Hingga November 2020, lebih dari 322 jiwa melayang karena bencana alam yang didominasi bencana hidrometeorologis. Anomali cuaca La Nina mendongkrak risiko bencana hingga awal 2021.
JAKARTA, KOMPAS — Fenomena La Nina nyata dampaknya pada tingginya intensitas hujan berujung banjir, longsor, puting beliung, dan banjir bandang yang memakan korban serta menyebabkan pengungsian di sejumlah daerah. Di tengah musim hujan yang belum mencapai puncaknya, risiko bencana hidrometeorologis meningkat pada akhir 2020, seiring dengan ketidaksiapan daerah.
Di wilayah DKI Jakarta, banjir rob dua kali merendam sebagian Pulau Pari, Kepulauan Seribu, DKI Jakarta. Hingga kemarin, genangan masih tinggi. ”Sejak saya kecil, baru pada 2020 banjir rob naik sampai permukiman warga. Paling parah terjadi Juni, airnya masuk ke tengah kampung dengan ketinggian 50-60 sentimeter,” kata Ketua RT 001 RW 004, Kelurahan Pulau Pari, Edi Mulyono, Kamis (19/11/2020).
Pulau seluas 41,32 hektar itu dihuni 395 keluarga. Pada rob kali ini, lebih dari separuh permukiman terendam. Hasil pertanian, terutama palawija dan sayur-sayuran, pun rusak.
Empat hari terakhir, banjir rob juga merendam permukiman di empat desa di Muara Gembong, Kabupaten Bekasi, Jawa Barat, yakni Desa Pantai Bahagia, Pantai Mekar, Pantai Sederhana, dan Harapan Jaya. Ketinggian air 30-50 cm merendam 450 rumah.
Di Cilacap, Jawa Tengah, dampak banjir sejak Selasa lalu meluas dan menewaskan dua orang. Sebanyak 45 desa di 15 kecamatan, setara dengan 19.188 keluarga atau 48.528 orang, terdampak dengan 1.323 keluarga atau 3.811 orang mengungsi.
Bencana terkait curah hujan dan perubahan iklim ini berbarengan dengan tanah longsor dan banjir bandang yang di antaranya terjadi di Banyumas, Jawa Tengah, dan Bahorok, Kabupaten Langkat, Sumatera Utara, Rabu lalu.
Di daerah lain, bencana hidrometeorologis menerjang awal tahun hingga Oktober lalu. Data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), sejak Januari ada lebih dari 2.530 kejadian bencana, dengan 900-an di antaranya banjir, lalu puting beliung (748 kejadian), dan longsor (482). Setidaknya 322 orang tewas, 500 orang luka-luka, dan 26 orang hilang.
Dari sebaran lokasi, terbanyak terjadi di Jawa Barat (505 kejadian), Jawa Tengah (449), Jawa Timur (359), Aceh (234), dan Sulawesi Selatan (112).
Hujan lebat berjam-jam di wilayah dengan topografi lereng ataupun badan sungai dengan daya dukung lingkungan yang terganggu di hulu dan hilir membuat bencana datang silih berganti. Pola ini menjadi ciri khas umum aneka bencana pada musim hujan sejak lama, yang kadang terjadi berulang.
Peta risiko
Menurut Kepala Pusat Data, Informasi, dan Komunikasi Kebencanaan BNPB Raditya Jati, sejak 2012 telah ada peta kajian risiko berbasis ancaman bencana secara nasional untuk melihat dan menganalisis daerah mana saja yang berisiko bencana kecil, sedang, dan tinggi. Semua BPBD di tingkat provinsi juga memiliki kajian dan peta risiko bencana ini.
”Kabupaten dan kota memang belum semua memiliki peta risiko. Dari peta risiko, turunannya menjadi rencana penanggulangan bencana. Sejak 2020, Kementerian Dalam Negeri juga mendorong pemda menerapkan standar pelayanan minimal untuk kebencanaan,” katanya.
Kemarin, pascabanjir bandang di Sungai Landak, Bahorok, Gubernur Sumatera Utara mengeluarkan surat edaran kepada pemerintah kabupaten/kota untuk memprioritaskan anggaran bencana, menyiagakan personel, peralatan, dan sosialisasi. ”Hidrometeorologis penyebab utama bencana di Sumut,” kata Sekretaris Daerah Pemprov Sumut Sabrina.
