Pendekatan Penanganan Pasien Anak Untuk Pelacakan Awal di NTB
Persentase kematian pasien positif Covid-19 Provinsi NTB masih tertinggi kedua di Indonesia. Oleh karena itu, pelacakan awal dimaksimalkan dengan pendekatan penanganan pasien anak yang sebelumnya berhasil diterapkan.
Oleh
ISMAIL ZAKARIA
·4 menit baca
MATARAM, KOMPAS – Persentase pasien positif Covid-19 di Nusa Tenggara Barat masih menempati posisi kedua terbesar di Indonesia. Oleh karena itu, Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 setempat menggunakan pendekatan screening atau pelacakan awal untuk mencegah kematian. Hal serupa sebelumnya berhasil diterapkan untuk menekan kematian pada pasien anak dengan Covid-19.
Saat ini, menurut Kepala Dinas Kesehatan Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) Nurhadini Eka Dewi di Mataram, Selasa (24/11/2020) total pasien meninggal sebanyak 246 orang dari total 4.623 orang yang terkonfirmasi positif. Jika dipersentase, yakni 5,3 persen atau masih berada di atas standar Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) 3 persen.
“Untuk kasus kematian, NTB masih berada di nomor dua di seluruh Indonesia setelah Jawa Timur. Dengan persentase itu, artinya setiap 20 kasus, ada satu orang yang meninggal,” kata Eka.
Menurut Eka, melihat kondisi itu, maka mereka membuat percepatan penurunan angka kematian. Hal paling dasar yang dilakukan adalah dengan mempercepat penanganan lewat pelacakan awal.
Eka menjelaskan, pelacakan awal itu sebelumnya berhasil dilakukan untuk mencegah kematian pada kasus anak dengan Covid-19.
Untuk kasus kematian, NTB masih berada di nomor dua di seluruh Indonesia setelah Jawa Timur. Dengan persentase itu, artinya setiap 20 kasus, ada satu orang yang meninggal (Nurhadini Eka Dewi)
“Sejak awal pandemi di NTB (Maret 2020), kami sudah menetapkan bahwa anak dengan gejala batuk pilek berat atau pneumonia ringan langsung masuk suspect (diduga) Covid-19,” kata Eka.
Setelah masuk suspect, pasien anak itu langsung dirawat kemudian dilakukan penegakan diagnosis lewat tes usap dua kali dalam jangka waktu 1x24 jam. Berdasarkan hasil tes usap, pasien anak kemudian menjalani terapi.
“Jika positif, maka diterapi sebagai pasien Covid-19. Tetapi kalau negatif dua kali, maka diterapi sebagai pasien dengan pneumonia,” kata Eka.
Menurut Eka, pendekatan itu berhasil mencegah banyak kematian pasien positif Covid-19 pada anak. Sejak Februari 2020 hingga November 2020, sudah ada 1.053 anak-anak yang memilki gejala pneumonia yang dirawat. Dari jumlah itu, 413 orang dinyatakan positif Covid-19.
“Kalau dilihat, hampir 40 persen dari pasien anak yang diduga Covid-19, menjadi positif,” kata Eka.
Perinciannya, kata Eka, sebanyak 116 orang adalah anak di bawah lima tahun (balita). Sisanya, 105 orang berusia 6-12 tahun, dan 192 orang berusia 13-18 tahun. “Dari 413 positif dan dirawat, tujuh di antaranya meninggal dunia. Empat orang balita dan tiga orang berusia 6-18 tahun,” kata Eka.
Jika melihat jumlah meninggal dengan total positif, maka rata-rata angka kematian (case fatality rate/CFR) pada pasien anak di NTB sebanyak 1,7 persen. Jumlah itu jauh dibandingkan CFR pada seluruh pasien positif di NTB yang mencapai 5,3 persen.
Belajar dari pendekatan itu, kata Eka, maka mereka juga mendorong pelacakan awal untuk mengendalikan kematian pasien positif Covid-19 dewasa. Caranya dengan meminta masyarakat untuk tidak takut ke sarana kesehatan.
“Kami berharap, masyarakat tidak takut ke rumah sakit atau puskemas. Kalau sakit, segera berobat. Semakin awal, semakin cepat terdeteksi sehingga penanganan lebih cepat dan risiko kematian bisa diturunkan. Tolong ubah pola pikir yang khawatir tertular di sarana kesehatan,” kata Eka.
Menurut Eka, untuk bisa melaksanakan itu, tentu butuh dukungan semua pihak. Satuan gugus tugas di lapangan, pasien, termasuk masyarakat. “Masyarakat harus tahu bahwa pemeriksaan awal bertujuan untuk melindungi mereka. Tidak ada istilah kami mencemarkan nama baik seseorang dengan memeriksanya. Apalagi setiap langkah (yang diambil) ada perhitungannya,” kata Eka.
Satu zona merah
Sementara itu, hingga saat ini, dari sepuluh kabupaten kota di NTB, masih ada satu daerah yakni Kota Bima yang berada dalam status zona merah (risiko tinggi) penyebaran Covid-19. Sementara sembilan lainnya zona oranye (risiko sedang).
Sebelumnya, zona merah juga berada di Kota Bima. Sementara oranye hanya Kabupaten Bima dan Dompu.
Menurut Ketua Pelaksana Harian Gugus Tugas Lalu Gita Ariadi, sampai Oktober lalu, perubahan zonasi berdasarkan perhitungan 14 indikator yakni sepuluh indikator epidemologi, dua indikator surveilans kesehatan masyarakat, dan dua indikator layanan kesehatan.
“Sampai Oktober, indikator utama perhitungan masih pada epidemologi. Tetapi sejak November, ada perubahan dan indikator utama pada surveilans,” kata Gita.
Indikator surveilans kesehatan masyarakat, menurut Gugus Tugas Covid-19 RI, mengacu pada kemampuan sistem kesehatan masyarakat untuk melakukan pemantauan, seperti deteksi kasus atau testing, pemantauan mobilitas penduduk serta pelacakan kontak.
“Oleh karena itu, agar kita dapat memperbaiki penilaian zona risiko ini, indikator surveilans menjadi kuncinya. Upaya yang dilakukan adalah meningkatkan penelusuran riwayat kontak (tracing), pengambilan sampel dan jumlah tes,” kata Gita.
Gita juga sudah meminta pemerintah daerah di kabupaten kota untuk semakin aktif melakukan tracing sekaligus tes usap.