Hajatan "Eyang" Merapi, Antara Kearifan Lokal dan Adaptasi Mitigasi
Mengungsi bukan hal sederhana dalam keyakinan warga Kecamatan Selo, Boyolali, Jawa Tengah. Memaknai Gunung Merapi sebagai alam yang diagungkan, mereka bergumul dalam kelindan kerarifan lokal dan ilmu pengetahuan.
Oleh
MELATI MEWANGI
·6 menit baca
Pergi mengungsi bukan hal sederhana dalam keyakinan budaya Jawa warga Kecamatan Selo di Kabupaten Boyolali, Jawa Tengah. Memaknai Gunung Merapi sebagai bagian alam yang diagungkan, mereka bergumul dalam kelindan kearifan lokal dan ilmu pengetahuan modern.
Marwoto, kepala Desa Klakah, Kecamatan Selo, Boyolali, mulai cemas saat masih banyak warga di Dusun Sumber, satu dari empat dusun zona bahaya erupsi Gunung Merapi enggan mengungsi meski sosialisasi sudah disampaikan. Padahal, status gunung api tersebut sudah dinaikkan dari Waspada (Level II) menjadi Siaga (Level III) sejak Kamis (5/11/2020). Selain Sumber, dusun lain yang masuk zona rawan bahaya yakni Klakah Nduwur, Bangunsari, dan Bakalan.
Di tengah kesibukan Marwoto menyiapkan tempat pengungsian di Balai Desa Klakah, dia pun berinisiatif menemui Suladi (96), sesepuh warga Dusun Sumber yang hanya berjarak sekitar 3,5 kilometer (km) dari puncak Merapi tersebut. Di dusun itu, ada 59 warga kelompok rentan yang mesti diprioritaskan mengungsi lebih dini.
“Saya minta tolong ke beliau supaya menyampaikan kepada warga agar turun ke pengungsian di balai desa. Tempat itu adalah rumah warga sendiri, jadi mereka tidak perlu ragu,” ucap Marwoto, Sabtu (14/11/2020).
Dia pun menjemput Suladi dengan mobil. Suladi yang mengenakan kemeja batik duduk di samping Marwoto. Akhirnya, mereka berkeliling dari rumah ke rumah. Suladi pun berseru pada warga, “Ayo padha mudhun, sesarengan ning omahe dhewe (Mari mengungsi, berangkat ke rumah bersama).”
Melihat Suladi yang meminta, satu per satu warga pun segera berganti pakaian, membawa tas berisi dokumen penting, lalu masuk ke dalam kendaraan petugas. Pendekatan membujuk warga melalui sesepuh dilakukan Marwoto, karena mereka sangat menghormati perkataan para sesepuh.
Sosok sesepuh dipercaya memiliki ikatan spiritual yang kuat dengan Gunung Merapi. Hal itulah yang diyakini Parman (55), warga Dusun Sumber, sehingga bersedia mengungsi setelah diminta Suladi. Hubungan kedekatan tersebut yang membuat warga sangat menghormati dan mematuhi saran dari para sesepuh.
Selain itu, menurut Marwoto, Suladi adalah sesepuh masyarakat yang memiliki kesiapsiagaan tinggi dalam menyikapi ancaman erupsi Merapi. Ketika erupsi tahun 2010, Marwoto ingat betul, kala itu, Suladi sudah mengumpulkan keluarganya untuk bersiap mengungsi sebelum peristiwa terjadi.
Dua hari sebelumnya, keluarga Suladi pun tidur di dalam mobil. Hal ini untuk mengantisipasi jika sewaktu-waktu erupsi terjadi, keluarga mereka bisa segera berangkat mengungsi.
Beliau (Suladi) berpegang pada kearifan lokal, tapi juga tidak mengesampingkan ilmu pengetahuan dan imbauan pemerintah. (Marwoto)
“Kewaspadaan beliau ini terbentuk dari akumulasi pengalaman erupsi yang pernah dialami. Beliau berpegang pada kearifan lokal, tapi juga tidak mengesampingkan ilmu pengetahuan dan imbauan pemerintah,” ucapnya.
Ditemui di rumahnya, alih-alih erupsi 2010, Suladi justru mengenang kedahsyatan letusan Merapi tahun 1954. Erupsi yang terjadi pada siang hari itu membuat suasana kampung menjadi gelap dalam sekejap. Bahkan, sorot cahaya senter tak dapat menembus kegelapan di depan mata.
Saat itu, dia berjalan menggunakan penerangan api obor melewati jalan setapak, menjauhi rumah menuju ke arah Magelang dan Gunung Merbabu. “Zaman dulu, tidak ada imbauan untuk mengungsi jauh-jauh hari seperti sekarang. Setelah kejadian, mereka baru panik dan ketakutan. Jangan sampai terulang kembali yang dulu, sekarang harus manut dan ndherek pemerintah,” tutur Suladi dalam bahasa Jawa halus.
Tak jauh dari rumah Suladi, jalan selebar lebih kurang 2,5 meter pernah menjadi medan lahar erupsi Merapi tahun 1954. Letaknya sekitar 2,5 kilometer dari puncak Merapi. Namun, tidak ada monumen khusus yang menunjukkan peristiwa dahsyat itu pernah terjadi. Daerah itu kini hanya digunakan sebagai lahan pertanian dan area pemakaman. Beberapa makam tanpa nama juga tersebar di antara lahan pertanian.
Belakangan, suara gemuruh dari Gunung Merapi, terdengar intens dan keras dari permukiman warga. Sebagian warga meyakini "Simbah Buyut" atau "Eyang Merapi", sapaan spiritualitas mereka kepada gunung itu sedang punya hajatan sehingga tak boleh diganggu. Yang dilakukan masyarakat adalah bersiap diri dan ikut mendoakan supaya semuanya berlangsung lancar.
