Pengurangan Cukai Diusulkan untuk Cegah Pelanggaran
Pelanggaran cukai rokok dan minuman keras di Sulawesi Utara masih marak. Kanwil DJBC Sulbagtara mengkaji pengurangan besaran cukai demi mencegah pelanggaran.
Oleh
KRISTIAN OKA PRASETYADI
·4 menit baca
MANADO, KOMPAS — Peredaran rokok dan minuman beralkohol yang tidak dilengkapi pita cukai masih marak di Sulawesi Utara. Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Sulawesi Bagian Utara mengusulkan pengurangan besaran cukai yang selama ini membebani produsen minuman keras sehingga menyebabkan pelanggaran. Dengan demikian, negara diharapkan tak kehilangan pemasukan.
Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Sulawesi Bagian Utara (Kanwil DJBC Sulbagtara) menyita 1.240.552 batang rokok dan 36.397 botol minuman mengandung etil alkohol ilegal dari seluruh wilayah Sulut. Nilai rokok dan minuman keras yang dikumpulkan selama 2018-2020 tersebut diperkirakan mencapai Rp 1,01 miliar.
Semua barang yang tak dilengkapi pita cukai yang sah itu pun dihancurkan, Rabu (25/11/2020), di Kantor Pengawasan dan Pelayanan Bea Cukai (KPPBC) Manado. Rokok-rokok dihanguskan di tungku pembakar dan dikoyak dengan mesin penggiling, sedangkan botol-botol minuman keras dilindas dengan alat berat dan dipecahkan oleh petugas.
Kepala Kanwil DJBC Sulbagtara Cerah Bangun mengatakan, barang bukti pelanggaran cukai ini adalah tindak lanjut dari penindakan dengan sanksi administratif berupa denda kepada pemiliknya. Namun, ia tidak menyebut berapa jumlah pelanggar yang ditindak selama tiga tahun terakhir.
Sebagian besar rokok dan minuman keras itu adalah produksi lokal di Manado, sedangkan sisanya berasal dari provinsi lain dan selundupan dari Filipina. ”Ada pula yang disita dari penumpang pesawat karena melebihi batas volume 1 liter,” katanya.
Ada beberapa modus dalam menghindari cukai, seperti menjual tanpa pita cukai, menggunakan pita cukai palsu, serta menggunakan pita cukai yang tak sesuai dengan jenis produk. Pelanggar mencari celah dalam penggolongan minuman keras menjadi golongan A (alkohol 0-5 persen), golongan B (5-20 persen), dan golongan C (lebih dari 20 persen).
”Misalnya, penggunaan pita cukai golongan B untuk minuman yang masuk golongan C. Ada juga yang menggunakan pita perusahaan lain yang lebih kecil agar dapat cukai lebih murah. Modus yang sama digunakan pada rokok ilegal,” kata Cerah.
Menurut Cerah, pelanggaran disebabkan oleh keinginan produsen atau distributor menjual langsung kepada masyarakat dengan untung sebesar-besarnya. Persaingan di pasar minuman keras, misalnya, ketat karena banyak petani penghasil minuman beralkohol dari distilasi air nira yang disebut cap tikus. Minuman ini diedarkan tanpa regulasi dalam kemasan botol plastik.
Cerah menggambarkan, jika cap tikus 650 liter dijual langsung oleh petani, harganya berkisar Rp 10.000-Rp 15.000. Jika dikenai cukai, harganya bisa berlipat mencapai Rp 30.000-an karena ketambahan cukai sekitar Rp 19.000. Karena itu, diperlukan upaya untuk menekan biaya produksi, termasuk cukai, demi mencegah pelanggaran.
”Kami sudah membuat kajian mengenai struktur biaya. Cukai bisa diturunkan agar disparitas harga tidak terlalu jauh. Kita tentu berharap peredaran barang-barang ini bisa terkontrol demi menjaga pemasukan negara sekaligus membatasi produksi dan konsumsinya,” katanya.
Pengalaman tahun 2018, kami pernah mencegah dua kontainer berisi rokok ilegal dari Jawa.
Sementara itu, Kepala KPPBC Bitung Agung Riandar Kurnianto mengatakan, Bitung menyumbang sekitar 2.600 botol minuman beralkohol dan 100.000 batang rokok dalam semua barang yang dimusnahkan. Bitung, sebagai pintu masuk utama jalur laut ke Sulut, masih rawan pelanggaran cukai.
”Pengalaman tahun 2018, kami pernah mencegah dua kontainer berisi rokok ilegal dari Jawa. Modusnya, ada yang dikirim secara interinsuler (antarpulau), ada juga yang melipir (singgah) dulu ke kota-kota di Sulawesi,” katanya.
Karena itu, Agung menyatakan akan terus menjalin kerja sama intelijen dengan Kanwil DJBC Sulbagtara, KPPBC Manado, Makassar, dan kota-kota di Jawa. ”Kami tidak bisa kerja sendiri, tidak hanya dengan Bea Cukai, tetapi juga aparat penegak hukum lainnya,” katanya.
Selama 2019-2020, Kanwil DJBC Sulbagtara serta KPPBC Manado dan Bitung menindak 149 pelanggaran cukai. Sebanyak 16 pelanggaran di antaranya berujung sanksi administrasi. Barang bukti pelanggaran dari 131 kasus disita negara. Adapun dua KBBPC di Sulut pada 2019 mencatatkan penerimaan cukai sebesar Rp 19,89 miliar dari rokok dan minuman keras.
Sementara itu, Sekretaris Provinsi Sulut Edwin Silangen berharap, pemusnahan barang bukti tersebut dapat mendorong masyarakat untuk menghindari produksi, pembelian, dan konsumsi rokok dan minuman beralkohol tanpa cukai. Namun, tantangan bagi Sulut sebagai pintu masuk utama ke Indonesia bagian timur dan gerbang Pasifik di masa depan akan lebih berat.
”Setelah pemusnahan ini, saya harap kita bisa semakin bersinergi, semakin mampu meningkatkan kegiatan pengawasan dan penyuluhan ke masyarakat. Di masa depan, kita harus bekerja bersama dengan upaya ekstra keras,” ujar Edwin.
Narkoba
Direktorat Reserse Narkoba Kepolisian Daerah Sulut mengungkap lima kasus penggunaan narkoba selama 11 hari, yaitu 7-18 November 2020. Empat kasus melibatkan penggunaan jenis obat keras, yaitu 4.693 butir trihexyphenidyl, 50 butir tramadol, dan seledryl.
Adapun satu kasus lainnya melibatkan pengiriman 0,26 gram sabu atau metamfetamin. Kepala Bidang Hubungan Masyarakat Polda Sulut Komisaris Besar Jules Abraham Abast mengatakan, sabu itu dikirim ke Rumah Tahanan Manado di bilangan Malendeng. Total delapan tersangka ditangkap meliputi pengguna, pengedar, dan penyedia dana.
”Seluruh tersangka dan barang bukti sudah dibawa ke Polda Sulut untuk dimintai keterangan. Kasus ini masih terus dikembangkan lebih lanjut untuk mengungkap kemungkinan adanya tersangka lain,” kata Jules.