Jawa Timur Kembali Waspadai Aktivitas Masyarakat Berisiko Penularan
Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 di Jawa Timur perlu mewaspadai potensi peningkatan risiko penularan terkait aktivitas masyarakat dengan peningkatan pengawasan dan pengetatan protokol kesehatan.
Oleh
AMBROSIUS HARTO, AGNES SWETTA PANDIA
·3 menit baca
SURABAYA, KOMPAS — Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 di Jawa Timur perlu mewaspadai potensi peningkatan risiko penularan terkait dengan aktivitas masyarakat. Pengawasan dan pengetatan protokol kesehatan sebaiknya ditingkatkan karena wabah Covid-19 belum mereda.
Menurut laman resmi http://infocovid19.jatimprov.go.id/ pada Senin (23/11/2020), pagebluk yang menyerang sejak pertengahan Maret secara akumulatif telah menjangkiti 59.044 jiwa warga. Wabah telah mengakibatkan kematian akumulatif 4.184 orang. Sebanyak 2.571 jiwa masih dirawat. Sebanyak 52.289 pasien berhasil sembuh. Persentase kematian 7 persen, sedangkan kesembuhan 88,5 persen.
Kami prihatin dengan situasi di daerah yang menjadi lebih parah, dari kuning ke oranye, jangan-jangan penerapan protokol kesehatan mengendur.
Adapun jumlah kasus akumulatif terkini yang 59.044 orang bertambah 365 orang dari hari sebelumnya. Penambahan tertinggi ialah Jember (50 orang) diikuti Surabaya (45 orang), Banyuwangi (25 orang), Situbondo (23 orang), Jombang (21 orang), dan Kota Kediri (20 orang).
Berdasarkan laman resmi https://covid19.go.id/peta-risiko, di antara 38 kabupaten/kota di Jatim, Lumajang zona merah atau risiko tinggi kenaikan kasus. Zona kuning atau risiko rendah ada di 11 kabupaten, yakni Pamekasan, Sampang, dan Bangkalan di Pulau Madura lalu Lamongan, Bojonegoro, Ngawi, Madiun, Pacitan, Tulungagung, Kabupaten Pasuruan, dan Bondowoso. Sebanyak 26 kabupaten/kota lainnya zona oranye atau risiko sedang.
Situasi itu berubah dibandingkan dengan awal November saat zona kuning ada 24 kabupaten/kota. Dalam tiga pekan, ada 13 daerah yang status risikonya berubah menjadi lebih parah.
”Kami prihatin dengan situasi di daerah yang menjadi lebih parah, dari kuning ke oranye, jangan-jangan penerapan protokol kesehatan mengendur,” kata Windhu Purnomo, epidemiolog Universitas Airlangga, Surabaya.
Setelah pembatasan sosial berskala besar yang berakhir 2 Juni 2020 di Surabaya, Sidoarjo, dan Gresik, yang merupakan episentrum wabah di Jatim, lanjut Windhu, protokol kurang diterapkan dengan ketat meskipun ada operasi yustisi.
Menurut Kepala Bidang Hubungan Masyarakat Polda Jatim Komisaris Besar Trunoyudo Wisnu Andiko, operasi yustisi kurun 14 September-18 November telah dilaksanakan sebanyak 425.910 kegiatan di 38 kabupaten/kota. Operasi menjaring 5.112.548 pelanggar atau setara seperdelapan dari populasi Jatim yang 40 juta jiwa.
Truno merinci, petugas memberikan 3.393.982 teguran lisan, 882.200 teguran tertulis, dan denda bagi 79.748 pelanggar dengan total nilai Rp 3,406 miliar. Selain itu, sebanyak 645.288 orang dijatuhi sanksi kerja di fasilitas umum dan 111.326 orang terpaksa menerima penyitaan kartu tanda penduduk. Ada empat orang yang menjalani hukuman penjara dan 80 tempat usaha ditutup sementara.
Terjaring razia
Menurut Windhu, salah satu indikator yang memperlihatkan bagaimana penerapan protokol kesehatan ialah jumlah pelanggaran yang terjaring dalam operasi yustisi. Pelanggaran 5,1 juta lebih menandakan rendahnya kesadaran publik untuk menerapkan protokol sederhana, yakni memakai masker atau alat pelindung diri guna mencegah potensi penularan virus korona.
Wakil Sekretaris Gugus Tugas Covid-19 Kota Surabaya Irvan Widyanto mengatakan akan menggencarkan razia dan pemantauan protokol. Salah satunya, semakin banyak masyarakat yang menyelenggarakan acara dengan kehadiran banyak orang. Jika protokol tidak ketat dilaksanakan, potensi penularan akan terus terjadi.
”Semakin banyak yang menyelenggarakan acara, yakni hajatan, syukuran, dan peribadatan,” kata Irvan yang menjabat Kepala Badan Penanggulangan Bencana dan Perlindungan Masyarakat Kota Surabaya.
Pemerintah pada prinsipnya tidak akan mendukung atau menyetujui kegiatan yang dipandang berisiko tinggi terjadi pelanggaran protokol. Namun, kegiatan yang mampu memberi jaminan pengetatan protokol diizinkan, tetapi harus diawasi dan siap dihentikan jika dipandang ada pelanggaran.
Misalnya, uji coba perayaan ekaristi atau misa adaptasi normal baru di Gereja Katolik Roh Kudus Surabaya yang sudah digelar dua kali dalam bulan ini. Di sini, protokol kesehatan coba diterapkan dengan amat ketat. Misalnya bangunan yang berkapasitas 800 orang, hanya 100 yang boleh hadir untuk menjamin jaga jarak antarumat bisa minimal 2 meter.
Segala aktivitas umat, dari mulai tiba di kompleks gereja, mengikuti misa, hingga bubar, tidak ada yang saling bersentuhan. Umat langsung diminta membubarkan diri dan segera meninggalkan gereja agar tidak terjadi kerumunan.
Seluruh petugas yang ikut mengawal jalannya perayaan ekaristi wajib menjalani tes cepat dengan hasil tidak reaktif. Pihak gereja pun aktif berkoordinasi dengan satgas kecamatan terkait penyelengaran uji coba misa adaptasi kebiasaan baru.