Kesiapsiagaan warga di daerah rawan bencana erupsi Gunung Merapi terus diuji, pun anak-anak. Menumbuhkan kemandirian dan kepercayaan diri sejak dini menguatkan mereka menghadapi bencana yang sewaktu-waktu mengancam.
Oleh
MELATI MEWANGI
·4 menit baca
Kesiapsiagaan warga di daerah rawan bencana erupsi Gunung Merapi terus diuji, pun para anak. Menumbuhkan kemandirian dan kepercayaan diri sejak dini menguatkan mereka menghadapi bencana yang sewaktu-waktu mengancam.
Kedatangan Agus Widanarko (40) mencuri perhatian anak-anak pengungsi yang sedang bermain di lapangan Desa Klakah, Kecamatan Selo, Kabupaten Boyolali, Jawa Tengah, Sabtu (21/11/2020) siang. Berkostum tokoh wayang Gatotkaca, ia lincah melangkah ke arah anak-anak.
”Adik-adik di sini mengungsi karena apa, tho?” tanya dia. Anak-anak menjawab lantang, kata mereka, ”Gunung Merapi sedang tidak baik-baik saja”.
Alasan itu yang membuat mereka harus tinggal berhari-hari di pengungsian. Para pengungsi di Desa Klakah berasal dari berasal dari Dusun Sumber yang berjarak hanya 3 kilometer (km) dari puncak Gunung Merapi dan Dusun Bakalan berjarak 3,5 hingga 4 km.
Widanarko adalah pendiri Komunitas Superhero Mendongeng dan Membaca Keliling asal Kabupaten Sukoharjo. Siang itu, kehadirannya untuk berbagi cerita dan menghibur anak-anak. Cerita yang disampaikan bukan dongeng biasa. Dia menghubungkannya agar relevan dengan penguatan mitigasi bencana. Kostum superhero lokal dan mancanegara menjadi sarana untuk mencairkan suasana.
Kisah anak yang durhaka terhadap orangtua menjadi pembuka. Alur cerita dimulai dari seorang anak bernama Malin Spider yang pergi merantau ke luar daerah untuk bekerja. Sebelum berangkat, sang ibu mewanti-wanti agar Malin tetap bersikap baik. Sebaliknya, di perantauan, ia tidak mengikuti pesan ibunda agar bekerja di tempat yang baik. Malin malah menjadi seorang pencopet dan pencuri.
Pesan sang ibu tidak diindahkan. Dia pun terjerumus dalam kegelapan dan ditangkap polisi atas perbuatan jahatnya. Andaikan saja Malin mematuhi perintah ibunya, dia akan selamat dan terhindar dari hukuman.
Saat situasi mengungsi karena bencana, terkadang anak-anak merengek minta pulang dan pergi main bersama teman-temannya ke tempat yang mungkin tidak diawasi orang tua. Padahal, belum semua anak paham batas-batas zona bahaya.
Widanarko ingin menyampaikan pesan kepada anak-anak agar mematuhi perintah orang tua dalam situasi apa pun. Saat situasi mengungsi karena bencana, khususnya, terkadang anak-anak merengek minta pulang dan pergi main bersama teman-temannya ke tempat yang mungkin tidak diawasi orang tua. Padahal, belum semua anak paham batas-batas zona bahaya.
”Jadi, orang tua yang dimaksud adalah polisi, sukarelawan, tim siaga desa yang selalu membantu dalam situasi bencana. Kalian harus mendengarkan kata-kata atau perintah mereka agar tetap selamat, ya, selama mengungsi,” kata Widanarko.
Dongeng membuat anak-anak lebih mudah menangkap pesan. Salah satunya Joko Saryono (11), siswa kelas V SD Negeri 2 Klakah, yang di akhir cerita menganggukkan kepalanya pertanda paham. Selama dongeng disampaikan, sorot matanya tak pernah lepas dari Widanarko.
”Takut kalau hujan abu tiba-tiba turun, mendingan tidur di pengungsian, kan, lebih aman banyak yang jagain,” kata si bocah.
Dalam situasi bencana, anak-anak kerap kali dikesampingkan atau terlupakan karena orang tua sibuk menyiapkan keperluan. Melibatkan anak dalam prosesnya bisa meminimalkan dampak yang ditimbulkan.
Sejak dini
Kesadaran penuh akan potensi bencana di daerah sebaiknya dikenalkan sejak dini. Namun, dalam situasi bencana, anak-anak kerap kali dikesampingkan atau terlupakan karena orang tua sibuk menyiapkan keperluan. Melibatkan anak dalam prosesnya dapat meminimalkan risiko dampak.
Widanarko menyuarakan hal itu melalui permainan saling menggendong. Setiap anak berkesempatan untuk digendong oleh tokoh superhero. Mereka dilatih disiplin dan bersabar dalam antrean sesuai giliran. ”Ini menumbuhkan kesadaran mereka agar mengikuti jalur antrean saat evakuasi bencana,” kata Widanarko.
Jika dirasa tidak nyaman atau ada yang kurang saat digendong, anak-anak bebas berpendapat. Saat digendong menyamping, Joko pun berseru, memohon agar superhero melepaskan dia dari cengkeraman yang kuat.
Raihan (11), siswa kelas V SD N 2 Klakah, juga tak kalah fokus. Menurut dia, tak banyak kegiatan dan permainan edukasi tentang kesiapsiagaan saat mengungsi. Ia pun menangkap pesan yang disampaikan lewat dongeng Widanarko. ”Tidak boleh ngeyel jika diminta mengungsi, kalau bermain tidak jauh-jauh. Jika ada keluarga atau teman yang membutuhkan pertolongan, ya, segera dibantu,” tuturnya.
Sebagai kelompok rentan, anak-anak termasuk prioritas selama pengungsian hingga evakuasi. Pemahaman pentingnya kebersamaan saat menghadapi ancaman bencana pun perlu diberikan.
Dalam diskusi daring bertajuk ”Save The Children”, pertengahan Agustus 2020, Direktur Jenderal Rehabilitasi Sosial Kementerian Sosial Harry Hikmat mengatakan, anak memiliki peran penting dalam pengurangan risiko bencana. Idealnya, anak terlibat dalam pengambilan keputusan menyiapkan respons risiko bencana serta mengidentifikasi tipe-tipe risiko bencana.
Peningkatan peran itu bisa dilakukan dengan membekali mereka dengan sumber informasi untuk mengakses dukungan terkait penanggulangan bencana, penilaian risiko bencana, ketahanan dalam menangani risiko bencana, serta meningkatkan kemampuan komunikasi dalam menyebarluaskan informasi lewat media sosial.
Harry menilai, pemahaman setiap individu dalam memaknai bencana berbeda. Anak-anak harus paham bahwa mereka tidak hanya menjadi korban yang dipandang tidak berdaya. Mereka bisa berkontribusi dalam upaya pemulihan, rehabilitasi, dan rekonstruksi.
Kesiapsiagaan yang dibangun sejak awal akan berbuah manis di kemudian hari. Melibatkan anak dalam proses mitigasi, sekaligus membuka ruang bagi mereka untuk bertumbuh di tengah bencana. Kelak, mereka diharapkan menjadi pribadi yang lebih peka dan tangguh terhadap risiko bencana.