DPR Usul BKKBN Jadi Komando Percepatan Pencegahan Tengkes
Tengkes merupakan hilir dari sejumlah persoalan hulu, seperti pendidikan, ekonomi, dan sanitasi, yang bukan ranah Kementerian Kesehatan.
Oleh
JOHANES GALUH BIMANTARA
·4 menit baca
LABUAN BAJO, KOMPAS — Dalam percepatan pencegahan tengkes atau stunting pada anak, bidang kesehatan hanyalah 30 persen dari keseluruhan urusan. Karena itu, Komisi IX DPR mengusulkan kepada pemerintah agar Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional mengomandoi program strategis percepatan pencegahan tengkes, bukan Kementerian Kesehatan.
Wakil Ketua Komisi IX DPR Emanuel Melkiades Laka Lena mengatakan, usulan itu merupakan keputusan politik Komisi IX yang sudah disampaikan ke Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Muhadjir Effendy. Ia mendengar keputusan soal koordinator percepatan pencegahan tengkes nasional sedang disiapkan keputusan presiden (keppres).
Seperti diberitakan, strategi nasional percepatan pencegahan tengkes melibatkan 23 kementerian/lembaga. ”Kemenkes tentu salah satu di dalamnya, tetapi yang sehari-hari urus ibu dan anak, kan, BKKBN,” ujar Melki di sela pembukaan Impact Stunting Center of Excellence (ISCE) yang diinisiasi 1000 Days Fund dan didukung PT Roche Indonesia, Senin (23/11/2020), di Labuan Bajo, Kabupaten Manggarai Barat, Nusa Tenggara Timur.
Politisi Golkar tersebut menyebutkan, orang-orang cenderung menunjuk Kemenkes terkait masih tingginya angka tengkes. Padahal, sekitar 70 persen urusan pencegahan tengkes merupakan pekerjaan bidang nonkesehatan.
Tengkes merupakan hilir dari sejumlah persoalan hulu, seperti pendidikan, ekonomi, dan sanitasi yang bukan ranah Kemenkes. ”Namun, saat orang melihat sudah terjadi tengkes dengan berbagai dampaknya itu, kan, tergolong sakit. Nah, itu orang kejar Kemenkes,” ucap Melki.
Terkait leading sector percepatan pencegahan tengkes, Melki mengatakan hingga saat ini belum jelas keputusannya. Padahal, anggaran pencegahan tengkes yang ada di masing-masing kementerian/lembaga mesti dikoordinasikan agar target tercapai.
Tengkes merupakan masalah gagal tumbuh pada anak berusia di bawah 5 tahun karena kekurangan gizi pada seribu hari pertama kehidupan. Kondisi ini memengaruhi pertumbuhan dan perkembangan otak. Anak tengkes juga punya risiko lebih tinggi menderita penyakit kronis saat dewasa.
Hasil Survei Status Gizi Balita Indonesia (SSGBI), angka prevalensi tengkes di Indonesia pada 2019 sebesar 27,7 persen, turun dari 30,8 persen pada 2018. Namun, menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), prevalensi di atas 20 persen masih tergolong kategori kronis.
Prevalensi Indonesia pun masih jauh lebih tinggi dibandingkan dengan Vietnam (19,4 persen) dan Malaysia (17,2 persen). Pemerintah menargetkan angka prevalensi tengkes pada 2024 menjadi 14 persen, atau turun 13 poin dari prevalensi 2019 (Kompas, 14/11/2020).
Doddy Izwardy, Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan Upaya Kesehatan Masyarakat Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan sepakat dengan usulan DPR agar BKKBN menjadi koordinator percepatan pencegahan tengkes. Sebab, mengintervensi hanya pada seribu hari pertama kehidupan anak tidaklah cukup. Para remaja putri pun perlu mendapatkan edukasi.
Setiap hari, 200-an remaja di bawah 18 tahun menikah. ”Kalau tidak dibekali dengan edukasi gizi yang baik, mereka masuk ke pernikahan, kembali lagi ke stunting,” ujar Doddy.
Terkait target penurunan prevalensi tengkes, Doddy mengatakan, saat ini rata-rata penurunan angka tengkes 1,6 persen per tahun sehingga agar pada 2024 angkanya menjadi 14 persen, terobosan diperlukan. Perintisan ISCE di Labuan Bajo menurut dia merupakan inovasi yang bisa membantu percepatan penurunan prevalensi tengkes.
ISCE dibentuk di Puskesmas Labuan Bajo serta berfungsi sebagai tempat bagi para bidan dan tenaga kesehatan masyarakat yang sudah diseleksi untuk dilatih dan diberi alat ajar berbasis bukti sebelum mereka kembali ke fasilitas kesehatan tempat mereka bekerja. Mereka nantinya akan membagikan pengetahuan, alat, dan teknologi terkait pencegahan tengkes secara langsung kepada para warga yang menjadi sukarelawan kesehatan, antara lain kader pos pelayanan terpadu (posyandu).
Pencegahan tengkes di NTT jadi perhatian mengingat angkanya sangat tinggi dibanding angka nasional, yakni 43 persen. Itu berarti lebih dari 270.000 anak balita di sana mengalami tengkes.
Namun, Bupati Manggarai Barat Agustinus C Dula memaparkan, hasil pengukuran status gizi anak balita pada Agustus 2020 melalui aplikasi Pencatatan dan Pelaporan Gizi Berbasis Masyarakat elektronik (e-PPGBM) di kabupaten ini menunjukkan, angka tengkes pada anak balita 17,3 persen, sedangkan pada anak baduta (bawah dua tahun) 13,48 persen. Itu berdasarkan pengukuran terhadap 22.850 anak balita.
Angka prevalensi itu turun dibandingkan dengan penimbangan pada Februari terhadap 23.384 anak balita. Prevalensi tengkes terhadap anak balita 19,1 persen dan baduta 16,05 persen.
Meski demikian, Agustinus menekankan bahwa masalah belum selesai. Sebab, terdapat data tentang faktor determinan anak balita yang bermasalah gizi di sana, antara lain 317 anak tidak memiliki jaminan kesehatan, 25 anak tidak ada air bersih, 89 anak mengalami kecacingan, dan 59 anak tidak punya jamban sehat. Kondisi-kondisi ini jadi pintu masuk tengkes.
President Director Roche Indonesia Ait-Allah Mejri menuturkan, Roche merupakan perusahaan swasta yang unggul dalam inovasi, antara lain obat onkologi, penyakit autoimun, diagnostik, dan antibiotik. Artinya, bisnis Roche sangat jauh dari bidang pencegahan tengkes.
Namun, pihaknya menilai, tumbuh secara baik merupakan hak asasi setiap anak. ”Kami juga menilai, jika anak tidak tumbuh dengan baik, tidak akan ada pertumbuhan ekonomi. Sederhana,” ucap Mejri.
Karena itu, Mejri menyatakan Roche Indonesia terus berkomitmen untuk terlibat dalam pencegahan tengkes sampai ada bukti program berdampak, kemudian mereplikasinya ke tempat-tempat lain se-Indonesia.