Diduga Jejak Macan Tutul Gunung Merapi, Ternyata Milik Anjing
Balai Taman Nasional Gunung Merapi telah meninjau langsung jejak kaki satwa liar yang diduga macan tutul di Desa Glagaharjo, Kecamatan Cangkringan, Kabupaten Sleman, DI Yogyakarta. Jejak kaki itu dipastikan milik anjing.
Oleh
NINO CITRA ANUGRAHANTO
·3 menit baca
SLEMAN, KOMPAS — Jejak satwa di jalur evakuasi Gunung Merapi yang awalnya diduga macan tutul jawa (Panthera pardus melas) ternyata milik anjing. Namun, untuk memastikan keberadaan macan tutul, sejumlah kamera pemantau akan dipasang di kawasan penemuan jejak itu.
Hal itu diketahui setelah peninjauan petugas Balai Taman Nasional Gunung Merapi ke lokasi penemuan jejak di di Dusun Ngancar, Desa Glagaharjo, Kecamatan Cangkringan, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta. Sebelumnya, hal itu dilaporkan warga yang pertama kali melihat jejak kaki itu pada Jumat (20/11/2020).
”Itu jelas menunjukkan anjing karena bentuknya agak segitiga. Kalau (jejak kaki) macan itu agak membulat atau lonjong sedikit,” kata Kepala Balai Taman Nasional Gunung Merapi Pujiati saat dihubungi, Selasa (24/11/2020).
Pujiati menjelaskan, selain itu, ada kuku yang dikeluarkan sewaktu satwa itu berjalan. Padahal, kucing besar, seperti macan tutul maupun kucing hutan, selalu menyembunyikan kuku saat berjalan.
Sebelumnya, Bintara Pembina Desa Glagaharjo, Kopral Satu Eko Widodo, menjelaskan, dari jejak yang tertinggal, diperkirakan ada 2-3 satwa liar yang melintas. Warga setempat menduga jejak tersebut berasal dari macan tutul.
Kesaksian warga tentang keberadaan macan tutul, di kawasan tersebut, sudah muncul sejak 2018. Ada warga yang sempat mengamati satwa tersebut sewaktu mencari rumput. Lokasi pencarian rumput tidak jauh dari tempat ditemukannya jejak kaki itu.
”Kami sempat memeriksa bersama Balai TNGM. Saat itu, dipasang kamera juga. Kami menggali informasi dari beberapa warga. Ada lebih dari dua orang yang mengaku sempat melihat macan tutul itu. Tetapi, sampai sekarang belum diketahui keberadaannya. Baru dari keterangan warga saja,” kata Eko.
Hari Wawan (27), warga Desa Glagaharjo, menceritakan, desas-desus macan tutul di desanya sudah terdengar lama. Namun, ia tidak pernah menyaksikan sendiri. Selama ini, juga tidak pernah ada konflik antara satwa liar dan warga setempat.
Pujiati menyatakan, pihaknya akan memasang sejumlah kamera penjebak (camera trap) di sekitar tempat ditemukannya jejak satwa itu. Tujuannya, memastikan kesaksian warga tentang keberadaan macan tutul di kawasan tersebut.
Lebih lanjut, Pujiati menceritakan, sebelum erupsi Merapi 2010, macan tutul masih teramati di lereng gunung. Pada 2012, jejak cakaran macan tutul masih terlihat. Namun, setelah itu, jejak cakar ataupun fisik macan tutul tidak ditemukan lagi.
Pujiati menambahkan, saat ini, salah seorang anggotanya juga tengah meneliti keberadaan mamalia di kawasan Merapi dan Merbabu. Diduga terjadi perpindahan satwa dari lereng Merapi ke lereng Merbabu. Sebab, ada koridor yang dapat dilalui satwa untuk berpindah ke lereng gunung lain. Pembuktiannya bakal coba dilakukan dengan pemasangan kamera penjebak di titik-titik tertentu.
”Kami terus berupaya mencari keberadaan macan tutul. Sudah ada 40 camera trap yang kami pasang sejak awal tahun di lereng Merapi. Dari situ dapat dilihat, ada banyak kijang. Kami pikir, kijang ini salah satu makanannya macan tutul. Seharusnya, jika makanannya berlimpah, macan tutul itu masih ada. Tetapi, top predator yang sejauh ini ditemui hanya kucing hutan,” kata Pujiati.