Hidup Bersama Alam di Bawah Kaki Robong Holo
Para penyintas banjir bandang di Sentani tahun 2019 lalu masih hidup di tengah ancaman bencana hidrometeorologi ketika cuaca ekstrem kembali terjadi. Upaya mitigasi bencana kini tengah dirintis.
Terjangan air dari Robhong Holo, nama lokal bagi Cagar Alam Cycloop, menewaskan 105 orang yang bermukim di sembilan kelurahan di Sentani, Kabupaten Jayapura, Papua, pada Sabtu, 16 Maret 2019, malam. Kini, para penyintas musibah itu mencoba menjalani hidup dengan menyelaraskan diri di daerah rawan bencana tersebut.
Kompleks Perumahan BTN Nauli, Doyo, Distrik Waibu, termasuk salah satu daerah yang terdampak banjir bandang paling parah tahun lalu. Menyambangi kembali BTN Nauli pada Jumat (14/11/2020) lalu, kompleks itu tampak sepi. Di BTN Nauli kini hanya terdapat sekitar 30 keluarga yang bermukim di sana.
Di BTN Nauli kini hanya terdapat sekitar 30 keluarga yang bermukim. Anak-anak bermain dengan riang gembira di halaman rumah sekitar pukul 11.00 WIT. Masih terlihat bongkahan batu-batu berukuran besar di dalam kompleks BTN Nauli. Puluhan rumah yang rusak berat telah ditutupi rumput ilalang yang tinggi.
BTN Nauli terletak di bawah kaki Cagar Alam Cycloop. Berjalan kaki dari BTN Nauli ke Cycloop hanya sekitar 1.000 meter. Bongkahan batu yang begitu besar dan kondisi rumah yang rusak menjadi saksi bisu betapa dahsyat banjir bandang yang menelan puluhan korban jiwa di BTN Nauli.
Berdasarkan data Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Papua, total kerugian akibat banjir bandang di Kabupaten Jayapura mencapai Rp 506 miliar. Jumlah korban meninggal 105 orang. Banjir juga mengakibatkan kerusakan pada 7 jembatan, jalan sepanjang 21 kilometer, 21 sekolah, 115 rumah toko, dan 5 tempat ibadah. Selain itu, 291 rumah rusak berat, 209 rumah rusak sedang, dan 1.288 rumah rusak ringan.
Orpa Arim, salah seorang warga yang bermukim di BTN Nauli, saat ditemui siang itu mengisahkan, ia bersama enam anggota keluarga berada di rumah saat terjadi musibah tersebut sekitar pukul 21.00 WIT. Orpa menyebutkan, ketinggian air kala itu mencapai sekitar 5 meter.
”Air menerjang puluhan rumah dan tiang listrik. Saat itu, kami hanya memanjatkan doa, pasrah, karena yakin pasti meninggal karena air seperti tsunami di laut. Ternyata keluarga kami mendapat mukjizat. Air hanya memasuki halaman rumah saja,” ungkap perempuan berusia 22 tahun ini.
Orpa mengatakan, keluarganya kembali bermukim di BTN Nauli karena tidak lagi memiliki biaya untuk mengontrak rumah kos. Sebelumnya, pascabanjir bandang, keluarga Orpa tinggal di rumah kos selama 10 bulan terakhir karena merasa trauma berat.
”Kakak saya yang memiliki rumah ini hanya seorang sopir truk. Kami terpaksa kembali ke BTN Nauli. Saat ini, apabila terjadi hujan deras selama beberapa jam, kami telah bersiaga untuk menyelamatkan diri ke tempat yang aman,” tutur Orpa.
Baca juga : Rasa Cemas di Kaki Hutan Air Robong Holo
Selain di BTN Nauli, dari hasil pantauan Kompas, masih terdapat warga yang bermukim di Kemiri, Distrik Sentani Kota, kembali ke rumahnya. Padahal, Kemiri juga salah satu lokasi yang terdampak bencana paling parah dalam musibah banjir bandang 2019 karena dekat dengan bantaran sungai.
Selain itu, masih ada ratusan penyintas bencana banjir bandang yang memilih belum kembali ke lokasi rumah lamanya. Mereka masih mengungsi di sanggar kegiatan belajar (SKB) milik pemda setempat. Ada juga penyintas yang telah pindah dan bermukim di Perumahan Cinta Kasih, Kelurahan Hinekombe.
Bety Tukayo (43), salah seorang pengungsi di gedung SKB, mengatakan, total 32 keluarga atau sekitar 100 orang masih mengungsi di sana selama 20 bulan terakhir. Ia menambahkan, para pengungsi tidak lagi mendapatkan bantuan bahan pokok sejak Januari 2020.
Para pengungsi menempati tiga lokasi bangunan di SKB. Setiap keluarga mendapatkan satu ruangan untuk beristirahat dan memasak. Satu ruangan yang berukuran sekitar 2 meter x 8 meter ini ditempati empat hingga enam orang.
