapi juga punya penghasilan sendiri,” ujarnya.
Baca juga: Inovator Kemajuan Desa
”Pendidikan di Cianjur masih rendah. Oleh sebab itu, haru ada pusat kegiatan belajar-mengajar, tidak hanya di sekolah, tetapi juga di pesantren,” ujar Herman.
Sementara pasangan Lepi Ali Firmansyah–Gilar Budi Raharja menganggap rendahnya IPM Cianjur disebabkan karena daerah itu masih menjadi kantong kemiskinan dan penganggur. Pasangan ini berjanji akan mengalokasikan anggaran Rp 100 miliar per tahun untuk sektor pendidikan, kesehatan, pertanian, keagamaan, dan peberdayaan ekonomi.
”Dalam lima tahun Cianjur akan sejajar dengan daerah lain, bahkan menjadi kabupaten terdepan di Jabar,” ujarnya.
Genderang pesta demokrasi telah ditabuh. Warga Cianjur kembali menitipkan harapan besar di pundak para pasangan calon. Sudah saatnya, potensi alam yang melimpah dikelola bijak untuk kesejahteraan rakyat.
Baca juga: Kabar Baik dalam Genggaman