Tersangka Pembalakan Liar 175.338 Meter Kubik Kayu dari Maluku Ditahan
Penyidik Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan menahan JT (45), tersangka pembalakan liar di Seram, Maluku, dan menyita 175.338 meter kubik kayu. Tersangka melakukan pembelian kayu tanpa dokumen resmi.
Oleh
KORNELIS KEWA AMA
·3 menit baca
MAUMERE, KOMPAS — Penyidik Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan menahan JT (45) tersangka pembalakan liar atau illegal logging di Seram dan Ambon, Maluku, serta menyita 175.338 meter kubik kayu. Kayu-kayu itu dikirim ke Maumere, Nusa Tenggara Timur, tanpa dokumen resmi. Penetapan tersangka dan penahanan dilakukan setelah dilakukan penyelidikan sampai tahap gelar perkara.
Kepala Balai Penegakan Hukum Wilayah Jawa, Bali, dan Nusa Tenggara Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Mohammad Nur di Maumere, Minggu (22/11/2020), mengatakan, penyidik KLHK melakukan penyelidikan di Seram dan Ambon, Maluku, Senin (10/11/2020) sampai dengan Rabu (18/11/2020). Penyelidikan terkait proses pembelian kayu ilegal jenis campuran, di antaranya kayu meranti, merbau, dan kabea.
JT ditangkap di Ambon saat menuju Maumere, setelah transit satu malam di Makassar. ”JT sudah dibawa dari Ambon ke Maumere. Saat ini dia sedang ditahan titip di Polres Sikka sambil menunggu proses pemberkasan berita acara pemeriksaan dan dilanjutkan dengan persidangan. JT adalah Direktur CV Astria Afira Maumere, Sikka. Ia melakukan pembelian kayu olahan di Seram dan Ambon untuk dibawa ke Maumere, tetapi tidak dilengkapi dengan dokumen resmi,” kata Nur.
Penahanan tersangka di Polres Sikka dilakukan agar tersangka tidak melarikan diri, menghilangkan barang bukti, dan tidak mengulangi perbuatan. Pekan depan, jika tidak ada hambatan, tersangka akan disidangkan di Maumere.
Kayu olahan sebanyak 175.338 meter kubik itu diduga diperoleh secara ilegal. Tersangka bekerja sama dengan sejumlah pengusaha kayu di Seram dan Ambon untuk membeli kayu-kayu itu, kemudian diangkut ke Maumere, Nusa Tenggara Timur, dengan menggunakan dokumen palsu. Dokumen itu dibuat dan ditandatangani tersangka sendiri. Temuan itu sesuai dengan hasil penelusuran dan penyelidikan serta penyidikan tim Gakkum KLHK di Seram dan Ambon.
Ia melakukan pembelian kayu olahan di Seram dan Ambon untuk dibawa ke Maumere, tetapi tidak dilengkapi dengan dokumen resmi.
Atas tindakannya itu, tersangka telah melanggar UU Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan dengan ancaman hukuman penjara paling singkat satu tahun penjara dan paling lama 5 tahun penjara, dan denda paling kurang Rp 500 juta sampai dengan Rp 2,5 miliar.
Selain kayu 175.338 meter kubik dan satu Kapal Layar Motor (KLM) Mala Walie -09 yang disita penyidik, sejumlah dokumen yang disita adalah surat keterangan sahnya hasil hutan, lima lembar fotokopi surat-surat kapal layar motor Mala Walie -09, dan tiga lembar foto kopi surat persetujuan berlayar dari Pelabuhan Wuring, Maumere, ke Gudang UD Indah di Jalan Bengkunis, Kelurahan Wolomarang Maumere, Sikka, NTT.
Koordinator Masyarakat Adat Nusantara Wilayah Bali Nusa Tenggara Aleta Baun mengatakan, penegakan hukum terkait dengan pembalakan liar sebaiknya tidak hanya menyangkut kayu-kayu yang masuk dari luar ke NTT, tetapi juga kayu-kayu yang ditebang di dalam wilayah NTT. Sejumlah kawasan hutan lindung, hutan cagar alam, dan hutan wisata ditebang oleh oknum masyarakat yang tidak bertanggung jawab.
”Setiap bulan ada ratusan, bahkan ribuan pohon ditebang di hutan-hutan wilayah NTT, tetapi tidak ada aparat penegak hukum KLHK menindak para oknum masyarakat itu. Padahal, dari raungan sensor di hutan-hutan bisa terdeteksi kegiatan penebangan ilegal tersebut,” kata Aleta.
Ia mengatakan, hutan lindung kawasan Mutis-Timau, misalnya, terus dirusak masyarakat. Mereka menebang kayu-kayu di dalam kawasan itu, kemudian dijual di Kupang sebagai material bangunan. Kegiatan ini terus berlangsung setiap tahun, tetapi tidak ada tindakan.
Ketua Aliansi Masyarakat Adat Nusantara Sumba Umbu Manurara mengatakan, pelaku penebangan hutan di Taman Nasional Laywai Wanggameti Sumba Timur dan Taman Nasional Manupeu Tanah Daru Sumba Tengah tidak pernah diproses hukum. Demikian juga pelaku pembakaran hutan di dalam kawasan taman nasional itu.
Petugas selalu memberi alasan sulit mendeteksi para pelaku pembalakan dan pembakaran. ”Soal pembakaran hutan, biasanya selalu ada alasan untuk menghasilkan pakan ternak baru dan membuka lahan garapan baru,” kata Manurara.