Pembatasan aktivitas akibat pandemi Covid-19 membuat para guru honorer semakin kesusahan. Biaya operasional pribadi bertambah karena kebutuhan membeli pulsa atau paket internet guna pembelajaran jarak jauh.
Oleh
AMBROSIUS HARTO, AGNES SWETTA PANDIA
·4 menit baca
Wabah Covid-19 membuyarkan rencana hidup Siti Aminah (25). Guru TK ini hendak menjadi buruh migran ke mancanegara karena penghasilan Rp 600.000 per bulan sebagai tenaga honorer amat tidak memadai.
Rencana untuk menikah sudah tertunda karena tabungan belum cukup. Pada awalnya, Aminah berencana ke mancanegara dan berharap pekerjaan di negeri orang dapat memperbaiki perekonomian keluarga. Namun, pagebluk membatalkan rencananya keluar dari tempat mengajar.
Saya mencoba bertahan dengan honor. Situasi sekarang, pekerjaan baru amat sulit. (Aminah)
”Saya mencoba bertahan dengan honor. Situasi sekarang, pekerjaan baru amat sulit,” kata Aminah, di Surabaya, Jumat (20/11/2020).
Wabah sejak pertengahan Maret ini telah menjangkiti lebih dari 58.300 warga Jatim. Lebih dari 4.100 orang di antaranya meninggal dengan status positif terjangkit Covid-19. Sampai sekarang belum ada tanda pagebluk mereda, apalagi teratasi.
Padahal, wabah berkonsekuensi mengubah aktivitas sosial masyarakat, termasuk menghentikan pengajaran. Proses belajar-mengajar dipindahkan ke ruang maya atau ruang publik terbatas, seperti kecamatan, kelurahan, atau balai RW.
Pembatasan aktivitas, termasuk pendidikan, menyulitkan kalangan guru honorer, termasuk Aminah. Biaya operasional pribadi bertambah karena kebutuhan membeli pulsa atau paket internet guna pembelajaran jarak jauh. Tidak ada solusi kecuali menguras energi dengan mencari penghasilan tambahan dari berjualan makanan dan minuman.
”Sekarang terasa lebih capek karena menyiapkan pembelajaran, juga jualan camilan. Kalau tidak ada sambilan, bagaimana honor yang cuma Rp 600.000 bisa cukup untuk hidup,” kata Aminah.
Curahan hati Aminah mungkin mewakili kalangan guru honorer di Surabaya, ibu kota Jatim. Memang tak semua pengajar berstatus bukan aparatur sipil negara atau guru tidak tetap menerima penghasilan amat minim. Namun, tak bisa dimungkiri, ternyata masih ada, walau datanya belum diketahui, kalangan guru honorer berpenghasilan tak memadai seperti Aminah.
Ketua Himpaudi Surabaya Agus Setiyono pernah mengatakan, stimulus tambahan dari pemerintah terhadap guru PAUD belum adil. Guru PAUD di kelompok bermain atau taman kanak-kanak menerima Rp 250.000. Nilai ini di bawah pendamping jasa pelayanan Pos PAUD Terpadu di balai RW yang mendapatkan Rp 400.000.
”Perhatian terhadap guru honorer swasta masih memprihatinkan,” kata Agus.
Beri insentif
Menurut data Dinas Pendidikan Kota Surabaya, ada 5.797 guru berstatus PNS dan 17.577 guru non-PNS untuk semua jenjang pendidikan atau mulai PAUD sampai SLTA di Surabaya.
”Mulai tahun ini, kami memberikan insentif untuk guru non-PNS,” kata Kepala Dinas Pendidikan Kota Surabaya Supomo.
Insentif juga akan diberikan kepada guru mengaji atau pengajar di lembaga pendidikan agama semacam taman pendidikan Al Quran dan madrasah.
Namun, besaran insentif ternyata tidak sama. Untuk guru honorer SD-SMP, insentif yang diberikan senilai Rp 1 juta per bulan dan mencakup 2.700 orang. Untuk guru PAUD menerima insentif Rp 400.000 per bulan. Insentif kepada guru PAUD diberikan melalui sekolah yang mengedepankan nilai-nilai sosial sehingga tak mampu memberikan upah yang memadai bagi pengajar. Sekolah ini pembelajarannya tak menarik biaya kepada peserta didik.
Untuk PAUD yang menetapkan pembayaran kepada peserta didik, insentif guru honorer Rp 250.000 per bulan. ”Untuk keseimbangan,” kata Supomo.
Dari sisi nilai memang ada perbedaan, tetapi dari sudut pandang lainnya tidak ada. Guru honorer di sekolah yang menetapkan pembayaran bagi peserta didik tentu menerima gaji atau upah. Di sekolah yang mengedepankan sosial, lembaga terkadang memberikan honorer amat minim.
Padahal, dari sisi ketenagakerjaan, upah minimum buruh formal di Surabaya tertinggi se-Jatim yang pada tahun ini senilai Rp 4,2 juta. Guru honorer seperti Aminah maksimal mendapat gaji dan insentif Rp 800.000 atau seperlima dari upah minimum buruh formal Surabaya.
”Persoalan kesejahteraan guru memang klasik, tetapi benar-benar sulit diurai dan diatasi,” kata Ketua Dewan Pendidikan Jati Akhmad Muzakki.
Intervensi pemerintah melalui bantuan operasional sekolah atau bantuan operasional pendidikan untuk meningkatkan penghasilan, terutama guru honorer, belum tuntas. Guru honorer seperti kalangan masyarakat yang bekerja di sektor informal dengan pendapatan harian yang tak tentu berisiko terus menanggung kerugian.
Untuk itu, perlu pendataan yang andal mencakup seluruh guru, khususnya pendidik honorer. Tetapkan standar minimum penghasilan bagi guru honorer yang idealnya cukup untuk memenuhi kebutuhan. Intervensi berupa insentif masih perlu diteruskan.