”Sejak awal tahun ini, kami harus berupaya sendiri membeli makanan walaupun rata-rata para pengungsi tidak memiliki pekerjaan tetap. Kami belum dapat pindah ke Perumahan Cinta Kasih karena pembangunannya belum tuntas,” ucap Bety.
Sementara itu, Dorkas Monim (20), penyintas yang telah bermukim di Perumahan Cinta Kasih, menuturkan, keluarganya sangat bersyukur bisa mendapat tempat tinggal baru yang aman dari ancaman longsor ataupun banjir bandang.
Perumahan Cinta Kasih adalah wujud kerja sama sinergi antara Yayasan Buddha Tzu Chi Indonesia bersama Badan Nasional Penanggulangan Bencana dan Pemerintah Kabupaten Jayapura. Ketiga pihak membangun 300 rumah tipe 36 di area seluas 7 hektar. Rumah ini khusus bagi korban banjir yang rumahnya rusak berat.
”Banyak kerabat kami yang meninggal dalam musibah banjir bandang. Kini, kami tidak bisa tidur dengan lelap ketika turun hujan deras selama berjam-jam. Sebab, kami masih mengalami rasa trauma yang mendalam dan ketakutan walaupun sudah pindah ke tempat yang aman,” kata Dorkas.
Rutin mitigasi
Marshal Suebu, Ketua Club Pencinta Alam (CPA) Hirosi, mengatakan, pihaknya secara rutin membantu Pemkab Jayapura dan Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam Papua dalam pelaksanaan sejumlah kegiatan mitigasi banjir bandang selama setahun terakhir.
Kegiatan mitigasi ini meliputi sosialiasi kepada warga di daerah rawan tentang tanda-tanda awal akan terjadi banjir bandang, seperti longsoran dan warna air berwarna keruh, serta cara menentukan jalur evakuasi warga ke tempat yang aman.
Kegiatan mitigasi lain adalah membongkar bendungan alami yang menampung air di kawasan Cagar Alam Cycloop pada ketinggian 600-700 meter di atas permukaan laut. Terbentuknya bendungan alami dipicu longsoran tanah. Tujuannya, untuk mencegah potensi kiriman air ke sungai dalam jumlah banyak sehingga terjadi banjir bandang.
”Dalam kegiatan mitigasi bencana, CPA Hirosi melibatkan 40 anggota. Rata-rata anggota kami adalah warga setempat karena memahami kondisi geografis di daerah tersebut. Kami telah melaksanakan kegiatan membongkar bendungan alami di Cycloop sebanyak tiga kali dalam tahun ini,” papar Marshal.
Baca juga : Rehabilitasi Cagar Alam Cycloop Harus Dipercepat
Kepala Bidang Pencegahan dan Kesiapsiagaan BPBD Kabupaten Jayapura Lenny Pasulu mengatakan, kegiatan mitigasi bencana di tengah cuaca ekstrem dan fenomena La Nina sangat penting untuk mencegah ratusan warga meninggal dalam banjir bandang tahun 2019 lalu tidak terulang lagi.
Ia menuturkan, dari hasil perhitungan Indeks Ancaman Bencana oleh BPBD Jayapura terungkap bahwa Kabupaten Jayapura memiliki ancaman bencana banjir, longsor, tsunami, gempa, dan cuaca ekstrem pada tingkat tinggi. Indeks ini disusun berdasarkan dua komponen utama, yaitu kemungkinan terjadi suatu ancaman dan besaran dampak yang pernah tercatat untuk bencana yang terjadi tersebut. Skala indeks ancaman dibagi dalam tiga kategori, yaitu rendah (0,0-0,3), sedang (> 0,3-0,6), dan tinggi (> 0,6-1,0).
”Khusus untuk bencana banjir, 19 distrik atau kecamatan di Kabupaten Jayapura memiliki indeks ancaman pada tingkat tinggi. Hal ini menunjukkan, banjir di semua distrik pada cuaca ekstrem dan La Nina rawan terjadi,” kata Lenny.
Kepala Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (BBKSDA) Papua Edward Sembiring memaparkan, terdapat lahan terbuka di kawasan Cagar Alam Cycloop mencapai 2.610 hektar karena aktivitas perladangan dan pembangunan rumah. Karena itu, lanjut Edward, pihaknya bersama Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Papua, PLN, dan organisasi CPA Hirosi telah melakukan kegiatan pemulihan ekosistem di area lahan terbuka.
”Dalam kegiatan pemulihan ekosistem, kami telah menanam lebih dari 60.000 pohon di kawasan cagar alam seluas 110 hektar. Pohon yang ditanam harus berasal dari kawasan tersebut, seperti merbau, bintangur pantai, cemara hutan, lolang hutan, matoa, dan sengon laut,” papar Edward.
Upaya hidup aman di tengah ancaman bencana masih baru dirintis. Namun, asa agar kisah-kisah tragis akibat hantaman longsor dan banjir tidak terus berulang sudah mulai terpupuk. Diharapkan mitigasi bencana dapat terus berjalan dan membentuk masyarakat tanggap bencana yang mampu hidup selaras dengan alam.