Mengenai kearifan lokal ini, Sitras Anjilin, budayawan dari Padepokan Tjipto Boedojo di lereng Merapi, Dusun Tutup Ngisor, Kabupaten Magelang mengatakan, Gunung Merapi telah dianggap sebagai bagian dari hidup warga sekitarnya. Kedekatan itu mewujud dalam sebutan spiritual dengan menyebut ”penguasa” Gunung Merapi sebagai "Simbah" atau "Eyang". Gunung Merapi dianggap sebagai kakek atau nenek moyang, yang telah menghidupi mereka lintas generasi.
Sitras menambahkan, banyak orang menyikapi erupsi sebagai bencana, tetapi hal itu tak berlaku dalam kamus kehidupan warga lereng Merapi. Di satu sisi, mereka sadar Merapi bakal terus meletus sewaktu-waktu dan mengancam jiwa, tetapi di sisi lain, Merapi akan terus dihormati dan dijaga.
Merapi tak pernah murka. Pemuliaan itu mengakar kuat, karena Merapi memberi penghidupan melalui kesuburan tanah dan sumber air yang menjadi pokok kebutuhan warga sebagai masyarakat agraris.
Meski demikian, secara turun-temurun, warga akhirnya punya kebiasaan titen atau mencermati tanda-tanda alam untuk memprediksi kapan "Eyang Merapi" punya hajatan. Relasi keseharian itu melatih mereka kian peka merasakan fenomena alam sekitar. Antara lain, tampak binatang yang menjauhi puncak gunung, ternak menjadi gelisah, atau getaran gempa yang kian kencang.
Walakin, tanda-tanda itu semakin lama tidak bisa sepenuhnya dijadikan patokan. Menurut Suladi, erupsi yang terjadi tahun 2006 dan 2010 terjadi begitu cepat dan mendadak. “Mboten saged niteni (tidak bisa jadi patokan) seperti zaman dulu,” ucapnya lirih.
Peralatan canggih dan kemajuan pengetahuan dinilai Suladi bisa menyelamatkan nyawa masyarakat dari bencana.
Pengalaman itu membuat Suladi kian waspada dan menyadarkan pentingnya mengungsi jauh hari sebelum erupsi. Sebab, tak ada yang bisa memastikan waktu bencana datang. Peralatan canggih dan kemajuan pengetahuan dinilainya bisa menyelamatkan nyawa masyarakat dari bencana. Ia meminta agar masyarakat tidak ngeyel jika diminta mengungsi.
Memadukan kearifan lokal dan ilmu pengetahuan juga menjadi tantangan bagi Kepala Desa Jrakah, Kecamatan Selo, Tumar. Kepercayaan masyarakat di desa tersebut masih sangat kuat. Mereka mengingat perkataan para sesepuh bahwa tidak baik mengungsi ke arah barat dan selatan dusun. Beberapa bahkan meyakini "Eyang Merapi" masih baik-baik saja, sebab belum ada tanda-tanda gelap.
Penolakan untuk mengungsi sempat terjadi. Pada Senin (16/11), misalnya, Sinam (65), warga Dusun Sepi, Desa Jrakah, masih beraktivitas seperti biasa di halaman rumah. Berjarak sekitar 3,5 kilometer dari Gunung Merapi, dirinya tetap tenang dan belum mengungsi ke tempat penampungan sementara.
“Ngungsi menawi Simbah Buyut sampun wekdal peteng, sakniki taksih aman (pergi mengungsi jika sudah ada tanda-tanda gelap, kalau sekarang masih aman),” kata dia sambil menatap Gunung Merapi yang terlihat dari samping rumahnya.
Sinam mengingat kepercayaan dari para sesepuh bahwa ora elok (tidak baik) jika mengungsi ke arah beriringan dengan Gunung Merapi. Mereka meyakini jika akan mengungsi sebaiknya ke arah timur atau utara (Gunung Merbabu).
Tempat pengungsian sementara di desa ini terletak di sisi barat dusun tersebut. Tumar pun berupaya membujuk warga lewat pemaparan tentang aktivitas Gunung Merapi dari Balai Penyeldikan dan Pengembangan Teknologi Kebencanaan Geologi (BPPTKG).
“Saya katakan Merapi kondisinya genting. Kalau tidak segera mengungsi, kami khawatir pengalaman mengungsi yang terpisah-pisah pada erupsi sebelumnya (tahun 2010) akan terulang kembali,” ucap dia.
Mitos tidak baik mengungsi ke arah barat dan selatan pernah didengar Parjo (59), warga Dusun Sepi, Desa Jrakah. Menurut dia, mitos tersebut disampaikan turun-temurun. Ia menerima kearifan lokal itu, tapi juga tidak mau mengesampingkan data ilmiah dan arahan dari ahli di bidangnya.
Sejak Rabu kemarin, Parjo pun mengungsi di balai desa bersama 82 warga lain. “Kami mengungsi ke arah barat dan sedikit ke utara. Mboten menapa, sedaya sampun diitung lan diprediksi petugas. Ndherek kemawon, mugi-mugi aman (Tidak apa-apa. Semua risiko sudah dikalkulasi petugas. Kami ikut saja, semoga aman,” ujar dia.
Kearifan lokal yang mengakar kuat di antara warga lereng Merapi turut mempengaruhi mereka dalam menentukan pilihan untuk mengungsi. Memadukan kearifan lokal dan ilmu pengetahuan bisa memberikan pandangan beragam. Sebab, kesiapsiagaan menjadi adaptasi mitigasi terpenting demi keselamatan banyak nyawa. (GRE)