Kerusakan hutan berdampak besar terhadap perempuan. Mereka akan kehilangan sumber air, sumber pangan, ekonomi, dan pengetahuan, serta ancaman bencana alam.
Oleh
ZULKARNAINI
·4 menit baca
Kerusakan hutan berdampak besar terhadap perempuan. Mereka akan kehilangan sumber air, sumber pangan, ekonomi, dan pengetahuan, serta ancaman bencana alam. Oleh sebab itu, para perempuan Gayo di Kabupaten Bener Meriah dan Aceh Tengah, Provinsi Aceh, bergerak untuk menjaga dan mengelola lingkungan.
Di kaki gunung berapi Burni Telong, Desa Damaran Baru, Kecamatan Timang Gajah, Kabupaten Bener Meriah, Aceh, 20 perempuan berkumpul. Mereka petani dan ibu rumah tangga yang gelisah menyaksikan hutan rusak diusik perambah.
Selama tiga hari, 15-17 November 2020, mereka berkumpul untuk membangun konsolidasi memperkuat gerakan perempuan menjaga sumber daya alam. Pertemuan itu difasilitasi oleh Forum Perempuan Penjaga Sumber Daya Alam (PPSDA) dan Yayasan Hutan Alam dan Lingkungan Aceh (HAkA).
Pertemuan sengaja digelar di alam terbuka agar peserta menyatu dengan alam. Suara gemercik air, desir angin, desau daun-daun, dan suara binatang hutan membuat suasana semakin alami. Udara dingin menembus jaket. Maklum, dataran tinggi Gayo memasuki puncak musim musim dingin dan lokasi kegiatan berada di lokasi 1.700 meter di atas permukaan laut (mdpl).
Selama tiga hari mereka mendapatkan materi tentang sosial budaya Gayo berkaitan dengan alam, ekonomi hijau, dan peran perempuan mengelola sumber daya alam. Pada kesempatan itu, Bupati Bener Meriah Sarkawi dan Bupati Aceh Tengah Shabela Abubakar hadir menyatakan dukungan kepada gerakan perempuan itu.
Samsidar, tokoh perempuan Gayo, menuturkan, dalam kebudayaan Gayo, perempuan memiliki keterikatan kuat dengan alam. Perempuan sebagai peramu hasil hutan, seperti obat-obatan, penyediaan pangan, kerajinan tangan, dan kebutuhan ritual adat.
Kehidupan warga Gayo dengan alam tidak bisa dipisahkan. Lebih dari 90 persen penduduk di sana adalah petani. Jika alam rusak, mereka akan kehilangan sumber penghidupan dan juga nilai-nilai budaya.
Namun, pada era modern pembukaan hutan untuk kepentingan industri dan perambahan ilegal membuat perempuan tersisih dari penguasaan sumber daya alam. Semua kebutuhan hidup diproduksi oleh pabrik, padahal kebutuhan manusia jauh lebih dulu disediakan oleh alam.
Kehidupan warga Gayo dengan alam tidak bisa dipisahkan. Lebih dari 90 persen penduduk di sana adalah petani. Jika alam rusak, mereka akan kehilangan sumber penghidupan dan nilai-nilai budaya.
Bagi Samsidar gerakan menjaga alam yang dipelopori oleh perempuan adalah upaya untuk menjaga warisan bagi anak cucu kelak. ”Ada yang bisa kita wariskan untuk anak cucu, jangan kita habiskan semua,” kata Samsidar.
Ekonomi hijau
Dalam pertemuan itu, mereka mendiskusikan tentang ekonomi hijau. Beberapa kelompok perempuan mulai memanfaatkan hasil alam dijadikan produk bernilai ekonomis.
Misalnya, perempuan di Desa Bergang, Kecamatan Ketol, Aceh Tengah. Dari bahan baku kopi mereka membuat sabun, lulur, dan scrub. Namun, produk tersebut belum dipasarkan secara luas karena terkendala belum keluar perizinan.
”Kami perlu dukungan dari pemerintah untuk proses perizinan dan pemasaran,” kata Halimatussa’diah, anggota kelompok dari Bergang.
Para perempuan itu menyusun strategi ekonomi hijau dengan pendekatan memanfaatkan potensi alam sebagai sumber ekonomi tanpa merusaknya. Maka, lahirlah produk-produk seperti kerupuk daun labu, bubuk kopi organik, sabun kopi, dan paket wisata hutan desa. Meski produk mereka belum mampu menjangkau pasar luar, itu menjadi sumber pendapatan tambahan.
Hutan desa
Kelompok perempuan di Desa Damaran Baru mengelola hutan desa sebagai sumber penghasilan baru. Mereka cukup beruntung diberikan hak mengelola hutan desa seluas 251 hektar. Ini adalah satu-satu di Aceh hutan desa dikelola oleh perempuan.
Ketua Lembaga Pengelola Hutan Kampung (LPHK) Desa Damaran Baru Sumini menuturkan, awalnya mereka gelisah menyaksikan hutan lindung di sekitar desa jadi sasaran perambah. Akibatnya, pada 2015, desa itu dihantam banjir bandang. Puluhan rumah dan puluhan hektar kebun kopi rusak.
Desa Damaran Baru baru di kaki gunung berapi aktif Burni Telong. Jika hutan di pinggang gunung itu rusak, desa-desa di kaki gunung menjadi sasaran bencana alam. ”Kami tidak mau bencana ini terulang. Makanya kami harus bergerak melindungi hutan,” kata Sumini.
Salah satu cara melindungi hutan adalah dengan cara mengusulkan sebagai hutan desa. Pengusulan dilakukan oleh tiga desa, yaitu Damaran Baru, Fajar Harapan, dan Kenine. Pada November 2019, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan mengeluarkan surat izin pengelolaan.
Kami tidak mau bencana ini terulang. Makanya kami harus bergerak melindungi hutan. (Sumini)
Sumini mengatakan, kini mereka merasa bahagia karena diberikan hak mengelola hutan. Para perempuan anggota kelompok dibantu laki-laki rutin melakukan patroli, menyemai, dan menanam bibit di lahan yang pernah dirambah.
Mereka juga menawarkan paket wisata jelajah hutan, menanam pohon, berkemah, dan belajar budaya Gayo. ”Karena sedang pandemi, tidak banyak wisatawan. Namun, kami yakin ke depan wisata desa ini akan berkembang,” ujar Sumini.
Bupati Bener Meriah Sarkawi berterima kasih kepada perempuan yang terlibat dalam gerakan menjaga sumber daya alam. Sarkawi berjanji akan memberikan insentif kepada desa-desa penyangga yang telah menjaga lingkungan. ”Pada 2021, silakan usulkan program, nanti pemerintah akan membantu anggaran,” ujar Sarkawi.
Sekretaris Yayasan Hutan Alam dan Lingkungan Aceh Badrul mengatakan, pihaknya mendampingi kelompok perempuan menjaga sumber daya alam. HAKA melatih anggota kelompok cara mengelola hutan, patroli hutan, ekowisata, dan kampanye perlindungan hutan. Badrul menginginkan Desa Damaran Baru menjadi contoh pelibatan perempuan dalam menjaga sumber daya alam.