Tahun ini terjadi 691 bencana di Sumut, dengan 689 di antaranya merupakan bencana hidrometeorologis. Dua lainnya merupakan letusan Gunung Sinabung dan pandemi Covid-19.
Bencana sesungguhnya bisa diantisipasi jika menganalisis situasi, di antaranya berdasarkan riwayat. Lokasi Sungai Landak yang diterjang banjir bandang Rabu dini hari lalu itu dekat dengan kawasan wisata Bukit Lawang yang diterjang banjir bandang pada 2003 dan menewaskan 200 orang.
Beberapa bulan lalu, kata Raditya, BNPB telah meminta BPBD provinsi, kabupaten, dan kota meningkatkan kewaspadaan pada bahaya hidrometeorologis. Setiap kepala daerah juga harus selalu mengikuti informasi dan prediksi cuaca dari Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) untuk mencegah dampak fatal curah hujan tinggi.
Analisis BMKG, pengaruh kuat La Nina selama November perlu diwaspadai. Peningkatan intensitas hujan hingga 25 persen dari rata-rata. Untuk Desember, sesuai dengan peta prakiraan yang disusun BMKG, Kementerian PUPR, dan Badan Informasi Geospasial, sejumlah daerah diintai banjir.
Di Papua, Kepala BPBD Kabupaten Jayapura Jonson Nainggolan mengatakan, Bupati Jayapura Matius Awoitauw telah mengeluarkan surat edaran pada 27 Oktober 2020 untuk mewaspadai cuaca ekstrem November hingga Maret 2021.
Masyarakat dilarang membuka kebun dan tinggal di lereng gunung terjal karena rawan longsor, menyiapkan penghambat banjir, mengelola tata air dari hulu ke hilir, serta pembentukan tim tanggap bencana tingkat distrik dan kampung. Maret 2019, banjir bandang menghantam Jayapura, menyebabkan 105 orang tewas.
Ketua Forum Perguruan Tinggi untuk Pengurangan Risiko Bencana (FPTPRB) Eko Teguh Paripurno menyatakan, pengelolaan risiko bencana berbasis komunitas bisa menjadi upaya mitigasi. Konsep pertama pengurangan risiko bencana berbasis komunitas adalah membentuk pegiat atau sukarelawan yang berperan dalam sosialisasi, edukasi, mengubah paradigma publik, dan mengembangkan keterampilan.
Dalam konteks bencana Sungai Citarum, misalnya, kata Eko, koordinasi warga di kawasan rawan bencana sangat diperlukan untuk membangun langkah mitigasi kolektif. Salah satunya menumbuhkan kepedulian antarwarga hulu dan hilir sungai.
”Warga di hilir bisa mengingatkan warga di hulu untuk tidak buang sampah ke sungai. Sebab, itu bisa menutup aliran sungai dan menyebabkan banjir,” ujarnya. Citarum membentang 279 kilometer dari Situ Cisanti di Kabupaten Bandung hingga bermuara di Laut Jawa. Sungai terpanjang di Jabar ini melintasi 12 kabupaten/kota.
Eko mengingatkan, gerakan dapat ditingkatkan dengan memberikan nilai tambah atau manfaat bagi masyarakat sehingga mereka terus tergerak melakukan perubahan. Upaya pengelolaan risiko bencana berisiko gagal jika masyarakat menganggap gerakan menguntungkan salah satu pihak saja.
Gerakan itu pun harus dapat perhatian kepala daerah secara konsisten agar menjadi program pembangunan berkelanjutan.
Persoalan perhatian kepala daerah itu pula yang masih menjadi persoalan. Di tengah laju alih fungsi lahan resapan atau tangkapan air, risiko bencana tak diantisipasi.
Data BNPB, belum semua kabupaten/kota punya peta risiko bencana. Di lapangan, di wilayah bencana sekalipun, peran pemerintah daerah masih kurang. Akibatnya, tak sedikit korban bencana kembali ke lokasi lama yang dihantam bencana, seperti terlihat di Luwu Utara, seusai banjir bandang Juli 2020.